Arahan Presiden Jokowi untuk segera diadakannya moratorium sawit dan tambang di wilayah Aceh, khususnya di Kawasan Ekosistem Leuser bersambut. Seperti diberitakan Foresthint, Wali Nanggroe Malik Mahmud dan Gubernur Aceh Zaini Abdullah dalam pertemuan dengan Menteri LHK, Siti Nurbaya di Jakarta (19/04) menyebutkan pihaknya siap untuk melakukan moratorium dan reviu izin yang telah dikeluarkan.
Kawasan Ekosistem Leuser sendiri merupakan kawasan strategis nasional yang wilayah utamanya berada di Provinsi Aceh. Kerusakan dan alih fungsi lahan dari kehutanan menjadi area non kehutanan yaitu perkebunan di wilayah ini selama bertahun-tahun terus menjadi sorotan kelompok masyarakat sipil di Aceh.
Persoalan utamanya, berada di perizinan yang selama ini terus dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh. Berdasarkan pemantauan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTa), secara keseluruhan Pemerintah Aceh telah menerbitkan izin usaha perkebunan di 23 kabupaten/kota di seluruh Aceh, tanpa adanya reviu terhadap izin yang ada.
Padahal reviu dan cross check amat penting untuk memastikan dijalankannya prosedur ketaatan dan kepatuhan perusahan di lapangan, termasuk didalamnya ketaatan dalam menggarap lahan sesuai dengan ketentuan luas areal dan izin yang diberikan.
“Reviu izin penting untuk memastikan tidak ada perusahaan yang melanggar izin termasuk merambah hutan dengan cara illegal,” jelas Baihaqi, anggota Badan Pekerja MaTa di Banda Aceh (04/05).
“Kalau nantinya terbukti melanggar, pemerintah dapat mencabut izin usahanya sehingga ini bisa menjadi pembelajaran bagi perusahaan-perusahaan lain.”
Terkait dengan situasi yang ada dan pentingnya reviu dan moratorium, Baihaqi menuturkan kekuatirannya terhadap perkembangan sawit di Aceh saat ini. Sebagai contoh perkembangan sawit di kabupaten Aceh Tamiang, 80 persen dari wilayah ini yaitu 1.957,02 km2 telah dikuasai oleh pemilik HGU (Hak Guna Usaha) sawit. Dapat dipastikan kedepannya pemerintah akan kesulitan dalam membangun dan menyediakan fasilitas pelayanan publik.
Baihaqi pun menambahkan, saat ini pihaknya sulit untuk memperoleh dokumen-dokumen terkait izin usaha perkebunan, izin lokasi, pertimbangan teknis kesediaan lahan di Kawasan Hutan (KH), dokumen amdal, izin lingkungan, izin pelepasan kawasan hutan atau izin tukar menukar kawasan hutan untuk tujuh perusahaan HGU besar yang beroperasi di Aceh. Ketujuh perusahaan tersebut adalah PT Nia Yulided Bersaudara, PT Putra Kurnia, PT Kalista Alam, PT Gelora Sawita Makmur, PT Cemerlang Abadi, PT Semadam dan PT Blang Ara Company.
“Semua lembaga pemerintah tidak bersedia memberikan data tersebut sehingga kami bawa dan sengketakan ke Komisi Informasi Aceh (KIA),” ujar Baihaqi, menurutnya ada tiga badan pemerintah, yaitu Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) Aceh, Dinas Perkebunan Provinsi Aceh dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Aceh yang menjadi pihak yang mereka sengketakan.
“Dalam waktu dekat Komisi Informasi akan memutuskan hasil sengketa informasi tersebut,” tutur Baihaqi.
Sawit Tidak Berdampak pada Pengentasan Kemiskinan
Secara terpisah sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menyoroti kasus-kasus perambahan hutan untuk diubah menjadi perkebunan sawit yang terjadi, menyeruaknya kasus-kasus konflik agraria dan dampak yang tidak signifikan untuk pengentasan kemiskinan dari usaha perkebunan.
Walhi mengambil contoh kawasan Kabupaten Aceh Singkil, kabupaten miskin yang terletak di sebelah selatan provinsi Aceh.
“Belasan perusahaan perkebunan sawit telah beroperasi di Aceh Singkil, mereka mengelola puluhan ribu hektar lahan untuk ditanami sawit. Dari luas Aceh Singkil 1.857,88 km2, 36,65 persen luasnya telah menjadi lahan sawit. Namun kabupaten itu masih saja masuk sebagai daerah tertinggal dan salah satu yang termiskin di Indonesia,” jelas Kepala Divisi Advokasi Walhi Aceh, M. Nasir.
Di Aceh Singkil 51,14 persen (14.752 KK) dikategorikan miskin dalam kelompok keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera satu.
Menurutnya, keberadaan perkebunan sawit di Aceh Singkil bukan hanya tidak berpengaruh terhadap peningkatan ekonomi tapi juga mengancam keberadaan hutan rawa gambut, termasuk Suaka Margasatwa Rawa Singkil.
Luas konsesi perkebunan sawit di Aceh Singkil berada di urutan keempat terluas di Aceh dan urutan kedua dari total produksi. Sedangkan perkebunan rakyat, terluas kedua dari luas area dan urutan pertama dari jumlah total produksi.
“Ini membuktikan meskipun perkebunan kelapa sawit cukup luas di Kabupaten Aceh Singkil, namun perekonomian masyarakat dan daerah tidak berpengaruh positif dari adanya perkebunan,” tutup Nasir.