,

Alat Ini Sajikan Air Minum Sehat buat Anak di Sekolah

Sekumpulan anak duduk bersila di beranda Sekolah Dasar Taman Muda, Cokrokusuman, Yogyakarta. Mereka mendengarkan paparan relawan Project Child Indonesia tentang pentingnya air bersih, tubuh perlu air, dan air minum sehat. Hari itu mereka dikenalkan alat penjernih air hingga  bisa dikonsumsi, bahkan air sumur, air hujan menjadi siap minum.

Nazava, nama dagang penyaring air berteknologi sederhana, dengan harga terjangkau ini. Nama di belakang alat ini adalah Guido van Hofwegen dan Lieselotte Heederik, keduanya berkebangsaan Belanda. Alat ini produksi di Bandung, oleh perusahaan Indonesia, PT Holland for Water, baik untuk pasar lokal maupun global. Nazava memenangi beberapa penghargaan internasional, begitupun penciptanya. Antara lain Laureate of the Tech Awards 2013.

Penemu dianggap salah satu dari 10 inovator yang mengaplikasikan teknologi kemanusiaan dan perubahan global. Nazava untuk membantu menyediakan air minum sehat, cepat saat bencana tsunami Aceh 2004. Juga di banyak tempat bencana dan wilayah kesulitan air minum sehat di berbagai negara.

Surayah Ryha, Direktur Eksekutif PCI mengisahkan gagasan menyediakan penyaring air minum itu. Awal 2016, lembaga ini bekerjasama dengan satu universitas di Jerman, meneliti sekitar 300-an anak di 12 sekolah berbeda di Yogyakarta. Hasilnya, rata-rata anak tak memiliki akses terhadap air minum di sekolah.

“Sangat mengganggu pikiran saya. Saat ditanya mengapa tak minum air putih lebih banyak? Jawabannya karena minum air putih merepotkan,” kata Aya, panggilan perempuan yang mendirikan Project Child bersama rekan Jerman, Marvin Kiefer, 2011.

Banyak dijumpai anak-anak sekolah mudah mendapatkan minuman kemasan mengandung perasa buatan, berkadar gula tinggi, atau air mineral harga lumayan mahal. Sementara anak-anak Indonesia menghabiskan enam sampai tujuh perhari di sekolah, enam hari seminggu, dengan kondisi cukup panas.

Dari hasil berbincang dengan para guru, dia mendapati informasi anak-anak sering mengeluh sakit kepala, salah satu gejala awal dehidarasi. Siswa juga sulit berkonsentrasi.

“Riset resmi belum ada tapi ini suatu kewajaran. Minuman di sekolah harga lebih murah dari satu botol air mineral, banyak mengandung gula. Ini mengintervensi konsentrasi mereka dalam menerima pelajaran,” katanya.

Kenyataan ini mendorong Project Child menginisisasi program air minum sekolah. Ada beberapa pertimbangan, seperti segi lingkungan. Di Indonesia, sekitar 274.000 SD, dengan jutaan anak bersekolah tiap hari. Andaikan 2 juta anak membeli air mineral, ada 2 juta sampah botol plastik tiap hari.

Selain itu, kebanyakan di kantin sekolah air mineral Rp3.000 untuk 600 ml. Bagi kalangan menengah ke bawah, dengan jajan Rp5.000 menghabiskan lebih 50% uang jajan mereka. “Akhirnya air tidak terbeli.”

Siswa kalangan menengah ke bawah makin sulit berkompetisi dalam pelajaran hanya gara-gara kurang air minum.

Dia mengapresiasi langkah pemerintah menyediakan anggaran pendidikan cukup besar hingga 20% dari belanja negara. Sayangnya, buat hal-hal esensial menyangkut subyek pendidikan tak diperhatikan.

“Kalau mereka tak bisa akses air minum di sekolah, sekeras apapun usaha memajukan kualitas pendidikan, akan sia-sia. Subyek pendidikan tak bisa berkonsentrasi menerima pendidikan karena faktor dehidrasi.”

Penyaring air seperti Project Child bukan pertama kali di Indonesia. Setidaknya Kopernik, lembaga swadaya masyarakat yang mengkhususkan diri pada menyebarkan teknologi sederhana dan murah ke masyarakat pernah melakukan hal sama di Aceh, Bali, dan Jawa Timur.

Mereka membentuk komite air minum sekolah. Anggota enam orang mewakili guru, orang tua, dan Project Child guna menjaga program berkelanjutan.

“Komite air minum akan mengelola water filter berbayar ini. Bayaran sangat-sangat murah, satu liter air hanya Rp100. Jadi anak akan mengeluarkan kira-kira Rp500 hingga Rp600 per minggu. Seluruh uang akan dikembalikan ke program untuk pemeliharaan.”

Riza Maslahati,  Project Manager Project Child mengatakan, penyaring air ini dipasang pada enam SD dari rencana 12 sekolah di Yogyakarta. Yaitu, SD Jetis 2, Bangunrejo 1, Bangunrejo 2, Taman Muda, dan Terbansari 1. Mereka juga menyediakan air minum pada 12 SD di Pacitan.

Titik Nurhani, Kepala SD Taman Muda merasa terbantu atas program air minum ini. Dia menunjukkan beberapa titik penempatan penyaring. Cukup lewat pipa tersambung ke pipa PAM, masuk ke kontainer Nazava. Dalam tabung ada tiga keramik khusus akan menyaring air menuju kontainer, hingga siap minum.

Lembaga ini menargetkan akhir 2016, penyaring air Nazava tepasang di 12 sekolah dan memberi dampak positif kepada sekitar 3.000 anak SD di Yogyakarta dan Pacitan.

“Kami akan menulis laporan komprehensif akan diserahkan ke Dinas Pendidikan, dengan harapan Menteri Pendidikan melihat instalasi air minum sekolah itu sangat penting, murah, bisa dilakukan, dan berkelanjutan,” kata Aya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,