,

Anda Travaler? Mulailah Jaga Lingkungan dari Sekarang

Walau perkembangan pariwisata semakin beragam dalam beberapa dekade terakhir, tetapi pariwisata alam masih menjadi primadona di sejumlah negara. Tak hanya di Amerika Serikat yang menjadi kiblat pariwisata dunia, di negara lain, termasuk Indonesia, pariwisata alam masih tetap menjadi nomor satu.

Berdasarkan data The World Resources Institute yang dirilis pada 1990, sektor pariwisata secara keseluruhan selalu memperlihatkan pertumbuhan yang stabil di kisaran 4 persen per tahun. Namun, dari riset tersebut, diketahui bahwa pariwata alam mengalami peningkatan antara 10 persen sampai 30 persen.

Hal tersebut diungkapkan Senior Managerfo Ecosystem Services Conservation International (CI) Indonesia Tri Rooswiadji. Menurut dia, saat pariwisata alam dunia mengalami perkembangan signifikan, kondisi yang sama juga terjadi di Indonesia.

“Sebuah studi yang dilakukan pada 2011 lalu sudah mencatat bahwa sejak 1990 pertumbuhan ekowisata di Indonesia mencapai 20 persen hingga 40 persen. Itu artinya, potensi ekowisata di Indonesia masih sangat besar dan perlu dikembangkan,” ungkap dia.

Tri menjelaskan, terus bertumbuhnya pariwisata alam, tidak lain karena konsep ekowisata selalu menarik minat wisatawan tanpa mengenal batasan usia atau pun suku bangsa dan jenis kelamin. Besarnya minat dari wisatawan tersebut, karena ekowisata menawarkan berbagai pengalaman unik, termasuk tinggal di kawasan yang alami.

“Dan juga mengenal berbagai keanekaragaman hayati. Itu unik. Poin lebihnya, adalah penekanan di kegiatan berbasis konservasi, baik alam maupun budaya lokal,” sebut dia.

Menurut Tri, potensi wisata seperti itu terbukti tidak melibatkan banyak sentuhan tangan manusia yang artifisial sehingga sangat penting untuk bisa mengajak wisatawan untuk ikut bertanggung jawab menjaga keaslian dan kelestariannya.

Tak hanya keunikan, Tri menambahkan, bagi masyarakat lokal, ekowisata memberi peluang sosial dan ekonomi bagi mereka. Dampaknya, mereka tidak lagi eksploitatif, seperti mengambil kayu untuk kebutuhan rumah tangga dan menjaring ikan di laut secara terus menerus.

“Menciptakan kegiatan ekonomi alternatif melalui ekowisata penting bagi masyarakat yang tinggal di pegunungan dan pesisir  karena turut mengajak warga untuk menjaga sumber daya mereka dengan bijak, sehingga di kemudian hari kita tidak mengalami kerugian yang lebih besar,” jelas dia.

Tri mencontohkan, salah satu contoh ekonomi alternatif yang memberi manfaat besar bagi masyarakat sekitar adalah wisata pari manta. Ikan spesies kharismatik ini masih banyak diburu untuk diambil insangnya dan diekspor ke Tiongkok karena dipercaya bisa menjadi obat.

“Padahal studi O’Malley di tahun 2013 mengungkap bahwa seekor pari manta dapat berkontribusi bagi pariwisata sebesar Rp12 miliar sepanjang hidupnya. Sedangkan nilai ekonomi Pari Manta yang mati karena diburu untuk insangnya hanya kurang dari Rp6 juta,” tandas dia.

Harapan Kaum Muda

Karena pariwisata alam sudah menjadi magnet bagi wisatawan dunia, semua orang yang terlibat harus bisa menjaga anugerah alam tersebut. Tak terkecuali, anak-anak ataupun anak muda yang dalam berbagai hal selalu dikategorikan sebagai yang paling muda.

“Kaum muda merupakastakeholders penting dalam sektor pariwisata. Kementerian Pariwisata pada 2013 mencatat, sebesar 30 persen wisatawan di Indonesia berusia 15-34 tahun. Mereka melakukan perjalanan wisata ke berbagai daerah di Indonesia,” ujar Gedephala Program CI Indonesia Anton Ario.

Pemandu selam di obyek wisata Tulamben, Karangasem, Bali mengantarkan wisatawan menyelam ke tengah laut. Foto : Luh De Suriyani
Pemandu selam di obyek wisata Tulamben, Karangasem, Bali mengantarkan wisatawan menyelam ke tengah laut. Foto : Luh De Suriyani

Menurut pria yang konsen pada konservasi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango itu, dengan prosentase yang cukup besar, seharusnya wisatawan muda bisa dilibatkan dalam misi menjaga kelestarian alam yang ada di sekitar objek wisata tujuan. Jangan sampai, seperti sekarang ini, di mana masih banyak wisatawan muda yang belum memiliki kesadaran terhadap lingkungan sekitar objek pariwisata.

“Wisatawan kadang kurang paham apa pentingnya wilayah ini bagi kehidupan. Padahal kawasan ini menghasilkan  air sebanyak 231 juta meter kubik  per tahun, dan air inilah yang menyokong kehidupan 30 juta masyarakat yang tinggal disekitarnya, termasuk wilayah Jakarta,” ujarnya menyebut kebiasaan wisatawan yang datang ke TN Gede Pangrango.

Jika di gunung seperti itu, Anton menerangkan, kebiasaan buruk wisatawan juga terjadi di pariwisata bahari atau laut. Kondisi tersebut, terjadi karena belum adanya kesadaran menjaga lingkungan dari para wisatawan yang didominasi anak muda itu.

“Itu dapat mengakibatkan kerusakan pada seperti penumpukan sampah plastik yang sulit terurai. Dalam wisata bahari, praktik snorkeling yang salah, seperti kayuhan fin yang tidak benar atau menyentuh dan menginjak karang juga dapat menyebabkan kerusakan dan patahnya karang,” papar dia.

Perlunya keterlibatan anak muda dalam menjaga kelestarian objek wisata alam, juga diungkapkan Sutiknyo, seorang travaler sekaligus blogger yang sudah menjelajahi berbagai lokasi di Indonesia. Menurut dia, jika memang anak muda hobi bertulang ke tempat wisata alam, maka sudah seharusnya jika mereka ikut menjaga lingkungan sekitarnya.

“Menjadi traveler yang bisa keliling di banyak tempat di Nusantara itu keren. Tapi lebih keren lagi kalau ikut andil menjaga kelestarian. Paling tidak dari diri kita sendiri, dengan tidak membuang sampah sembarangan. Syukur-syukur bisa membantu masyarakat lokal menjaga kearifan lokalnya,” ucap dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,