, ,

Kala Ekspedisi LIPI Temukan Tikus Baru di Sulawesi

Bersama rombongan ekspedisi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), saya berjalan selama tiga jam lebih di Gunung Gandang Dewata, Mamasa, Sulawesi Barat, Kamis, (26/4/16). Melewati jalur pendakian. Tanah merah lengket. Pematang sawah berlumpur. Perkebunan kopi tak terurus. Tampak aliran air kecil dan sebuah sungai besar berarus deras.

Hujan gerimis menyertai makan siang kami di sebuah titik, sebelum track panjang menanjak dimulai. Hawa dingin menyeruak ke sela jaket. Suara serangga penggerek tak henti-henti. Kami menuju base camp tim ekspedisi Bioresourches Keragamanhayati, LIPI. Rombongan kami tim kedua, tim pertama lebih awal sepekan lalu beranggotakan 20-an peneliti.

Base camp itu pada ketinggian 1.626 mdpl. Dikelilingi pohon dengan batang berlumut. Paku-pakuan. Anggrek liar menggantung. Kami tiba menjelang sore. Kordinator lapangan ekspedisi, Anang Setiawan Achmadi menyambut kami.

Jalur menuju base camp LIPI. Toto: Eko Rusdianto
Jalur menuju base camp LIPI. Toto: Eko Rusdianto

Keesokan hari, saya melihat ruang kerja para peneliti. Menggunakan tenda terpal, dua meja kayu panjang tersusun dari tangkai-tangkai pohon, terikat tali rapia.

Beberapa spesimen nangkring di meja. Cairan alkohol. Formalin. Kapur barus. Jarum suntik. Gunting. Pengait. Kain kasa. Koran bekas untuk membungkus. Ada pula benang dan jarum. “He…he…he…he…, iya inilah. Beginilah keadaannya,” kata Anang.

Menjelang siang, seorang penduduk dalam ekspedisi itu membawa tiga tikus jeratan. Anang memperhatikan satu demi satu. Satu lebih kecil, menarik perhatian. Dia mengelus tikus itu lembut.

“Saya belum pernah liat tikus ini,” katanya. “Ini ketiga kali saya datang. Jelas berbeda dari tikus lain.”

Anang mengangkat tikus itu sejajar dengan hidung. Merapatkan kacamata ke pangkal hidung. Dia terkesima dengan temuan ini. “Moncong beda. Depan hidung tak ada bulu, hanya ada kumis.”

“Lucu ya. Kepala juga. Ini lihat garis warna juga bagus. Mirip anjing.”

Nama tikus itu dalam bahasa Mamasa adalah kambola. wilayah jelajah tikus ini cukup jauh, bisa 40 kilometer. Padahal dalam literatur, wilayah jelajah tikus paling jauh dua kilometer.

Timothius Sambominanga (80), akrab disapa Papa Daud mengatakan, masa lalu seorang menangkap kambola, memberi gelang di leher dan melepaskan di Mamasa. Beberapa waktu kemudian tikus bertanda itu ditemukan  di Mambi, sekitar 40 kilometer. “Maka namanya kambola. Artinya bisa pergi jauh,” kata Daud.

Tikus kambola, yang memiliki wilayah jelajah kauh hingga 40-an kilometer. Foto: Eko Rusdianto
Tikus kambola, yang memiliki wilayah jelajah kauh hingga 40-an kilometer. Foto: Eko Rusdianto

Dengan pelan dan sangat hati-hati Anang menguliti tikus lalu menempelkan beberapa jari di sekam gergaji. Sebagian ditaburi ke kulit tikus. Setelah kulit dan organ tubuh terpisah, dia memasukkan kapas ke kulit. Membentuk tikus semirip masa hidup. Dua kawat kecil ditopangkan ke otot kaki. Setelah selesai, dia menjahit bagian kulit perut.

Tubuh tikus tanpa kulit, berpindah ke tangan Juno, anak muda peneliti parasit. Menggunakan pisau kecil tajam, dia membuka perut, memperhatikan usus, lambung, jatung, hingga hati. Dengan teliti dia menggunting bagian hati dan memasukkan ke botol kecil spesimen yang sudah tercampur alkohol.

Tikus yang dibedah itu betina. Juno menarik kantong rahim dan kelamin. Kantong rahim bercabang dua. Berbeda dengan tikus pemukiman, kantong rahim bisa delapan.

Tikus hutan berkembang biak tidak sebanyak koleganya di wilayah pemukiman. “Tikus hutan paling anak dua sampai empat. Kalau tikus pemukiman bisa delapan atau lebih,” kata Anang.

Perangkap yang dibuat tim ekspedisi untuk menagkap tikus, ular, atau kadal. di bagian bawah terpal ditempatkan ember berisi air. dua jam sekali akan dicek. Foto: Eko Rusdianto
Perangkap yang dibuat tim ekspedisi untuk menagkap tikus, ular, atau kadal. di bagian bawah terpal ditempatkan ember berisi air. dua jam sekali akan dicek. Foto: Eko Rusdianto

***

Di Mamasa, sebagian warga masih mengkonsumsi tikus. Tak  heran warga dapat membedakan jenis tikus. Bahasa setempat tikus adalah balao.

Hari itu, Ramba, warga Mamasa, duduk dekat perapian sekaligus dapur umum, melafalkan beberapa nama, seperti balao barambang, balao wai, lewa-lewa, kambalo, dan sederetan nama lain.

Lewa-lewa dan kambola adalah tikus yang belum memiliki nama ilmiah. “Kita butuh proses panjang. Akan dianalisis dulu di laboratorium. Lalu membuatkan deskripsi. Setelah itu barulah ditentukan apakah jenis baru atau bahkan genus baru,” kata Anang.  “Tapi secara morfologi, lewa-lewa dan kambola jelas sangat berbeda.”

Tikus hutan jelas berbeda dengan tikus wilayah pemukiman. Di hutan, makanan tikus jauh lebih berih, bisa sisa tanaman, sisa buah, atau beberapa daging mamalia kecil. Tikus pemukiman memakan makanan busuk, sisa makanan, tentu saja membawa beberapa virus. “Tikus hutan tak jorok. Bersih.”

Balao wai atau tikus air (Waiomys mamasae) dan tikus akar (Gracilimus radix) adalah genus baru ditemukan 2010. Pada 2012 ditemukan pula tikus ompong (Paucidentomys vermidax). Menurut Anang, tikus akar dan tikus air hingga kini hanya ada di Pegunungan Gandang Dewata. Tikus ompong di Pegunugan Latimojong, Sulawesi Selatan dan Gandang Dewata.

Tiga genus baru ini memiliki keunikan tersendiri. Tikus air memiliki selaput tipis diantara jari untuk berenang. Hasil identifikasi, tikus ini mencari makan dengan berenang bahkan menyelam. “Jadi menyelam untuk mendapatkan makanan yang menempel di batuan dasar sungai. Macam snorkeling-lah,” kata Anang.

Tikus lewa-lewa, juga temuan LIPI yang belum memiliki nama latin. Foto: Tri Haryoko
Tikus lewa-lewa, juga temuan LIPI yang belum memiliki nama latin. Foto: Tri Haryoko

Penamaan tikus akar karena kala membuka saluran pencernaan, ada sisa-sisa akar. Tikus ini kebanyakan mengkonsumsi akar tumbuhan, seperti talas-talasan atau umbi-umbian dan beberapa tanaman lain.

Tikus ompong juga menarik. Ia hanya memiliki dua gigi di bagian depan moncong– seperti kelinci. Bagian lain tak tumbuh gigi. Ketika tikus sedang makan, akan digigit sedikit demi sedikit. Lalu dikeluarkan lagi. Begitu terus menerus hingga makanan lunak ditelan. Pada ekspedisi 2016, tiga genus baru tikus tak terjerat.

Anang mulai meneliti tikus sejak 2006. Bersama beberapa rekan, baik peneliti Indonesia dan luar negeri, dia mengunjugi hutan yang jarang terjamah. Di Sulawesi, dia menembus kedalaman Gandang Dewata (Sulawesi Barat), Latimojong (Sulawesi Selatan), Tompotikka (Luwuk Banggai), Mekongga (Sulawesi Tenggara), Toli-toli dan beberapa pegunungan di Manado.

Di Gandang Dewata, pada ekspedisi 2016 ini kali ketiga. Selama menjejakkan kaki di tempat ini, dia selalu dikejutkan dengan temuan baru. “Saya kira tempat ini (Gandang Dewata) adalah central high biodeversity untuk Sulawesi.”

Tutupan hutan di sekitar base camp. ketinggian 1.624 mdpl 2. Foto: Eko Rusdianto
Tutupan hutan di sekitar base camp. ketinggian 1.624 mdpl 2. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,