,

Ketika Masyarakat Adat Talonang Terusir dari Tanah Sendiri

Siang itu, Kamis di akhir April 2016, Abu Bakar berjalan cepat menyusuri jalan beraspal yang berpendar karena terik matahari. Sekeliling adalah kebun jagung setinggi semeter yang siap panen.

“Tak jauh lagi. Sekitar seratus meter di depan,” katanya cepat sambil terus berjalan di depan sebagai penunjuk jalan.

Tak berapa lama kemudian kami tiba di lokasi yang dimaksud. Hamparan lahan yang baru saja ditanami tanaman sisal (Agave sisalana Ferrine). Tanaman berdaun hijau, runcing dan berduri, berjarak renggang dan tahan kering ini, menjadi bahan baku pembuatan tali dan lapisan pembungkus kabel. Dengan beragam manfaatnya, tanaman ini justru menjadi sumber masalah bagi warga Talonang.

“Lahan saya sekitar enam hektar rencananya akan diambil juga perusahaan. Itu lahan milik bersama ayah dan saudara-saudara saya. Kalau perusahaan memaksa mau ambil saya rela mati mempertahankannya,” ungkap Abu Bakar.

Abu Bakar adalah satu dari 300 warga komunitas adat Talonang yang tinggal di Desa Talonang, Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang kini berjuang mempertahankan lahan mereka yang diklaim dikuasai oleh PT. Pulau Sumbawa Agro karena mengantongi izin dari Pemkab Sumbawa Barat.

Diakui Abu, intimidasi kerap mereka terima tidak hanya dari pihak perusahaan yang mulai beraktivitas sejak dua tahun lalu, tetapi juga dari pemerintah daerah.

“Bahkan kami dibenturkan antarwarga sendiri. Mereka yang ikut perusahaan diiming-imingi uang dan jabatan. Termasuk anak ketua adat sendiri.”

Konflik Lama

Menurut Febriyan Anindita, Kepala Biro Advokasi dan Informasi dan Komunikasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumbawa, konflik wilayah adat di Talonang sebenarnya telah ada sejak tahun 1992, ketika pemerintah secara sepihak menetapkan wilayah Talonang ini sebagai daerah transmigrasi melalui SK Gubernur NTB No.404/1992 tentang Pencadangan Tanah Transmigrasi seluas 4.050 ha.

“Saat itu masyarakat adat Talonang mulai melakukan perlawanan,” katanya.

Pada tahun 2012, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia mendorong masuknya investasi di kawasan transmigrasi di daerah tersebut. Salah satunya bekerja sama dengan perusahaan PT Dongfang Sisal Group Co ltd, Guangdong, China, yang mengembangkan budidaya sisal sebagai produk unggulan.

“PT Dongfang Sisal ini lalu membentuk perusahaan baru, yaitu PT Guangken Dongfang Sisal Indonesia dengan kepemilikan saham atau shareholding PT. Pulau Sumbawa Agro sebesar 75 persen dan PT Dongfang Sisal Group sebesar 25 persen. Proyek pengembangan sisal ini pada tahap awal meliputi area seluas 3.000 ha,” jelas Febriyan.

Untuk menegaskan keberadaan investasi ini, pada 2014 Pemkab Sumbawa Barat kemudian menerbitkan izin No.557/2014 tentang izin Lokasi Perkebunan Tanaman sisal (HEAW-SP).

Lahan 3000 ha ini terdiri atas lahan inti 1.000 ha dan plasma 2.000  ha, dengan investasi sebanyak Rp163 miliar terdiri investasi kebun plasma sebanyak Rp84 miliar dan investasi kebun inti beserta pabrik serat sisal sebanyak Rp79 miliar.

“Dalam hal ini terjadi peralihan pengelolaan kawasan dari Perhutani ke perusahaan tanpa ada proses yang jelas dan transparan. Kita tak pernah diberitahu bagaimana proses ini terjadi, tiba-tiba lahan tersebut sudah ditanami sisal oleh perusahaan. Dari luas wilayah adat Talonang 10.000 ha, yang diakui pemerintah hanya 694 ha.”

Abu Bakar, salah seorang warga yang tanahnya seluas 6 ha terancam diambil paksa oleh perusahaan. Baligho yang berada di belakangnya sempat dicopot paksa oleh polisi Satpol PP namun dipasang lagi. Foto : Wahyu Chandra
Abu Bakar, salah seorang warga yang tanahnya seluas 6 ha terancam diambil paksa oleh perusahaan. Baligho yang berada di belakangnya sempat dicopot paksa oleh polisi Satpol PP namun dipasang lagi. Foto : Wahyu Chandra

Menurut Febriyan, berbagai cara dilakukan Pemda Sumbawa Barat untuk merongrong keberadaan masyarakat adat Talonang di lahan miliknya sendiri. Mulai dari pengklaiman sepihak Pemda yang menyatakan lahan di Blok Batu Nampar adalah milik negara dan masuk dalam kawasan hutan lindung.

“Pemda Sumbawa Barat bahkan mengeluarkan SK eksekusi lahan yang ingin mengusir masyarakat adat dari lahan miliknya sendiri, bahkan telah melaporkan secara hukum setiap orang yang menguasai lahan tersebut.

Tak hanya itu, masyarakat adat diiming-imingi uang kerohiman atau jasa pembersihan lahan bagi mereka yang bersedia mengembalikan tanah, nilainya sebesar Rp2,5 juta per hektar.”

Menurut Febriyani, konflik ini telah menjadi perhatian Komnas HAM dan telah dimasukkan sebagai kasus yang ditangani dalam inkuiri nasional.

Komnas HAM dalam ini telah mengeluarkan rekomendasi untuk tidak mengkriminalisasikan masyarakat Adat Talonang dan tidak mengunakan cara-cara represif. Termasuk mencabut laporan ke Kepolisian. Karena belum ada kepastian terkait dengan sah atau tidaknya klaim hak ulayat tanah yang menjadi obyek sengketa yang dilekatkan pada Masyarakat Talonang.

“Sayangnya rekomendasi dari Komnas HAM ini tak satu pun yang diindahkan oleh Pemda. Setelah inkuiri nasional, tak terlihat adanya perubahan sikap pemerintah. Malah ada kesan Pemda melalui staf ahli Pemda menganggap bahwa rekomendasi Komnas HAM itu abal-abal,” ungkap Febriyan.

Sejarah Adat Talonang

Talonang sendiri merupakan salah satu pedukuhan atau perkampungan adat, yang keberadaannya sudah ada sejak sebelum kemerdekaan RI tahun 1945. Talonang dulunya berada di wilayah selatan Pulau Sumbawa, yang didiami oleh komunitas adat atau suku Sapio, berbahasa Samawa.

Menurut Jamaluddin Amin, Ketua Adat Talonang, bukti otentik sejarah keberadaan komunitas Talonang bisa dilihat dari adanya kuburan leluhur, bekas masjid, lesung, tanaman kelapa, mangga, nangka, kayu jawa, pohon lontar, pohon aren, dan bekas kampung.

Jamaluddin Amin, Ketua Adat Talonang menunjukkan lokasi yang dulunya merupakan masjid tua sebelum datangnya bencana gempa dan tsunami di tahun 1977, yang membuat mereka diungsikan ke Kecamatan Lunyuk. Foto : Wahyu Chandra
Jamaluddin Amin, Ketua Adat Talonang menunjukkan lokasi yang dulunya merupakan masjid tua sebelum datangnya bencana gempa dan tsunami di tahun 1977, yang membuat mereka diungsikan ke Kecamatan Lunyuk. Foto : Wahyu Chandra

Masyarakat adat Talonang sempat meninggalkan kawasan tersebut, pada tahun 1977 ketika terjadi gempa dan tsunami besar. Mereka diungsikan ke Desa Jamu, Kecamatan Lunyuk, berjarak puluhan kilometer dari lokasi tersebut.

Di lokasi pengungsian kondisi mereka tak jauh lebih baik. Selama tiga tahun, sebanyak 327 warga pengungsian tersebut hidup dalam ketakpastian. Mereka baru bisa hidup layak setelah pemerintah memberi lahan 35 are per kepala keluarga.

“Pemberian lahan yang seberapa ini bukannya menjadi solusi, malah melahirkan masalah baru, karena terjadi rebutan lahan antar warga pengungsi sendiri dan warga setempat. Puncaknya sekitar tahun 1998 ketika sebagian masyarakat menyuarakan ketidakpuasan ini,” jelas Jamaluddin.

Karena tak ada upaya penyelesaian yang jelas dari pemerintah, di awal tahun 2000 masyarakat adat Talonang melaksanakan musyawarah adat. Hasilnya, mereka sepakat untuk yang mengembalikan lahan pemberian tersebut kepada warga pengungsi lainnya yang belum memiliki lahan pertanian. Mereka juga memutuskan untuk kembali ke perkampungan adat Talonang lama.

“Hasil rapat adat ini kemudian kami sampaikan ke Kepala Desa Sekongkang Bawah dan Camat Sekongkang, bahwa kami akan kembali ke perkampungan lama karena merupakan tanah ulayat. Meski sudah jelas hak kami, namun kami tetap mengajukan permohonan ke pemerintah sebagai penghargaan atas hukum yang ada,” tambahnya.

Permohonan tersebut kemudian dikabulkan Bupati Sumbawa tahun 2001. Masyarakat hukum adat Talonang diperbolehkan kembali ke tanah kelahirannya, namun harus melalui program transmigrasi di kawasan yang disebut UPT TONGO 2 SP I.

“Namun kedamaian dan kenyamanan ini tak bertahan lama, karena pada tahun 2014 Pemda tiba-tiba memberi izin ke perusahaan untuk menanam sisal di lahan kami. Pemerintah juga dalam beberapa kesempatan menyatakan tidak mengakui keberadaan masyarakat adat Talonang.”

Melapor ke Polisi

Menurut Febriyan, menghadapi konflik ini masyarakat adat Talonang selalu berupaya menempuh cara-cara hukum dan menghindari cara kekerasan sebagaimana selalu difitnahkan kepada mereka.

Salah satu upaya hukum tersebut dengan melaporkan Pemda Sumbara Barat ke Polres Sumbawa Barat pada 15 Februari 2016 silam dengan tuduhan dugaan penyerobotan lahan tanaman jagung di lokasi Blok Batu Nampar.

“Motifnya adalah untuk menanam sisal dengan klaim pemda sebagai tanah negara berdasar pada SK-HPL tahun 2002.”

Usaha lain yang dilakukan adalah dengan melakukan pertemuan dengan DPRD, staf ahli Pemda, Dinas Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, dan Dinas Transmigasi Sumbawa Barat untuk membahas batas-batas wilayah, peta wilayah maupun surat-surat yang dipegang oleh masyarakat serta dasar klaim dari Pemda.

“Hanya saja dalam diskusi ini pihak Pemda tetap bersikukuh atas klaim mereka dan anehnya mereka menolak menunjukkan dokumen-dokumen bukti klaim tersebut. Desakan DPRD untuk menunjukkan klaim tersebut pun tidak diindahkan dengan berbagai alasan.”

Menurut Febriyan, masyarakat adat Talonang sendiri masih terus menunggu proses dari Polres Sumbawa Barat atas aduan mereka, serta menunggu hasil hearing dengan DPRD.

Sambil menunggu proses tersebut mereka sempat memasang baliho yang berisi pelarangan operasional PT PSA di lalan mereka. Sayangnya baliho ini tak bertahan lama karena segera dicabut oleh Satpol PP dan Babinsa.

“Warga yang mencoba menghentikan pencabutan itu mendapat ancaman dan intimdasi dari aparat Satpol PP tersebut.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,