, ,

Perjuangan Anak Rimba Menggapai Cita

Bujang, begitu Supriyanto, biasa dipanggil.  Bujang adalah pemuda dari Orang Rimba yang tengah mengikuti seleksi penerimaan Polri 2016. Dia bertekad mengikuti setiap tahapan seleksi hingga akhir dan berharap asa tercapai, menjadi polisi.

Supri, putra bungsu dari Sargawi, pimpinan kelompok Orang Rimba tinggal di perkebunan sawit PT Kresna Duta Agroindo, Group Sinar Mas.  Di perkebunan ini ada 17 keluarga Orang Rimba, tepat di batas antara kebun inti dan plasma perusahaan.

Sebagian anggota kelompok ada bermukim di kebun inti. Tempat tinggal kelompok ini dulu rumah Orang Rimba, kala perusahaan masuk, mendatangkan pekerja dari Jawa, lama kelamaan daerah ini makin berkembang. Kini menjadi RT 18 Desa Tanjung Kecamatan Batin VIII, Sarolangun Jambi.

“Semoga mendapat hasil terbaik,” harap anak bungsu empat bersaudara lulusan SMK II Merangin ini.

Menurut Supri, keinginan menjadi polisi timbul karena ingin berbakti kepada bangsa sekaligus kalau berhasil bisa menjadi contoh Orang Rimba lain untuk meneruskan pendidikan.

“Bagi kami Orang Rimba sekolah belum terlalu banyak mengikuti. Padahal sekolah itu penting untuk kehidupan masa depan kami.”

Menurut dia, untuk bersekolah paling utama mesti semangat dan tekun. “Kalau kita berusaha baik, mudah-mudahan bisa mendapatkan hasil yang baik,” kata pemuda kelahiran Sidodadi, 21 tahun lalu.

Supri ingin  jika lolos ditempatkan di komunitas Orang Rimba, misal, untuk memberikan penyuluhan hukum. Berbekal semangat dan keyakinan kuat, Supriyadi melengkapi persyaratan dan mendaftar di Polres Sarolangun.

Dia bangga berasal dari Suku Orang Rimba. “Kalau saya sebut Suku Orang Rimba mereka melayani dengan baik.”

Supri mengikuti jenjang pendidikan formal bergabung dengan anak-anak Sidodadi, keturunan Jawa. Dengan pergaulan ini Supripun cukup fasih berbahasa Jawa. Bahkan nama yang digunakan pemberian orangtua angkat dari Jawa.

Supriyanto, anak Rimba yang bercita-cita menjadi polisi didampingi pengajar KKI Warsi. Foto: dokumen Warsi
Supriyanto, anak Rimba yang bercita-cita menjadi polisi didampingi pengajar KKI Warsi. Foto: dokumen Warsi

Kala pendidikan Supri sempat terkendala biaya. Sebagai Orang Rimba pekerjaan utama orangtua berburu. Hasil jualan buruan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga.

“Kalau buruan lagi banyak, kami memiliki biaya hidup, kalau lagi sulit, susah juga memenuhi kebutuhan.  Untungnya, ketika di SMK keperluan sekolah saya banyak dibantu Warsi, termasuk pendaftaran dan perlengkapan syarat polisi.”

Supri biasa membantu berburu, motong karet atau panen sawit. “Kasihan kalau mengandalkan bapak terus, kalau luang saya bantu bapak mengerjakan  yang bisa saya bantu.”

Perjuangan Supri menjadi polisi bukan hal mudah mengingat animo masyarakat yang tinggi ikut seleksi. Namun Supri tak khawatir kalah bersaing.

Shasa, Koordinator Unit Pendidikan Komunitas Konservasi Indonesia Warsi menyebutkan, langkah Supri ikut seleksi diharapkan mendapat dukungan semua. “Masih sedikit anak Rimba meneruskan pendidikan. Ada perbedaan budaya dengan masyarakat sekitar, juga masalah biaya hingga masalah sosial yang menyebabkan Orang Rimba mundur dalam persaingan pendidikan.” Dia berharap, Supri ini bisa menjadi contoh bagi anak Rimba lain.

Pendidikan pada Komunitas Orang Rimba

Anak-anak Rimba menghadapi beragam kendala kala ingin bersekolah formal. Shaha mengatakan, kendala utama akses jauh, terutama Orang Rimba yang tinggal di hutan. Orang Rimba yang sudah kehilangan hutan dan hidup di antara masyarakat umum hendaknya bisa menyesuaikan. “Ini penting untuk kelangsungan hidup komunitas di masa depan, mau tidak mau ketika hutan makin sempit, Orang Rimba mesti bisa mandiri dan berkarya untuk kelangsungan hidup mereka,”katanya.

Saat ini, katanya, ada lima Orang Rimba bersekolah di SMP Satu Atap  SPI Desa Bukit Suban yaitu Besigar, Perbal, Budi, Besiar dan Bejunjung. Kelima anak Rimba ini akan mengikuti ujian kelulusan SMP.

Jarak antara tempat ujian dan lokasi tinggal masing-masing anak jauh hingga Warsi menyiapkan tempat inggal dan semua keperluan mereka di kantor lapangan. “ Seperti tahun lalu, anak-anak ikut ujian tinggal di kantor lapangan. Segala keperluan kita urus.”

Kelima anak Orang Rimba ini mengikuti pelajaran tambahan intensif selama dua bulan dengan fasilitator pendidikan Warsi.

Besigar mengatakan, Bahasa Indonesia pelajarn yang disukai. “ Hari ini ujian Bahasa Indonesia, lumayan bisalah. Kami sebelumnya latihan soal-soal dengan Maknun (fasilitator Pendidikan Warsi).”

Kepala Sekolah SMP 12 Satu Atap, Sutrisno optimis dengan kemampun anak-ank Rimba ini. Ujian sekolah sebelumnya, anak-anak Rimba mendapatkan nilai bagus. “Bahkan ada anak-anak lain di bawah mereka. Mudah-mudahan mereka bisa lulus dengan nilai baik.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,