,

Melacak Buah Sampai ke Sumbernya: Komitmen Perusahaan untuk Sawit Berkelanjutan. Seperti Apa?

Komoditas sawit kerap dikaitkan dengan berbagai masalah lingkungan dan sosial, termasuk kebakaran lahan gambut, hilangnya habitat dan keragaman hayati hutan, hingga konflik sosial masyarakat yang tidak kunjung usai. Beragam masalah ini menjadikan produk komoditas sawit Indonesia belum mendapat pengakuan dunia internasional sebagai produk berkelanjutan. Padahal, sawit dianggap produk penting penyumbang devisa negara.

Presiden Jokowi pada bulan April 2016 telah mengumumkan rencana pemerintah untuk memberlakukan moratorium perluasan izin perkebunaan sawit. Presiden menyatakan bahwa perkebunan sawit di Indonesia harus diarahkan kepada produktivitas per hektar, tidak lagi berorientasi pada perluasan.

Data Kementerian Pertanian dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), merilis dari sekitar 10,4 juta hektar lahan sawit di Indonesia, maka pada 2014 produksi sawit Indonesia adalah sebesar 31, 5 juta ton, dan terus mengalami kenaikan di 2015 menjadi 32,5 juta ton. Adapun 81 persen produk ditujukan untuk ekspor.

Bersamaan dengan beragam munculnya masalah seputar sawit muncul, pembelipun mendapat tekanan dari berbagai organisasi masyarakat sipil agar membeli produk-produk berkelanjutan, atau dari sawit-sawit tak bermasalah. Buat memastikan itu, pembeli mulai menginginkan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dari sumber-sumber yang bisa diketahui asal usul alias  keterlacakan jelas.

Lewat sertifikasi berlabel ‘hijau’, baik yang dilakukan pebisnis dan pemerintah untuk menuju keberlanjutan, dirilislah berbagai aturan standard. Sebut saja, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pada 2004, Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) mulai 2011, sampai terbaru,  Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) pada 2014 yang diinisiasi oleh berbagai kalangan.

Perusahaan besar sawit pun lalu menindaklanjuti dengan komitmen-komitmen ‘hijau’. Salah satunya adalah Golden Agri Resources (GAR), produsen sawit terbesar kedua dunia yang merupakan anak perusahaan Sinar Mas Group yang berdiri sejak tahun 1996. Dengan kebun hingga 480 ribu hektar di seluruh Indonesia, perusahan pun berjanji tak akan merusak hutan dan menjaga kawasan bernilai konservasi tinggi dengan tak lagi mengkonversi lahan bermuatan lebih 35 ton karbon per hektar.

Akhir tahun lalu, dan diumumkan Februari 2016, perusahaan telah selesai memetakan rantai pasokan ke pabrik. Ia meliputi 489 pabrik (mills) yang menyuplai minyak sawit mentah (crude palm oil /CPO) dan palm kernels (PK) ke delapan kilang minyak mereka di seluruh Indonesia. Pada 26 April 2016, perusahaan ini mengumumkan target keterlacakan sawit sampai kebun, buat pabrik sendiri selesai 2017, sedangkan pabrik-pabrik pihak ketiga pada 2020.

Klik pada gambar untuk memperbesar

Agus Purnomo, Managing Director Sustainability & Strategic Stakeholders Enggagement GAR mengakui sistem lacak sumber sawit ini merupakan cara baru untuk menelusuri produk dari produk asal kebun hingga ke kilang (down stream). Menurutnya GAR memiliki delapan kilang minyak sawit yang membeli sawit dari 489 pabrik.

“Empat puluh empat pabrik milik kami sendiri, 445 pabrik lainnya independen, yang gak ada hubungan dengan kami. Bagi kami yang sulit mengetahui, pabrik itu ambil buah dari kebun siapa, ” jelas Purnomo.  Menurutnya saat ini, 90 persen bahan baku kilang dipasok dari 44 pabrik yang mereka miliki sendiri.

Purnomo mengakui, tuntutan pasar menjadi dasar kebijakan yang diambil pihak GAR. Transparansi pengelolaan menurutnya akan menjadi argumen pihaknya untuk menjawab tudingan kampanye negatif. “Kita capek ditanya-tanya. Bertahun-tahun berdebat, sawit dituding rusak hutan. Ini masalah gak selesai-selesai. Dengan sistem ini tak bisa ngomong sembarangan, kebun, pabrik bisa dilacak koordinatnya. Kunci solusinya di transparansi.” 

Dengan melakukan lacak buah sawit pun, menurutnya perusahaan akan diuntungkan karena dapat mengetahui proyeksi produksi kebun yang pada akhirnya akan masuk dalam resiko kelola bisnis jangka menengah perusahaan, termasuk mengetahui mana kebun yang bermasalah dan aspek legalitas kebun. “Untuk itu kami akan bangun kepercayaan dengan para pemasok,” jelasnya.

Pada September 2010, GAR pernah mendapat kritik keras dari RSPO terkait dengan praktik lingkungan dan sosial yang dilakukan oleh perusahaan. Akhirnya, pada 9 Februari 2011, GAR mengumumkan rencana menghentikan pengrusakan hutan Indonesia termasuk menghentikan konversi lahan gambut.

Sebelumnya pada akhir 2015, GAR berkomitmen tidak lagi membeli sawit yang merusak kawasan penting ekosistem, yaitu sawit yang ada di Kawasan Ekosistem Leuser yang masuk di provinsi Aceh dan Sumatera Utara.

Pembukaan lahan perkebunan sawit tampak dari udara. Presiden Jokowi pada bulan April 2016 menginstruksikan untuk melakukan moratorium izin perkebunan sawit. Foto: Lili M. Rambe

Lembaga Keuangan Didorong Terlibat Dalam Bisnis Komoditas

Sebelumnya terpisah dalam dialog tentang Sumberdaya Berkelanjutan Dunia yang diselenggarakan oleh Singapore Insititute of International Affair (SIIA) pada pertengahan April 2016, Menteri Lingkungan dan Air Singapura, Masagos Zulkifli, meminta lembaga keuangan dapat membuat dan terus mempromosikan praktik berkelanjutan bagi pembiayaan berbagai sektor, secara khusus yang berhubungan dengan basis perdagangan komoditas.

Saat diminta pendapatnya Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indonesia, Muliaman Hadad menyebutkan bahwa “Keuangan yang berkelanjutan bukan merupakan beban tambahan bagi lembaga keuangan, namun meniti arah masa depan bisnis yang baru.”

Meski tidak memiliki perkebunan, namun Singapura berperan sebagai hub yang penting di Asia Tenggara dalam aliran finansial dan jalur perdagangan komoditas. Tempat dimana investor, pusat jasa keuangan regional berdomisili, hingga tempat berkumpulnya para trader dan konsumen yang berhubungan dengan bisnis komoditas perkebunan.

Beberapa group perkebunan Indonesia memiliki kantor atau mendaftarkan diri dalam bursa di Singapura. Termasuk group GAR yang masuk listing bursa saham Singapura pada 1999 dengan kapitalisasi pasar mencapai US$2,9 miliar pada perhitungan per 30 September 2015.

Modal dari Singapura merupakan investasi modal asing terbesar kedua setelah Malaysia di Indonesia. Pada periode 2010-semester I 2015, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan aliran modal asing dari Singapura sebesar USD 28,35 milyar.

Terakhir pada bulan Maret 2016, BKPM menyebutkan adanya ketertarikan perusahaan Singapura yang bergerak dalam industri kimia organik tertarik untuk menginvestasikan dana hingga USD 36,2 juta untuk mendaur ulang ampas buangan minyak sawit untuk diolah menjadi bahan baku industri.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, Singapura mengalami kerugian baik finansial maupun non finansial akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di daratan Sumatera pada periode 2013-2015.

Pemerintah Singapura pun secara agresif lalu mendorong diloloskannya Transboundary Haze Pollution Act, suatu undang-undang yang dapat menjerat para pelaku kebakaran hutan yang diratifikasi oleh parlemen pada tahun 2014,

Dengan UU ini meski locus delicti kejadian terjadi di luar wilayah administrasi Singapura, pihak penegak hukum Singapura berhak untuk mendakwa para pelaku. Sejauh ini telah terdapat enam perusahaan di Indonesia yang terindikasi terlibat pembakaran lahan yang berpotensi terkena regulasi ini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,