Cara Ini Bisa Meminimalisir Konflik Gajah dengan Manusia di Aceh

Konflik gajah sumatera dengan manusia, masih terjadi di sejumlah daerah di Aceh. Pemerintah daerah bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh dibantu sejumlah lembaga swadaya masyarakat, telah mendirikan Conservation Response Unit (CRU) di daerah rawan itu guna meminimalisir pertikaian.

Koordinator CRU Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur, Dedek Makam, mengatakan sebagian besar daerah di Aceh merupakan lintasan gajah. Hutan yang dulunya lintasan gajah, kini menjadi perkebunan. “Karena lintasan tersebut ditanam tanaman kesukaan gajah seperti pinang, pisang, jagung, dan sawit, secara tidak langsung kita mengundangnya untuk datang.”

Dedek menyebutkan, meski kawanan gajah yang masuk perkebunan diusir berkali, secara alami, mereka akan kembali karena daerah itu memang lintasan yang telah dilewatinya puluhan bahkan ratusan tahun. “Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah mengganti tanaman yang tidak disukai gajah, seperti kopi dan lainnya.”

Di Kabupaten Aceh Timur, hingga saat ini konflik gajah dengan manusia cukup tinggi. “Kami mengajak masyarakat untuk mengganti tanaman itu dengan tanaman yang nilai ekonominya tinggi, seperti lemon atau kopi,” ujarnya, belum lama ini.

Pengembangan bibit lemon di CRU Trumon. Foto: Junaidi Hanafiah
Pengembangan bibit lemon di CRU Trumon. Foto: Junaidi Hanafiah

Dedek mengaku, mengalihkan tanaman yang telah puluhan tahun ditanam masyarakat tanpa dukungan lembaga terkait adalah pekerjaan berat. Berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh tentang penanganan konflik satwa liar dengan manusia 2015, Dinas Pertanian dan Dinas Perkebunan, masuk dalam lembaga pemerintah yang ikut membantu mengatasi konflik tersebut.

“Keputusan Gubernur Aceh itu Nomor: 522.51/1097/2015 tentang Pembentukan Satuan Tugas Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwa Liar dan Keputusan Gubernur Aceh Nomor: 522.51/1098/2015 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwa Liar.”

Fransisco Sirait, Koordinator Mahot di CRU Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, mengungkapkan hal yang sama. CRU yang berada di Kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil tersebut mengajak masyarakat agar tidak lagi menanam tanaman yang disukai gajah.

“Kami mengembangkan bibit lemon, karena tidak disukai gajah dan monyet. Harga jualnya juga tinggi dan masyarakat tidak perlu menunggu hingga empat tahun memetiknya.”

Pria yang kerap disapa Koko tersebut menambahkan, saat ini tim CRU Trumon bersama masyarakat sekitar suaka margasatwa, mengembangkan bibit lemon yang nantinya menjadi contoh bagi masyarakat. “Kita berharap, tanaman ini akan menjadi pengganti sawit, jagung, atau tanaman lain yang disukai gajah.”

Tim CRU Trumon menyemai bibit lemon untuk memberikan contoh kepada masyarakat tentang tanaman yang tidak disukai gajah. Foto: Junaidi Hanafiah

Program Manager Forum Konservasi Leuser (FKL), Rudi Putra menyebutkan, FKL telah membicarakan rencana pergantian tanaman bernilai ekonomis di daerah rawan konflik dengan berbagai pihak. “Kita memilih lemon karena selain tidak disukai gajah, juga nilai ekonomisnya. Jika masyarakat serius menanam, ekonomi mereka akan meningkat.”

Rudi mengatakan, lemon dapat menjadi pagar sehingga gajah tidak akan masuk perkebunan masyarakat. Penyebabnya, batang lemon berduri. “Untuk perawatan, lemon tidak terlalu sulit dan tidak membutuhkan banyak biaya seperti halnya kelapa sawit.”

FKL butuh dukungan berbagai pihak, khususnya pemerintah, agar daerah yang rawan konflik gajah tidak lagi diberikan bantuan bibit yang disukai gajah, misalnya sawit. “Kami juga berharap, pemerintah maupun LSM memberikan pengetahuan kepada masyarakat cara yang benar menanam dan merawat lemon sehingga bisa diandalkan di masa mendatang,” paparnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,