, ,

Kala Warga Menata Kampung di Bantaran Sungai Yogyakarta

Kala warga bantaran Sungai Angke di Kalijodo, harus hengkang dari rumah mereka, tidak dengan warga di bantaran Sungai Winongo dan pinggiran Kali Code, Yogyakarta. Di kedua tempat itu warga aktif menata kampung, hingga lingkungan bersih, tertata, dan layak huni.

Dalam diskusi mengangkat tema Penataan Kawasan Pemukiman Padat Bantaran Sungai Berbasis Masyarakat, pada kegiatan Jagongan Media Rakyat, 21 April lalu, ibu-ibu Kelompok Kalijawi tampak antusias. Tak sekadar bertanya, mereka berani mengutarakan pendapat, bahkan menyanggah saat ada pandangan salah. Tak sedikitpun rasa malu atau gentar berdebat, meski dalam forum diskusi dihadiri mahasiswa, dosen, dan pejabat pemerintah.

Nur Suprihatin, misal, anggota Kelompok Kalijawi juga warga Gowok, Sleman menceritakan pengalaman penataan kawasan melibatkan masyarakat. “Masyarakat lebih tahu kondisi lingkungan. Selama ini selalu mengatasnamakan masyarakat, tapi tak pernah ditanya langsung. Masyarakat lebih tahu letak masalah, kondisi, dan situasi. Kalau masyarakat diajak akan timbul rasa memiliki. Menjaga dan memelihara,” katanya.

Warga lain, Ainun mempertanyakan wakil masyarakat yang dilibatkan selama ini. “Di Musrenbang, apa benar mereka mewakili kita. Mosok tiap tahun program membangun jalan konblok terus. Tak pernah masalah dilihat mendalam,” katanya.

***

Ada tiga sungai besar membelah Kota Yogyakarta, yaitu Code, Winongo, dan Gajah Wong. Jika terjadi hujan lebat di Merapi, ketiganya bisa dilalui lahar dingin maupun banjir kiriman. Tebing sungai juga rawan longsor.

Pemerintah kota sesungguhnya mempunyai kebijakan menjadikan bantaran sungai sebagai daerah hijau dengan mensterilkan dari permukiman warga. Upaya itu tak mudah. Selain makin banyak warga tinggal di bantaran sungai, keberadaan mereka turut menghidupkan dinamika kota. Tokoh yang menolak penggusuran dan membela keberadaan mereka antara lain Romo Mangunwijaya.

Semasa hidup, dia bersama warga Lembah Code di Gondolayu membuktikan dengan penataan benar, kawasan kumuh bisa disulap menjadi wilayah cantik dan layak huni.

Kelompok Kalijawi bisa disebut contoh sukses lain bagaimana warga bantaran sungai jika diberi kepercayaan, mereka sanggup menata lingkungan sendiri. Dengan pendampingan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Arkom (Arsitek Komunitas) Jogja, mereka berusaha memetakan masalah, lalu memecahkan bersama-sama.

Dari buletin yang diterbitkan, Rumah Kita, dipaparkan, Paguyuban Kalijawi sejak 2012. Awalnya, Kalijawi kumpulan arisan segelintir ibu-ibu yang risau dengan keadaan lingkungan. Dalam pertemuan informal ini, mereka sering membahas bagaimana mengurus sampah, apa yang harus dilakukan jika banjir, dan bagaimana menyediakan cukup kamar mandi warga.

Sampai kemudian mereka berkesimpulan membahas itu perlu melibatkan lebih banyak warga. Hal ini terkendala ketiadaan tempat luas dan nyaman. Akhirnya, mereka sepakat membangun balai warga yang memiliki disain unik terbuat dari bambu.

Paguyuban beranggotakan warga bantaran Sungai Winongo dan Gajah Wong ini kini lebih 150, dengan dana terkumpul Rp75 juta. Uang itu digulirkan untuk merehabilitasi rumah warga dan membangun balai.

Rumah di bantaran sungai rawan longsor. Foto: Nuswantoro
Rumah di bantaran sungai rawan longsor. Warga mesti dilibatkan dalam perencanaan tata kelola bantaran sungai. Foto: Nuswantoro

Bakti Setiawan, arsitek Universitas Gadjah Mada mendukung sikap ibu-ibu Kalijawi. Menurut dia, wargalah yang lebih tahu tentang kampung mereka. “Apa yang dilakukan ibu-ibu sudah benar. Belakangan muncul imbauan Mundur, Munggah, Madep Kali atau M3K. Ibu-ibu sudah melakukan,” kata Bobby, panggilan akrabnya.

M3K adalah program mengajak warga di bantaran sungai mundur, naik, dan menghadapkan rumah ke sungai. Tujuannya, agar warga mau menata lingkungan tempat tinggal, dan tak mengotori sungai dengan sampah.

Bobby menjelaskan, di Eropa dan negara-negara maju lain bisa tinggal di tepi sungai merupakan kemewahan. Tempat-tempat di tepi danau, laut, maupun sungai adalah lokasi favorit mendirikan rumah. Biasa lebih mahal dibanding di tepi jalan. “Jadi ibu-ibu harus bangga tinggal di tepi sungai. Jangan cuma bangga, harus dipelihara lingkungannya.”

***

Contoh sukses lain dalam membangun kesadaran lingkungan di bantaran sungai adalah ritual budaya Merti Code. Salah satu pegiat Merti Code, Kurniawan, dalam kesempatan berbeda menuturkan, ritual budaya setahun sekali ini melibatkan tak kurang dari tujuh kampung yang dilalui Sungai Code bagian utara, yaitu Kampung Jetisharjo, Terban, Cokrokusuman, Pogung, Sendowo, Karangjati, Gemawang, dan Blunyah.

“Dimulai 2001, Merti Code hingga kini sudah 15 kali,” kata Kurniawan, Ketua RW 08 Cokrokusuman juga ketua panitia Merti Code tahun lalu. “Sejarahnya cukup panjang.”

Merti Code adalah kegiatan budaya tahunan menjelang puasa. Ritual budaya ini ditandai pengambilan air dari tujuh mata air di  sekitar Code, lalu disatukan ke gentong. Air diarak melewati jalan utama bersama gunungan, dan bergodo berseragam prajurit keraton.

Kegiatan ini, katanya, untuk mendorong kepedulian warga memelihara Code, disimbolkan penghormatan kepada mata air. Jika sungai dan lingkungan dirawat, mata air akan lestari. Aneka kegiatan diadakan mulai gotong royong membersihkan sungai dan kampung, berbagai lomba, hingga pertunjukkan wayang kulit.

Bantaran sungai di Yogyakarta, menjadi titik perhatian beberapa lembaga swadaya masyarakat. Selain Arkom, ada Project Child. Surayah Ryha,  salah satu pendiri Project Child menjelaskan, mereka memiliki program Sekolah Sungai menyasar komunitas bantaran sungai.

“Kami memberikan edukasi lingkungan, kesehatan, dan kebencanaan. Sasaran anak-anak dan orangtua. Bekerjasama komunitas Kali Winongo sudah masuk tahun keenam, Kali Code tahun kedua.” Setiap minggu mereka membuat kelas-kelas lingkungan, kesehatan, dan mitigasi bencana. Mereka datang dengan program-program berkesinambungan.

Kamar mandi warga bantaran Sungai Code di Gondolayu. Foto: Nuswantoro
Kamar mandi warga bantaran Sungai Code di Gondolayu. Foto: Nuswantoro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,