,

Menikmati Hasil Laut dari Aceh (Bagian 4)

Sejak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dipimpin perempuan tangguh Susi Pudjiastuti, berbagai terobosan sudah diterapkan. Dari penegakkan kebijakan illegal, unreported, unregulated (IUU) Fishing hingga pelarangan beroperasinya kapal-kapal asing di lautan Indonesia, dan termasuk juga penerapan peraturan menteri (Permen) KP yang menuai kontroversi pro dan kontra.

Semua kebijakan itu berhasil dilaksanakan di seluruh Indonesia dengan menghasilkan implementasi positif dan negatif. Mongabay Indonesia pada tulisan ini akan membahas kebijakan yang sudah dibuat Susi Pudjiastuti dan dan mencari tahu sejauh mana dampak kebijakan tersebut.

Dalam tulisan berseri ini, Mongabay Indonesia  akan menceritakan industri perikanan dan kelautan yang ada di Provinsi Aceh, terutama di Kota Sabang  yang ada di Pulau Weh dan Kota Banda Aceh yang berlokasi di Pulau Sumatera. Berikut adalah tulisan keempat yang disajikan oleh penulis M. Ambari.

Sedangkan untuk tulisan lain, tautannya bisa dilihat di tulisan pertama, tulisan kedua dan tulisan ketiga.

********

Tiga hari hidup di Kota Sabang, Pulau Weh, akhirnya bisa ditarik kesimpulan bahwa kota kecil beraroma surga itu menyimpan potensi sektor perikanan dan kelautan yang sangat besar. Di kota yang menjadi salah satu pusat pertahanan Negara itu, potensi produk perikanan dan kelautan tersedia sangat banyak dengan variasi yang bermacam-macam.

Tapi, sayang sekali, potensi yang besar tersebut tidak bisa dimaksimalkan dengan baik karena fasilitas pendukungnya masih sangat terbatas. Bahkan, nelayan menyebut, dari sekian banyak fasilitas pendukung yang dibutuhkan, satu fasilitas pendukung utama justru tidak ada.

“Fasilitas tersebut adalah pabrik es. Jika ada pabrik es, nelayan tidak akan bingung lagi mencari ikan. Jika dapat banyak, ikan-ikan pasti akan aman dan terjual dengan harga yang bagus,” ucap Panglima Laot Lhok le Meulee Saiful Bahri saat bertemu muka dengan Mongabay Indonesia di Pantai Jaya, salah satu wilayah kerja dia di Kota Sabang.

Pertemuan yang berlangsung cukup lama pada Minggu (01/05/2016) petang itu, membawa pada satu kesimpulan bahwa, pabrik es adalah bukan sekedar lagi sarana pendukung utama di Sabang. Melainkan, itu adalah pendukung utama yang wajib diadakan untuk mendukung aktivitas perikanan dan kelautan di kota pulau itu.

“Memang demikian. Pabrik es itu wajib hukumnya di sini. Sama juga dengan daerah lain di Aceh ataupun Indonesia, jika memang ada aktivitas sektor perikanan dan kelautan. Namun, kenyataannya di sini tidak begitu,” tutur dia dengan nada kecewa.

Saiful menyebut, posisi Sabang yang dijadikan pelabuhan bebas sejak masa penjajahan Belanda dan berlangsung hingga 1985 setelah Indonesia merdeka, seharusnya bisa menjadi kesempatan yang bagus untuk mengembangkan segala potensi yang ada. Tetapi, peluang itu tidak bisa berkembang, karena salah satunya fasilitas yang sangat dibutuhkan tidak diperbaiki.

Menurut Saiful, sejak status pelabuhan bebas dicabut pada 1985 karena Pemerintah Indonesia ingin fokus mengembangkan Batam sebagai penggantinya, denyut nadi perekonomian langsung mati suri. Dan, kondisi tersebut ikut memengaruhi sektor perikanan dan kelautan.

“Pabrik es di Sabang itu sebenarnya sudah ada sejak lama. Namun, kenyataannya sekarang kondisinya terlantar. Karena sudah tidak terawat, pabrik tidak bisa lagi menghasilkan es yang sangat dibutuhkan oleh para nelayan,” sebut dia.

Sekedar diketahui, pabrik es yang saat ini ada berlokasi di samping tempat pelelangan ikan (TPI) Pasiran yang berlokasi di Pantai Pasiran. Pabrik tersebut masih berdiri dengan kokoh, namun sayangnya fasilitas di dalamnya sudah tidak berfungsi. Warga menyebutnya pabrik tersebut sebagai bangunan tak guna saja.

Suasana di dermaga perikanan Pantai Pasiran, Pulau Sabang, Aceh, pada Minggu (1/5/2016). Nelayan di Pulau Sabang masih dapat menangkap ikan dengan melimpah. Foto : M Ambari
Suasana di dermaga perikanan Pantai Pasiran, Pulau Sabang, Aceh, pada Minggu (1/5/2016). Nelayan di Pulau Sabang masih dapat menangkap ikan dengan melimpah. Foto : M Ambari

Selaras dengan Panglima Laot, Wakil Wali Kota Sabang Nazaruddin menyebutkan, kebutuhan mendesak yang harus segera disediakan di Sabang saat ini, adalah pembangunan pabrik es. Meski secara fisik bangunannya sudah ada, namun itu tetap harus dibangun ulang karena semua fasilitasnya sudah tidak bisa difungsikan.

“Saya berharap Pemkot Sabang bisa mewujudkannya tahun ini. Karena, pabrik es adalah sarana utama pendukung produktivitas aktivitas nelayan. Jika pasokan es mudah dan banyak, maka nelayan akan meningkat aktivitas melautnya. Otomatis ikan pun bertambah,” ujar dia.

Sementara itu Deputi Pelabuhan BPKS Sabang Syafruddin Chan, yang dijumpai secara terpisah, menyebut kemajuan yang dicapai Sabang saat ini masih jauh dari maksimal. Kata dia, meski Sabang sudah menetapkan diri sebagai pusat pariwisata di ujung Barat Indonesia, tetapi itu masih belum didukung dari fasilitas lainnya.

“Untuk pelabuhan saja, kita masih harus meningkatkan dari segi pelayanan dan juga fasilitas. Namun yang utama, saat ini kita masih belum bisa bersaing seperti kota-kota lain yang sudah berstatus kawasan khusus atau pelabuhan bebas,” sebut dia.

Penyebab belum bisa bersaing, menurut Syafruddin, karena saat ini Sabang masih belum memiliki keleluasaan untuk mendatangkan barang langsung dari luar negeri dengan bebas pajak. Kondisi itu ikut memengaruhi semua sektor kehidupan yang ada di Sabang, termasuk sektor perikanan dan kelautan.

Untuk itu, Syafruddin mencanangkan agar Sabang bisa kembali seperti dulu, persis sebelum 1985, dimana pelabuhan bebas di Sabang bisa berfungsi seutuhnya. Namun, itu juga tidak mudah diwujudkan, karena itu terkendala dengan peraturan pemerintah, yang berarti prosesnya akan sangat panjang.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,