, ,

Mongabay Travel: Menikmati Panorama Alam Gunung Gede

Pepohonan rimbun, kerikil dan bebatuan menyapa kaki. Suasana makin sempurna oleh gemericik air dari sela bebatuan atau sungai-sungai nan mengalir jernih. Hari itu, saya bersama beberapa rekan mendaki ke Puncak Gunung Gede, Jawa Barat. Lokasi ini bagian Taman Nasional Gede Pangrango.

Gunung berketinggian 2958 mdpl ini bisa jadi alternatif para pendaki sekitar Jakarta dan Jabar. Udara segar memberikan kelegaan, menghilangkan penat dari Jakarta.

Ada dua jalur paling diminiati pendaki, yakni, jalur Cibodas dan Gunung Putri. Kali ini, jalur Cibodas menjadi pilihan saya.

Tangga bebatuan tertata rapi menyambut para pendaki sejak persiapan pendakian. Rimbun pohon tropis mendominasi sepanjang perjalanan. Hijau, kuning dan coklat. Lumut hijaupun sering dijumpai menempel pada bebatuan dan batang pohon yang tak tersinari matahari.

Kawasan seluas 22.851,03 hektar ini, menyimpan keragaman hayati hutan hujan tropis pegunungan. Ia didominasi pohon raksasa, rasamala. Di hutan ini juga ada kantong semar, anggrek dan beragam tumbuhan lain.

Gede-Pangrango dikenal salah satu tempat favorit dan tertua bagi penelitian-penelitian tentang alam Indonesia. Dikutip dari Wikipedia, menyebutkan, dari catatan modern, orang pertama menginjakkan kaki di puncak Gede adalah Reinwardt, pendiri dan direktur pertama Kebun Raya Bogor. Dia mendaki G. Gede pada April 1819. Dia meneliti dan menulis deskripsi vegetasi di bagian gunung lebih tinggi hingga ke puncak. Reinwardt sebetulnya juga, bahwa Horsfield telah mendaki gunung ini lebih dahulu tetapi catatan perjalanan Horsfield tak dapat ditemukan.

Melalui sehelai surat kepada dari Buitenzorg (sekarang Bogor) awal Agustus 1821, Kuhl dan van Hasselt menyebutkan mereka baru menyelesaikan pendakian dan penelitian ke Puncak Pangrango. Kedua peneliti itu menemukan banyak jejak dan jalur lintasan badak Jawa.

Maret 1839, Junghuhn mendaki ke Puncak Pangrango dan Gede untuk mempelajari topografi, geologi, meteorologi, serta botani tetumbuhan di daerah ini.Sejak itu, tak lagi terhitung peneliti mengunjungi lokasi ini.

Kala memulai pendakian, tampak puncak gunung diselimuti awan, begitu menawan. Udara segar.Foto: Lusia Arumingtyas
Kala memulai pendakian, tampak puncak gunung diselimuti awan, begitu menawan. Udara segar.Foto: Lusia Arumingtyas

Kala saya melintasi ketinggian sekitar 2.220 mpdl, telinga disuguhi irama musik alami. Kicauan burung bersahutan. Suara lutung turut meramaikan suasana.

Gunung Gede juga memiliki fauna hampir punah, seperti owa Jawa, Surili, lutung dan elang Jawa. Namun, menjumpai mereka menjadi sebuah keberuntungan, Saya mendaki selama dua hari semalam, bertemu owa Jawa saat turun.

Owa Jawa bergelantungan dari satu daan ke dahan lain. Saat kami melihat, perilaku mereka bersahabat. Kala mengetahui ada manusia, owa tak lantas menghilang.

Di taman nasional ini, terdapat penangkaran owa dan elang Jawa. Saya juga melihat burung sikatan ninon atau meninting kecil.

Sumber air

Di hilir, banyak orang kesulitan mendapatkan air bersih. Tidak ketika kami mendaki pegunungan ini. Banyak sumber mata air ditemui. Air mengalir deras. Jernih. Penghilang dahaga dan lelah saat mendaki. Kesegaranpun ditemukan saat kibaskan air ke muka. Seperti di Telaga Biru dan Kandang Badak. Namun perlu cermat. Tak semua air bisa konsumsi karena ada mengandung belerang.

Ada beberapa lokasi memberikan warna berbeda dalam pendakian. Kami harus melewati tracking air panas. Di sepanjang jalan, hanya bertumpu tali yang menjadi alat menyeberang. Kanan kiri jurang nan curam. Menapaki satu batu ke batu yang lain. Uap panaspun terasa sampai memberikan embun di kacamata.

Air mengalir jernih, dan segar kala diminum. Awas, ada juga beberapa aliran belerang. Foto: Lusia Arumingtyas
Air mengalir jernih, dan segar kala diminum. Awas, ada juga beberapa aliran belerang. Foto: Lusia Arumingtyas

Kami juga menemui air terjun Cibeureum, sekitar 2,8 km dari Cibodas. Air mengalir cukup deras. Lumut merah menjadi spesies endemik di lokasi ini.

Sesampai di puncak, Alun-alun Suryakencana ketinggian 2,750 mdpl, pemandangan begitu indah. Dataran berundak ditutupi hamparan edelweis. Sayangnya, saat pendakian kabut menghalangi hingga tak keluasa melihat sekitar. Begitu juga, puncak dan kawah Gunung Gede.

Sampah

Sebelum pendakian, pendaki harus melewati pos I, harus bertemu dengan para ranger Gunung Gede. Di pos ini, surat Simaksi harus diperiksa. Kami harus menuliskan apa saja kemasan makanan yang dibawa berikut jumlah. Peralatan mandi ataupun sabun cucian tak diperkenankan.

”Ini kita sita ya, dan langsung dilenyapkan. Tak bisa dititip. Tidak ada lagi sabun? Jika ketawan nanti di atas, kena denda Rp10 juta,” kata satu ranger di pos I setelah salah satu pendaki memberikan odol dan sabun. Kala sudah periksa, kertas daftar list sampah bisa dsimpan dan diperiksa saat turun.

Meski demikian, tak jarang saat pendakian saya menemukan beberapa bungkus sampah terbuang di trecking. Baik kemasan makanan, botol minuman mnineral maupun kemasan sabun pencuci piring.

Dari segi wisata, pengelolaan kawasan ini masih minim, misal, tempat pembuangan sampah tracking wisatawan hanya di wilayah air terjun Ciebeureum.

Mari berwisata alam, seraya tetap menjaga keasrian dan tak meninggalkan sampah.

Suara binatang hutan, menjadi musik indah kala melintasi hutan menuju Puncak Gede-Pangrango. Foto: Lusia Arumingtyas
Suara binatang hutan, menjadi musik indah kala melintasi hutan menuju Puncak Gede-Pangrango. Foto: Lusia Arumingtyas
Cuaca cerah, punck gunung dengan hutan lebat begitu indah dipandang. Foto: Lusia Arumingtyas
Cuaca cerah, punck gunung dengan hutan lebat begitu indah dipandang. Foto: Lusia Arumingtyas
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,