Dari Lahan Gambut yang Terbakar, Muncul Tinggalan Arkeologis Era Sriwijaya. Membuktikan Apa? (Bagian-1)

Lahan gambut di Indonesia ternyata telah dimanfaatkan sejak ribuan tahun yang lampau. Penemuan artefak di Bumi Sriwijaya, Sumatera Selatan mengungkap bahwa sejak zaman kerajaan kuno, masyarakat Indonesia telah mampu mengelola lahan gambut dengan cara yang efektif dan tidak merusak. Mengapa saat ini pengelolaan lahan gambut di Indonesia malah menuju kerusakan, yang diindikasikan dengan lahan gambut yang terus terbakar? Suatu kenyataan yang membuat kita harusnya malu dengan para leluhur kita.

Tulisan ini merupakan seri tulisan tentang kondisi terkini temuan situs dan artefak kerajaan Sriwijaya di lokasi lahan gambut yang terbakar di Kabupaten OKI, Sumatera Selatan. Artikel ini merupakan seri pertama dari tiga tulisan.

Pada 2015 lalu api menghanguskan ribuan hektar lahan konsensi PT Bumi Mekar Hijau (BMH) di wilayah Desa Kedondong, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Kebakaran itu lalu menjadi salah satu penyumbang kabut asap yang dirasakan masyarakat di Sumatera Selatan dan sekitarnya. Tetapi dibalik peristiwa kebakaran tersebut, secara tidak sengaja terbuka tabir temuan jejak arkeologis sejarah kuno kehidupan masyarakat di zaman era kerajaan Sriwijaya yang hidup di lahan gambut.

Lokasi pemukiman itu sendiri berada di lahan gambut yang masuk sub DAS (Daerah Aliran Sungai) Sungai Lumpur,  tepatnya di antara Sungai Lampipi dan Sungai Tupak, yang menghadap ke wilayah timur atau Selat Bangka.

“Dari sebaran penemuan benda purbakala di lahan konsensi yang terbakar ini, kami sangat yakin dulunya wilayah ini merupakan sebuah pemukiman kuno, dari masa Kerajaan Sriwijaya,” ungkap arkeolog Nurhadi Rangkuti kepada Mongabay Indonesia, saat berada di lokasi penemuan artefak di Kanal 8, Dusun Pasir, Desa Ulak Kedondong, Kecamatan Cengal, Kabupaten OKI, Rabu (11/05/2016). 

“Pemukiman ini dekat dengan dataran tinggi Cengal yang saat itu merupakan hutan alam yang menyediakan kebutuhan bahan alam untuk dijual ke berbagai bangsa lain.”

Nurhadi pun berkesimpulan pemukiman di lokasi ini cukup ramai di era Sriwijaya dan menjadi bagian penting dari Jalur Sutera Maritim.

Bukti ramainya kehidupan pemukiman kuno ini, dapat dijumpai pula dari banyaknya tiang rumah panggung dari kayu nibung di lokasi situs, kemudian perahu, serta berbagai keramik dari Tiongkok di masa Dinasti Tang, seperti guci, mangkuk, manik-manik kaca, manik-manik batu, manik-manik kaca lapis, kemudian koin-koin Sriwijaya, pin perunggu bergambar burung, cincin emas, termasuk pula alat penumbuk dari kayu, serta batu pipisan (grinding stone) yang digunakan melumat bahan jamu atau obat-obatan. Bahkan ditemukan prasasti pendek berjangka tarikh masehi abad ke-7.

Tiang rumah panggung di masa Sriwijaya yang terbakar dan dicabut masyarakat di lokasi situs Sriwijaya di dalam konsensi PT BMH, Kanal 8. Foto Taufik Wijaya
Tiang rumah panggung di masa Sriwijaya yang terbakar dan dicabut masyarakat di lokasi situs Sriwijaya di dalam konsensi PT BMH, Kanal 8. Foto Taufik Wijaya

Khusus untuk penemuan sisa tiang rumah panggung pun membuktikan jika masyarakat yang hidup di lahan gambut pada masa Sriwijaya sangat arif terhadap lingkungan hidup.

“Rumah panggung yang berdiri di lahan basah atau gambut merupakan bukti kearifan masyarakat Sriwijaya terhadap lingkungan. Sebab dengan adanya rumah panggung berarti mempertahankan kondisi lahan gambut tetap basah, karena bangunan rumah tersebut tidak mengubah karakter lahan gambut,” jelas Dr. Ari Siswanto, pakar arsitektur dari Universitas Sriwijaya, saat dijumpai Minggu (15/05/2016).

Menurutnya, masyarakat saat itu mampu hidup beradaptasi dengan kondisi lahan gambut, tanpa merusak tatanan ekosistem dan bentang lahan yang ada. 

Selain rumah panggung, masyarakat saat itu juga berdiam di rumah rakit atau rumah apung di air, yang lantainya menggunakan bambu yag dijajarkan dan diikat. Rumah rakit menjadi pilihan tempat tinggal masyarakat karena air sungai yang tidak mengering sepanjang tahun.

Namun sayangnya saat ini di wilayah pesisir timur Sumatera, rumah panggung mulai ditinggalkan masyarakat. Perubahan ini terjadi sejak hadirnya bangunan rumah-rumah transmigran di wilayah lahan gambut yang diintroduksikan oleh pemerintah.

Contohnya di wilayah Air Sugihan, dimana rumah-rumah transmigran non panggung dibangun oleh pemerintah dan didirikan di lahan gambut yang dikeringkan. Saat itu  pemerintah beralasan rumah non panggung lebih cepat dan ekonomis alih-alih rumah panggung yang memerlukan banyak kayu nibung.

Rumah-rumah transmigran tersebut pun memberi inspirasi bagi masyarakat lokal untuk menirunya. Bahkan rumah non panggung yang dibangun menjadi lebih modern yang menggunakan batubata, pasir dan semen. Pengeringan lahan gambut dan rumah non panggung pun menggeser pemukiman dari tepi sungai dan rawa gambut ke daratan, yang semakin mendekatkan wilayah pemukiman ke area perkebunan darat.

Dua guci dari masa Dinasti Tang yang ditemukan di situs pemukiman Sriwijaya. Foto Taufik Wijaya
Dua guci dari masa Dinasti Tang yang ditemukan di situs pemukiman Sriwijaya. Foto Taufik Wijaya

“Akhirnya banyak hutan dibuka atau perkebunan diubah menjadi dusun dengan rumah-rumah non panggung. Perlahan-lahan budaya masyarakat gambut berubah menjadi masyarakat daratan. Mereka tidak lagi peduli dengan sungai yang semakin mendangkal, menyempit serta kondisi rawa gambut. Bahkan ada yang melakukan penimbunan di daerah tepian sungai atau rawa gambut,” jelas Nurhadi.

Satu hal yang cukup memprihatinkan, masyarakat di sekitar rawa gambut saat ini banyak yang tidak memahami desain pemukiman, misalnya rumah-rumah yang dibangun tanpa perencanaan tata ruang lahan basah, sehingga pemukiman mereka kerap terancam banjir.

Padahal di masa lalu, arsitektur rumah di Sumsel amat memikirkan hal ini, bukan hanya di wilayah basah juga di daratan dalam bentuk rumah panggung. Rumah panggung ini dibagi dua; rumah limas dan rumah ulu. Rumah limas yakni rumah panggung yang berada di Palembang. Disebut rumah limas karena beratap limas pada puncaknya terdapat hiasan kuncup bunga cempaka dengan ujungnya lengkungan pendek. Rumah limas memiliki lima ruangan yang bertingkat dan dua tangga.

Batu pipisan (grinding stone) yang ditemukan di situs pemukiman Sriwijaya. Foto Taufik Wijaya
Batu pipisan (grinding stone) yang ditemukan di situs pemukiman Sriwijaya. Foto Taufik Wijaya

“Palembang sekitar 100 tahun lalu hampir semua bangunan dalam bentuk panggung, lalu berubah menjadi non panggung tanpa pemahaman dalam mengelola rawa gambut, sehingga mengalami banjir setiap musim penghujan karena rawa dan sungai di Palembang banyak yang hilang,” tutur Nurhadi.

Sedangkan Rumah ulu yakni rumah panggung yang berada di wilayah pedalaman, termasuk di wilayah gambut. Atap rumah ulu biasa saja dan memiliki satu tangga. Tidak bertingkat. Bagian atas rumah sebagai kediaman, dan bagian kolong digunakan sebagai tempat menyimpan peralatan rumah tangga dan lainnya jika di daratan, dan perahu jika di perairan.

Dengan fakta temuan arkeologi yang ada, Nurhadi Rangkuti berharap kawasan konsensi PT BMH yang terbakar tersebut dijadikan cagar budaya. “Tujuannya untuk melindungi situs Sriwijaya yang sudah ditemukan, juga demi kepentingan penelitian selanjutnya,” ujar peneliti senior dari Balai Arkeologi (Balar) Sumsel ini.

“Jika ingin merestorasi lahan gambut yang terbakar harusnya pemerintah bisa berpijak kepada inskripsi yang disebut dalam tinggalan Sriwijaya yaitu Prasasti Talang Tuwo. Di situ jelas disebut pembagian fungsi lahan, termasuk tanaman yang ditanam masyarakat, seprti kelapa, pinang, bambu, aren, dan sagu, bahkan keberadaan lebung beserta kanal atau anak-anak sungainya.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,