,

Ingin Percepatan Bandara Kulon Progo, Tahukah Presiden Kalau Lokasi Pembangunan Itu Lumbung Pangan?

Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas (ratas) membahas percepatan  pembangunan bandara di Yogyakarta, sebagai pengganti Bandara Adisutjipto yang sudah kelebihan kapasitas, Senin sore, (9/5/16), di Istana Negara, Jakarta.

Presiden menyampaikan, Bandara Adisutjipto melayani 3,5 juta penumpang pertahun, padahal kapasitas hanya 1,5 juta. “Bandara baru akan memberikan dampak dan nilai tambah pada perekonomian daerah, terutama Yogyakarta dan sekitar,” kata Presiden, dari rilis Tim Komunikasi Presiden, Ari Dwipayana.

Jokowi mendengar rencana bandara sudah lama tetapi pengerjaan belum mulai. Presiden menekankan agar semua bergerak cepat menyelesaikan pembangunan infrastruktur. Jika ditunda-tunda, katanya, infrastruktur Indonesia akan tertinggal dengan negara-negara lain.

Dia berpesan agar pembangunan bandara tak hanya untuk lima sampai10 tahun, kalau bisa 30-50 tahun ke depan.  “Terintegrsi dengan moda lain, baik bus maupun kereta api. Saya kira itu yang bisa saya sampaikan.”

Secara terpisah, Gubernur Yogyakarta Hamengku Buwono (HB) X menyatakan, siap menjalankan permintaan Presiden. ”Permintaan kepada Angkasa Pura mempercepat, masih menunggu appraisal,” katanya.

Tim appraisal diberi waktu 30 hari untuk menaksir harga lahan di kawasan bandara. Setelah itu, akan ada 30 hari lagi musyawarah hasil taksiran ke warga. Bagi warga terdampak akan ada waktu 14 hari untuk menyepakati atau menolak harga taksiran. Bila menolak, jangka waktu itu ada proses mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri.

Terkait kemungkinan pengurangan luasan bandara, dari 647 hektar, sesuai izin penetapan lokasi, menjadi sekitar 587 hektar, Gubernur belum berani menentukan. Dia menyerahkan kepada tim appraisal.

Sekretaris Daerah (Sekda) Kulonprogo Astungkoro mengatakan, pengurangan lahan menyesuaikan desain. Bagian yang mengalami penyusutan sebelah barat, bagian satuan radar. Pengurangan juga berpengaruh pada luasan lahan yang akan dibebaskan.

Sedangkan relokasi, katanya, sudah meminta persetujuan ke Kadipaten Pakualaman supaya lahan Paku Alam Ground (PAG) di Kaligintung dan Siwates bisa untuk relokasi. Sistemnya, margersari. Setiap kepala keluarga menempati lahan seluas 100 meter persegi.

”Magersari itu bukan diberi atau sewa, tetapi bisa ditempati sampai kapanpun terserah,” kata Astungkoro.

Cabai, salah satu produksi dari Temon yang terancam tergusur untuk pembangunan bandara baru. Foto: Tommy Apriando
Cabai, salah satu produksi dari Temon yang terancam tergusur untuk pembangunan bandara baru. Foto: Tommy Apriando

Lumbung pangan

Menanggapi ini, LBH Yogyakarta dan Paguyuban Petani Wahana Tri Tunggal (WTT)–petani dari Desa Jangkaran, Sindutan, Palihan dan Glagah, Kecamatan Temon, Kulon Progo –, menilai negara tutup mata atas berbagai carut marut rencana pembangunan bandara ini.

Pertanian Kulonprogo merupakan budidaya lahan pesisir dengan gumuk pasir.  Komoditas warga seperti cabai, semangka, melon, buah naga dan suyuran mayur, buat memenuhi keperluan bukan hanya Yogyakarta juga luar daerah. Lahan yang bakal tergusur itu daerah lumbung pangan.

Yogi Zul Fadhli, dari LBH Yogyakarta, mengatakan, selama ini keberatan rencana pembangunan bukan saja dari WTT—penolak tanpa syarat–, kegelisahan juga muncul dari kelompok pro-bersyarat– menuntut ganti rugi layak seperti lahan pengganti dan relokasi gratis, juga ganti rugi bagi penggarap PAG.

Kegelisahan ini muncul lantaran masa hari depan mereka tak jelas karena janji-janji seperti lahan pengganti dan relokasi makin tak jelas. Padahal, janji-janji itu dikatakan tim persiapan.

“Sampai hari masih mendampingi petani yang keberatan dengan rencana pembangunan, tergabung dalam WTT. Pembangunan ini jelas berisiko merampas lahan pertanian,” kata Yogi.

Belum lagi aspek perencanaan, katanya, soal rencana bandara tak ada dalam aturan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Bahkan Pesisir Temon, Kulonprogo, dalam Perda RTRW Yogyakarta, jelas kawasan lindung karena rawan bencana alam. UU Kebencanaan menegaskan, salah satu upaya mengurangi bahaya bencana tsunami dengan tak membangun sama sekali.

“Pada aspek tahapan, perencanaan penting seperti penyusunan Analisis mengenai dampak lingkungan hingga izin lingkungan, hingga hari ini belum dilakukan.”

Aparat kepolisian berjaga-jaga kala tim penilai datang ke desa dalam kaitan pembangunan bandara. Foto" LBH Yogyakarta
Aparat kepolisian berjaga-jaga kala tim penilai datang ke desa dalam kaitan pembangunan bandara. Foto” LBH Yogyakarta

Catatan LBH Yogyakarta, perencanaan serampangan tanpa ada Amdal, padahal proses pembebasan lahan sudah berjalan—masuk tahapan pra-konstruksi. Terkesan Pemerintah ingin menguasai lahan terlebih dahulu, lingkungan sosial urusan belakangan dan bisa diakali. Jadi, penyusunan dari pemrakarsa terkesan prosedural semata, Tanpa perlu melibatkan, atau persetujuan bahkan keberatan warga.

Menyangkut relokasi ke tanah kas desa, katanya, jelas obyek milik Pakualaman Ground. Kalaupun relokasi bukanlah menjadi pemilik hanya menguasai.

Ganti rugi bentuk uang, katanya, tentu sulit bagi petani yang sangat bergantung lahan. “Menjual tanah, bagi petani sama seperti menjual ibu sendiri. Wajar jika konflik di Kulon Progo memanas. Petani berat melepaskan tanah sebagai alat produksi mereka.”

Ketua WTT Martono mengatakan, Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) dan WTT menyatakan bersatu dan tetap menolak pembangunan pabrik penambangan pasir besi di Karangwuni dan megaproyek bandara baru di Temon.
Mereka juga mengirimkan surat kepada Presiden ditembuskan kepada DPR, Menteri Perhubungan, Menteri Agraria, Gubernur, Bupati, Polri, TNI dan instansi serta organisasi lain.

Surat ini berisi pernyataan sikap PPLP dan WTT, antara lain menolak rencana pembangunan bandara baru tanpa syarat. Mereka juga menuntut menolak pertambangan pasir besi tanpa syarat.

Intimidasi dan kekerasan

Kamis, (12/5/16), , sejumlah petani penolak pembangunan bandara mendapat intimidasi dan kekerasan polisi. Beberapa petani jadi korban. Data LBH Yogyakarta menyebutkan, kejadian bermula sekitar pukul 08.00, sekitar 1.000-an personil keamanan (empat bis dan enam truk), terdiri dari (paling banyak) polisi dan TNI, diturunkan.

Bersama tim appraisal, aparat menggeruduk Padukuhan Sidorejo. Mereka hendak menilai tanah pemakaman umum di padukuhan setempat. Sudah barang tentu, penilaian ditentang warga. Ratusan warga berkumpul di makam. Berjaga-jaga sekaligus menutup rapat pintu makam agar tak dimasuki tim appraisal dan aparat. Tak berselang lama, setelah perundingan, ada keputusan hanya tim appraisal yang boleh masuk bersama pewaris makam dan aparat seperlunya.

Blokade dibuka. Sesudah pintu terbuka, ratusan aparat justru ikut merangsek masuk ke makam. Yang terjadi,  sabuk pengamanan berwarna kuning dibentangkan dan petani  yang mengepung makam dibubarkan. Mereka dianggap tak berkepentingan. Suasana ricuh. Warga kocar-kacir. Sejumlah petani terpojok, ada kena jotos dan ditendang polisi. Bahkan diintimidasi psikis. Bagi warga tanah makam sama pentingnya dengan tanah hak milik karena hasil iuran warga.

LBH Yogyakarta mengecam tindakan polisi. Tindak-tanduk mereka menimbulkan ketidakamanan dan ketidaknyamanan hidup warga Temon.

Muhamdi, warga setempat dihubungi Mongabay mengatakan, kejadian 11-12 Mei itu, petani didorong lalu dipasang police line, “Yang melawan kena tonjok, tendang, serta dorong pakai tameng, dan pentungan. Dalihnya menyeterilkan pemakaman dari warga. Korban pemukulan kurang lebih 12 orang,” katanya.

Warga Kecamatan Temon, Kulonprogo, menolak pembangunan bandara. Foto: Tommy Apriando
Warga Kecamatan Temon, Kulonprogo, menolak pembangunan bandara. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,