,

Derita Masyarakat Adat Kanar dalam Tekanan Pemerintah dan Perusahaan

Hari menjelang petang ketika kami memasuki kawasan Komunitas Adat Kanar. Secara administratif kawasan ini termasuk dalam wilayah Desa Labuang Badas, Kecamatan Labuang Badas, Kabupaten Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat. Berjarak sekitar 17 km sebelah barat Kota Sumbawa.

Usman dan sejumlah warga Kanar lainnya menyambut kami dengan ramah sambil menyilahkan kami menikmati jagung rebus dan air kelapa muda yang sudah siap santap, di sebuah balai yang berdiri di tengah padang rerumputan. Sekeliling kami adalah kebun dan kandang ayam milik warga setempat. Sementara kawasan pemukiman letaknya agak terpisah jauh ke dalam.

“Ini semua sekeliling termasuk dalam kawasan Kanar. Luas total tanah ulayat kami ini sekitar 3.100 ha,” jelas Usman, pada akhir April 2016.

Sayangnya, luas kawasan yang menjadi klaim wilayah adat tersebut kini menjadi objek sengketa dengan pemerintah. Sekitar 1.000 ha dulunya digunakan oleh Perhutani yang kemudian pengelolaannya dilanjutkan oleh KPH Batulante melalui SK Menteri Kehutanan pada 2014 silam. Sementara 2.000 ha dinyatakan sebagai kawasan penyangga dan ritus budaya. Hanya 100 ha yang menjadi wilayah kelola warga dan juga pemukiman.

“Baru-baru ini KPH sudah sosialisasi dan tak membolehkan adanya penambahan pemukiman lagi,” jelas Usman.

Menurut Usman, sejak awal Perhutani masuk dan mengambil alih wilayah adat Kanar di tahun 1982, sama sekali tanpa penyampaian kepada warga komunitas. Lalu, ketika kawasan ini kemudian dijadikan sebagai KPH juga tanpa ada proses yang transparan.

“Kita tak pernah tahu dan penjelasan sedikit pun bagaimana tiba-tiba lahan seluas 1000 ha itu tiba-tiba ditetapkan sebagai KPH pada tahun 2014 lalu,” jelasnya.

Ketika Usman, sebagai Ketua Komunitas Adat Kanar dan sekaligus Kepala Dusun Kanar bersikap kritis menentang kebijakan tersebut, ia malah mendapat intimidasi. Belakangan ia dipecat sebagai Kadus. Alasan pemecatan karena dianggap telah melakukan hal yang menguntungkan keluarga dan memperkaya diri sendiri.

“Tuntutan ini tidak masuk akal dan mengada-ada. Saya tidak mempermasalahkan pemecatanannya. Namun alasan pemecatannya itu yang tidak bisa saya terima,” katanya.

Usman sendiri, melalui advokasi pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumbawa, kini menempuh jalur hukum praperadilan atas pemecatan tersebut.

“Kita bantu praperadilan karena pemecatan ini cacat hukum. Kini sudah berproses di PTUN,” jelas Febriyan Anindita, Kepala Biro Advokasi dan Infokom AMAN Sumbawa.

Tambang Pasir Liar

Tidak hanya terkait konflik klaim wilayah dengan pemerintah, masyarakat adat Kanar kini juga harus berhadapan dengan aktivitas penambangan pasir liar di wilayah adat mereka. Ironisnya, aktivitas penambangan ini justru didukung oleh Kepala Desa Labuang Badas.

“Saya juga pernah memimpin warga mempertanyakan hal ini, itu juga menjadi alasan saya dipecat selain karena masalah dengan KPH itu,” jelas Usman.

Tidak hanya pemecatan terhadap Usman, beberapa warga Kanar lainnya mendapat ancaman kekerasan melalui telpon.

“Saya sering diancam lewat telpon karena memprotes tambang liar ini. Semua warga yang pernah protes juga mendapat ancaman yang sama,” jelas Darmansyah, warga Kanar lainnya.

Warga Kanar di di Desa Labuang Badas, Labuang Badas, Sumbawa Besar, NTB telah melakukan berbagai upaya menolak keberadaan tambang galian pasir di wilayah mereka namun hingga saat ini belum mendapat respon dari pemerintah. Foto: Darmansyah
Warga Kanar di di Desa Labuang Badas, Labuang Badas, Sumbawa Besar, NTB telah melakukan berbagai upaya menolak keberadaan tambang galian pasir di wilayah mereka namun hingga saat ini belum mendapat respon dari pemerintah. Foto: Darmansyah

Alasan penolakan warga atas tambang pasir tersebut, selain bertentangan dengan aturan adat setempat, juga karena dampak yang ditimbulkannya terhadap sungai dan area perkebunan di daerah tersebut.

“Banyak warga yang terpaksa menjual kebun mereka dengan harga murah karena daerah sekelingnya rusak karena adanya pengerukan pasir dengan menggunakan alat berat. Sedikitnya terdapat empat alat yang kini berada di lokasi tambang,” jelas Darmansyah.

Tingkat kerusakan sungai pun sudah mencakup hulu hingga hilir. Selain itu,bekas-bekas galian dibiarkan begitu saja dengan kedalaman mencapai belasan meter.

“Kita bisa lihat sekarang sungai-sungai sudah tak jelas alirannya. Airnya juga sudah keruh dan terasa payau. Di musim kemarau sungai-sungai tersebut bahkan kering,” tambah Darmansyah.

Menurut Ikhsan, Ketua Pemuda Adat Kanar, kondisi sungai yang rusak dan keruh membuat aktivitas ekonomi sejumlah warga yang menggantungkan hidup dari hasil sungai terganggu.

“Dulu warga banyak mencari kepiting di sungai, namun sekarang sudah tidak ada lagi,” tambah Ikhsan.

Warga Kanar sendiri sudah melakukan berbagai upaya untuk menghentikan penambangan ini sejak 2012, antara lain melalui aksi penghadangan alat berat.

“Kita pernah cegat alat beratnya namun mereka bilang disuruh Kepala Desa. Akhirnya kita tak bisa apa-apa.”

Upaya lain yang dilakukan adalah melaporkan tambang liar ini ke sejumlah pihak, termasuk ke Camat dan Bupati yang ditembuskan ke Gubernur dan Kapolda, namun hingga kini tak ada perubahan apa pun.

“Malah sampai sekarang aktivitas masih berlanjut dan tak ada penjelasan sama sekali. Pernah ada beberapa intel yang datang tanya-tanya, namun hanya sebatas itu saja. Aktivitas masih tetap berlangsung,” tambah Darmansyah.

Menurut Usman, aktivitas tambang pasir di daerah tersebut sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 1994 yang diawali dengan penambangan pasir pantai. Perlahan aktivitas penambangan ini meluas semakin merangsek ke bagian dalam mencakup kawasan perkebunan sekitar aliran sungai.

“Protes kami sudah lama. Kades yang sekarang ini, namanya Abdul Samad dulunya ikut menentang tambang tersebut. Dalam kampanye sebagai Kades ia bahkan berjanji menutup tambang pasir tersebut, tapi malah sekarang berbalik haluan.”

Kelembagaan Komunitas

Komunitas Adat Kanar dengan luas wilayah 3.100 ha ini dihuni oleh sekitar 326 kepala keluarga, yang terdiri dari 1.200 laki-laki dan 1.500 perempuan. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani sawah dan kebun, peternak, nelayan, pencari madu, dan sebagian kecil di sektor jasa dan industri.

Komunitas ini memiliki konsep pengelolaan ruang tersendiri, dengan pembagian ruang yang terdiri dari tua (hutan), brang (kali besar), kokar (kali kecil), orong (sawah), keban (kebun), sampar (bukit), karang (pemukiman), dan rawu (ladang).

Wilayah Kanar di di Desa Labuang Badas, Labuang Badas, Sumbawa Besar, NTB yang subur menjadi sumber penghasilan utama sekitar 326 KK warga Kanar. Mereka hidup dari hasil bertani, berkebun dan madu. Wilayah kelola mereka semakin berkurang karena adanya klaim kawasan dari pemerintah dan aktivitas tambang pasir. Foto: Wahyu Chandra
Wilayah Kanar di di Desa Labuang Badas, Labuang Badas, Sumbawa Besar, NTB yang subur menjadi sumber penghasilan utama sekitar 326 KK warga Kanar. Mereka hidup dari hasil bertani, berkebun dan madu. Wilayah kelola mereka semakin berkurang karena adanya klaim kawasan dari pemerintah dan aktivitas tambang pasir. Foto: Wahyu Chandra

Komunitas ini juga memiliki mekanisme penguasaan dan pemanfaatan wilayah, dimana setiap penguasaan wilayah harus dimusyawarahkan didalam forum petinggi adat. Dalam musyawarah ini kawasan yang akan dikelola dibagi perkeluarga.

“Ini disebut maung. Meski memiliki hak kelola namun tidak boleh dialihpindahkan kepihak lain. Jika tetap dilakukan maka harus dikembalikan ke adat lagi menunggu ijin dari pemuka adat.”

Di komunitas Kanar ini juga memiliki mekanisme perlindungan hutan agar tetap lestari melalui sistem tumpang sari. Mereka juga memiliki aturan adat yang disebut bakalewang yang berarti larangan menebang pohon di wilayah tertentu serta larangan untuk menambang pasir dari sungai.

Dalam aturan bakalewang ini dikatakan bahwa setiap orang yang menebang pohon di hutan tutupan akan dikenakan sanksi adat berupa penanaman pohon kembali atau denda dengan uang.

Untuk perlindungan sungai terdapat larangan meracuni sungai, dengan sanksi adat menguras air sungai bagi yang melanggar.

Kelembagaan adat Kanar yang disebut kalewang terdiri dari Prea atau penasehat atau pembina dalam adat. Ketua Adat yang memimpin semua elemen dalam adat, Wakil Ketua Adat yang membantu Ketua Adat, Lebe atau Imam yang berperan sebagai pimpinan keagamaan, serta Sandro yang berperan sebagai tokoh ritual atau dukun.

“Seluruh pranata adat masih berfungsi hingga sekarang, seperti Rapat Adat, yang antara lain bertujuan untuk menggalang dana untuk terlaksananya kegiatan adat,” jelas Usman.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,