,

Petiga, Desa Tanaman Hias di Tabanan

Ini kali ketiga saya ke desa resik ini. Kunjungan pertama 11 tahun lalu, dan hingga kini masih asri membudidayakan tanaman hias sekaligus menjadi pendorong perilaku sadar lingkungan warga sekitar.

Bertemu Made Menja pemilik warung kecil pinggir jalan. Warungnya terlihat semerawut, namun demplot tanaman hias depan warungnya terawat baik. Ada jenis pisang-pisangan (heliconia) berwarna kuning kemerahan yang siap dikirim ke pelanggan. “Beli di sini lebih murah dibanding di Denpasar,” bujuknya.

Ada beberapa jenis heliconia yang dibudidayakan warga. Heliconia densiflora adalah bunga pisang-pisangan yang bentuk bunganya seperti cakar kepiting dan berwarna jingga kekuningan. Yang lebih mahal Heliconia rostrata, bunga pisang-pisangan bunganya menggantung seperti buah pisang.

Ia mengajak masuk rumah di belakang warung. Rumahnya luas, ada demplot kebun di sana-sini. Aneka bibit tanaman dan gundukan pupuk kandang. Terlihat bersih dan asri. Pengunjung bisa masuk ke nyaris semua rumah di desa ini tanpa sungkan karena etalase mereka adalah halaman rumah sendiri.

Warga yang tiap hari buat ribuan bibit tanaman hias membuat Desa Petiga terlihat indah. Jenis yang paling banyak dibudidayakan adalah puring atau kroton (Codiaeum variegatum). Pohon dengan dedaunan aneka bentuk dan warna.

Ada tiga dusun di Desa Petiga yang mayoritas warganya berbisnis tanaman hias, Petiga Blanban, Petiga Kangin, dan Petiga Semingan. Salah satu dusun melarang alih fungsi halaman depan rumah yang biasa disebut telanjakan di Bali. Ini ruang hijau dalam konsepsi arsitektur tradisional Bali.

Halaman belakang rumah atau teba juga asri menjadi kebun sekaligus etalase usaha tanaman hias yang kini ditekuni sebagian dusun di Desa Petiga, Kecamatan Marga, Tabanan, Bali. Sekitar 1,5 jam berkendara dari Kota Denpasar ini.

Juga ada kesepakatan warga desa untuk melarang penjualan tanah pekarangan milik desa. Tanah pekarangan yang berada di sisi jalan desa ini disebut tanah ayahan, tanah yang dimanfaatkan warga untuk kepentingan desa. Status lahan desa ini dipertahankan untuk menjaga pengalihan kepemilikan lahan sekaligus bermanfaat bagi keberlanjutan budi daya tanaman hias.

Halaman warga Desa Petiga, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Bali yang terlihat asri karena ditanami dipenuhi aneka tanaman hias. Selain menjadikan asri, tanaman hias menjadi mata pencaharian warga untuk dijual. Foto : Luh De Suriyani
Halaman warga Desa Petiga, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Bali yang terlihat asri karena ditanami dipenuhi aneka tanaman hias. Selain menjadikan asri, tanaman hias menjadi mata pencaharian warga untuk dijual. Foto : Luh De Suriyani

Selain itu, upaya-upaya pelestarian lingkungan pun otomatis menjadi keseharian warga. Sampah-sampah plastik dimanfaatkan petani sebagai wadah-wadah bibit, pengganti polybag.

Salah satu dusun, Banjar Sembingan juga membuat larangan membuang sampah sembarangan. Peraturan ini secara tegas telah termuat dalam peraturan adat (awig-awig) banjar setempat. Jika melanggar, warga dikenakan sanksi denda Rp10 ribu. Memang tak begitu berat, tapi sangat memalukan jika anda harus diadili di depan rapat banjar.

Sebelumnya, tak satu pun warga yang percaya menanam berbagai jenis tanaman daun-daunan atau don kayu akan mendatangkan rejeki bagi warga Desa Petiga. Tanaman jenis puring-puringan yang menjadi sarana pembuatan banten (sesajen) itu kini menjadi ikon desa sekaligus mata pencaharian utama warganya.

Sejauh mata memandang, hampir tiap jengkal tanah di dusun Sembingan, tumbuh berbagai jenis puring, orang Bali biasa menyebutnya don kayu. Tanaman lainnya yang banyak ditanam adalah berbagai jenis pohon palem, pandan, dan pisang-pisangan. Setiap rumah penduduk bagai sebuah etalase tanaman hias. Bagian belakang rumah difungikan sebagai tempat produksi mulai dari pembibitan dan pembuatan pupuk.

Kenikmatan yang dinikmati warga Sembingan kini tidak hanya berupa material, tapi juga psikologis dan spritual. Budi daya berbagai jenis puring dan tanaman hias lainnya memberikan pendapatan teratur tiap bulannya bagi tiap keluarga. Desa berhawa sejuk, itu pun berubah cantik dan teduh. Kepuasan makin bertambah karena dengan bertani tanaman hias diselingi buah-buahan kebun warga menjadi tak kesulitan mendapatkan berbagai sarana membuat banten untuk persembahyangan.

Pada kunjungan pertama 2005 lalu, banyak warga berkisah tentang dampak besar dari berkebun kecil-kecilan di rumah sendiri ini. “Kami sendiri tidak percaya, desa ini jadi begini sekarang. Padahal cuma nancebin (menanam) dahan di tanah saja,” kata I Nyoman Sura, Kepala Desa Petiga menceritakan bagaimana warga mulai membudidayakan berbagai tanaman hias. Sebelumnya sebagian besar warga hanya memanfaatkan lahannya untuk beternak ayam atau sapi.

Ia menceritakan, ketika itu sekitar tahun 1983, sejumlah warga heran melihat salah satu warga Sembingan, I Made Murik, memenuhi rumahnya dengan sejumlah tanaman yang kemudian dijualnya. Setiap hari Murik membuat bibit-bibit tanaman baru. Aktivitasnya menarik perhatian warga, karena banyak pembeli langsung mendatangi rumah Murik untuk membeli tanaman hias.

Seiring meningkatnya penjualan, Murik pun memperluas lahan tanamnya dengan mengontrak tanah milik desa. “Saya mulai tertarik mengikuti apa yang dilakukan Pan Murik. Pekerjaan yang menyenangkan, rumah juga jadi indah karena banyak tanaman,” kata Sura.

Ia menambahkan, kini hampir semua warga di dusunnya menjadi petani tanaman hias. “Warga desa juga berencana membuat jalan lingkar setapak melewati kebun-kebun penduduk. Biar pembeli mudah melihat-lihat, siapa tahu menarik wisatawan juga,” ujarnya bersemangat

mongabay desa petiga tabanan bali sentra tanaman hias

Dalam konsepsi tata ruang tradisional Bali, dikenal falsafah Tri Mandala (tiga konsepsi ruang), terdiri dari utama mandala, lokasi utama yang disucikan sebagai tempat persembahyangan, madya mandala lokasi pemukiman penduduk, dan nista mandala, biasanya tempat mencuci atau membuang kotoran.

Halaman belakang rumah Bali, disebut teba, termasuk areal nista mandala. Teba biasanya hanya digunakan untuk lokasi pembuangan sampah, kandang ayam, sapi, atau babi, dan toilet terbuka.

Namun, di Desa Petiga hampir seluruh teba kini menjadi petak-petak taman. Tak ada lagi gundukan sampah, kotoran manusia atau hewan, tak ada limbah rumah tangga berserakan. Kini teba menjadi areal utama tempat penduduknya beraktivitas. Tidak hanya teba yang berubah cantik, hampir seluruh lahan Desa Petiga, khususnya Dusun Sembingan ditanami tanaman hias beraneka jenis seperti plawa, cemara, dan tumbuhan daun lainnya.

Petiga yang masuk wilayah Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, sekitar 60 kilometer utara  Denpasar ini kini menjadi desa unik, desa tanaman hias. Produk pertanian ini biasanya harus dipasok dari luar Bali untuk kebutuhan pembuatan taman hotel, villa, rumah, dan lainnya.

Desa petiga hanya menyisakan sedikit lahan desanya untuk areal pertokoan, dan pembangunan fisik lainnya. Sebagian besar lahan diperuntukkan sebagai lahan budi daya tanaman hias, termasuk areal rumah-rumah penduduk.

Ada warga yang memanfaatkan sampah plastik untuk jadi tempat bibit. “Harga polybag lumayan mahal padahal kita setiap hari membuat ribuan bibit,” ujar I Made Sutirta yang menjadi Ketua Kelompok Petani Tanaman Hias Guna Sari ini. Selain itu, warga juga mengolah kotoran ternak seperti ayam dan sapi yang banyak terdapat di sekitar mereka menjadi pupuk.

Usaha tani tanaman hias ini kini berkembang pesat. Menurut Sura, usaha pertanian ini menarik perhatian hampir semua anggota keluarga. Ia mencontohkan, di keluarganya kini hampir semua anggota keluarga bekerja mengurus lahannya yang luasnya lebih dari 30 are itu. Semua keluarga juga bisa terlibat karena aktivitasnya berkebun. Tak heran banyak nenek atau kakek terlihat mengurus bibit-bibit tanaman depan rumahnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
,