,

Desa Pasang, ‘Surga’ bagi Burung Bangau di Sulsel

Desa Pasang yang terletak di Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan termasuk desa yang subur dan makmur dengan penataan ruang yang apik. Sepanjang jalan tertata rapi dan bersih.

Desa ini juga memiliki aturan konservasi yang melarang warganya melakukan berburu burung kuntul atau sejenis burung bangau kecil, yang memang banyak ditemukan di daerah tersebut.

Tak heran jika kita berkunjung ke desa ini di sepanjang jalan tiba-tiba akan terlihat kerumunan satwa yang tergolong dalam family Ardeidae ini. Tidak hanya di pohon-pohon dan di pinggir jalan, bahkan di pekarangan rumah warga pun dengan mudah kita akan menemukannya. Daerah ini telah menjadi surga bagi burung berparuh panjang ini.

Untuk menuju desa ini dibutuhkan waktu sekitar 30 menit dari Kota Enrekang, melewati jalan yang berliku dan berlubang parah di beberapa titik. Di sekeliling adalah daerah hamparan sawah yang hijau. Sebagian merupakan sawah tadah hujan karena kondisi lahan yang berbukit.

Desa Pasang sendiri merupakan pusat dari komunitas adat Pasang, dengan tiga desa sekitarnya.  Komunitas adat ini cukup dikenal dengan khazanah budaya dan adat istiadatnya yang masih terjaga. Ketika kami tiba di rumah kepala desa, masih terlihat sebuah ayunan besar di tanah lapang depan rumah kepala desa. Sisa dari pelaksanaan ritual adat yang disebut maccera manurung beberapa bulan sebelumnya.

Rustan Arsyad, Kepala Desa Pasang menyambut kami dengan pakaian yang masih berlumpur. Di kejauhan terlihat belasan warga tampak sedang membersihkan saluran pembuangan air.

“Kami tadi kerja bakti karena kebetulan desa kami kemarin terpilih sebagai desa terbaik di Enrekang dan akan mewakili di tingkat Sulsel. Biasanya juga di hari minggu kami memang sudah jadwalkan untuk kerja bakti seperti ini,” ungkap Rustam menyambut kami dengan senyum ramah, pada Minggu (15/05/2016).

Rusta adalah seorang yang ulet. Sejak terpilih sebagai Kepala Desa tahun 2013 lalu ia banyak mengeluarkan kebijakan untuk perbaikan kualitas desa. Salah satunya adalah mewajibkan warga untuk menjaga kebersihan di sekitar jalan dan pekarangan rumahnya.

“Setiap pagi saya jalan untuk periksa jalan-jalan desa. Kalau ada sampah di jalan langsung dibersihkan. Warga yang melihat pasti malu, jadi akan ikut membersihkan juga,” ujarnya.

Tidak hanya itu, Rustan lah yang menginisiasi lahirnya Peraturan Desa tentang Larangan Berburu Burung, terkhusus pada burung bangau atau kuntul, memperkuat aturan adat yang telah ada sebelumnya.

“Ini sebenarnya sudah diatur dalam adat. Kita hanya memperkuat saja apa yang sudah ada, karena ini memang keberadaan burung itu sangat penting. Cuma memang dalam Perdes itu belum menjelaskan secara spesifik, namun intinya pada larangan.”

Rustan lalu menunjukkan lokasi dimana burung itu banyak ditemukan. Sebuah kawasan aliran sungai kecil yang banyak ditumbuhi bambu.

“Tak jauh dari sini, jalan saja lurus ke atas pendakian itu. Kalau sudah ketemu rumpun bambu di belakang rumah batu, di situ lah tempatnya.”

Benar saja, di tempat yang dimaksud Rustan, dari kejauhan sudah terlihat puluhan burung berwarna putih beterbangan di sekitar rumpun bambu. Beberapa ekor bahkan terlihat bertengger di puncak bambu. Ada juga beterbangan di jalanan dan di pekarangan rumah warga.

Burung Bangau dengan mudah ditemukan di pinggir jalan ataupun pekarangan rumah di Desa Pasang, Enrekang, Sulsel tanpa ada gangguan atau penangkapan dari warga. Ada sanksi adat bagi warga atapun orang luar desa yang melakukan perburuan. Foto: Wahyu Chandra.
Burung Bangau dengan mudah ditemukan di pinggir jalan ataupun pekarangan rumah di Desa Pasang, Enrekang, Sulsel tanpa ada gangguan atau penangkapan dari warga. Ada sanksi adat bagi warga atapun orang luar desa yang melakukan perburuan. Foto: Wahyu Chandra.

Armin, warga Pasang, yang kebetulan rumahnya berada di sekitar rumpun bambu itu lalu menunjukkan lokasi dimana biasanya telur burung ini ditemukan telah menetas karena terjatuh dari pohon.

“Biasanya banyak berjatuhan karena pengaruh angin yang membuat bambu bergoyang. Biasanya banyak di sini telur-telur jadi makanan babi hutan,” jelasnya.

Menurut Armin, burung-burung tersebut akan jauh lebih banyak lagi di waktu petang dan malam hari. Konon puncak pohon bambu itu akan berwarna putih karena dipenuhi ribuan bangau atau kuntul tersebut.

“Kalau siang-siang begini mereka keluar cari makan dan baru pulang menjelang malam,” katanya.

Kalau dilihat dari penggambarannya, dua jenis burung yang dimaksud Armin ini kemungkinan adalah kuntul kerbau (Bubulcus ibis) atau coka dalam bahasa lokal coka, dan Mycteria leucocephala atau campong yang bercorak hitam.

Armin sendiri mengaku tak pernah membunuh burung tersebut atau sekedar mengambil telurnya, meski rumahnya menjadi sarang.

“Dulunya mereka tinggal di pohon anetu yang berduri itu, yang banyak di pinggir sungai. Setelah pohonnya tumbang karena pengaruh arus air, burung-burung itu mulai  pindah ke rumpun bambu. Selain di sini juga ada di atas sana,” katanya sambil menunjuk ke bagian desa yang lain.

Menurut Armin, meski jumlahnya ribuan, keberadaan burung itu tidak menjadi gangguan bagi warga, malah sangat membantu karena memangsa ulat-ulat dan keong di sawah.

“Paling mereka bikin padi rubuh. Tapi bagus lagi setelah diperbaiki.”

Keberadaan burung bangau dalam jumlah besar itu, diakui Armin, biasanya hanya di terjadi di waktu-waktu tertentu saja, yaitu di musim hujan, sementara di musim kemarau biasanya akan kurang.

“Kalau musim kemarau mereka pergi mencari tempat lain entah dimana. Paling yang tinggal hanya burung yang ada warna hitam di ekornya itu,” tambahnya.

Larangan Adat

Menurut Rustan, keberadaan bangau yang terjaga itu sebenarnya dulu hampir punah karena perburuan liar dari orang-orang dari luar desa. Melihat kondisi tersebut, Ketua Adat Pasang yang pada saat itu dijabat La Nurung mulai khawatir yang kemudian membuat larangan.

La Nurung, mantan Ketua Adat berusia 80-an tahun, mengatakan aturan tersebut diberlakukan karena fungsi ekologis dan keterancaman populasi bangau. Papan larangan dipasang di daerah perburuan.

“Dulu larangan itu dipasang di bambu-bambu. Sejak saat itu tak ada lagi orang luar yang datang berburu. Dulu juga ada anak-anak yang memanjat untuk ambil telurnya tapi mereka berhenti setelah dilarang,” katanya.

Peran Bangau

Yusri, Kepala Seksi, Perlindungan, Pengawetan, dan Perpetaan, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sulsel, menilai positif upaya konservasi Bangau tersebut.

“Kita sangat men-support  adanya upaya seperti itu. Ini malah bisa dijadikan sebagai model percontohan bagi daerah-daerah lain. Hal seperti ini juga penting untuk dipublikasikan secara luas kepada masyarakat,” katanya.

Desa Pasang sebagai pusat dari wilayah komunitas adat Pasang memiliki kondisi lahan yang beragam, dari datar hingga berbukitan. Sebagian besar warganya merupakan petani sawah dan kebun. Penataan desa yang baik dan bersih, ditopang oleh partisipasi warga yang baik membuatnya terpilih sebagai desa terbaik di Kabupaten Enrekang. Foto: Wahyu Chandra
Desa Pasang sebagai pusat dari wilayah komunitas adat Pasang memiliki kondisi lahan yang beragam, dari datar hingga berbukitan. Sebagian besar warganya merupakan petani sawah dan kebun. Penataan desa yang baik dan bersih, ditopang oleh partisipasi warga yang baik membuatnya terpilih sebagai desa terbaik di Kabupaten Enrekang. Foto: Wahyu Chandra

Yusri selanjutnya berjanji akan mengunjungi Desa Pasang untuk kajian awal dan berharap bisa menjadikannya sebagai binaan BKSDA.

Menurut Ria Saryanthy, Head of Communication and Knowledge Center Burung Indonesia, keberadaan Bangau yang terjaga dan terlindungi dengan baik tanpa disadari memang telah banyak membantu masyarakat itu sendiri.

“Bangau atau kuntul ini dapat bersimbiosis dengan hewan-hewan lain, misalnya membantu memakan kutu di kerbau atau sebagai predator bagi hama ulat dan siput di sawah. Jadi tanpa kelihatan ini sudah sangat membantu masyarakat,” katanya.

Ria juga tak khawatir terjadinya ledakan populasi akibat adanya larangan perburuan tersebut, karena secara alami akan terjadi proses keseimbangan alam.

“Alam akan mengatur bagaimana keseimbangan itu terjadi, bisa dengan adanya predator lain atau kondisi-kondisi lain yang bisa mencegah terjadinya ledakan populasi. Justru campur tangan manusia lah yang kerap menjadi penyebab rusaknya keseimbangan tersebut.”

Adanya masyarakat yang secara sadar kemudian melakukan upaya-upaya perlindungan dinilai Ria sebagai inisatif yang perlu didukung dengan cara menceritakan inisiatif-inisiatif itu di daerah lain.

“Ini cerita menarik dan bisa dipromosi ke daerah lain. Semoga ada daerah lain juga bisa terbuka seperti halnya di Desa Pasang ini.”

Ria menyamakan upaya konservasi masyarakat adat Pasang dengan di Desa Patuli, Bali. “Di Desa Petuli Bali itu ada juga larangan mengganggu keberadaan kuntul karena berdampak pada keseimbangan alam. Bagi yang melanggar juga ada sanksi adatnya.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,