, ,

Lima Tahun Kebijakan Moratorium Izin Hutan, Ini Catatan dari Walhi

Lima tahun sudah kebijakan moratorium izin hutan dan lahan berjalan, sejak keluar Mei 2011, tetapi dinilai belum membuahkan banyak perbaikan. Kebijakan ini dipandang hanya kamuflase karena di lapangan pemberian izin baru untuk pembukaan hutan terus terjadi.

Zenzi Suhadi, Manajer Kampanye Walhi Nasional mengatakan, selama masa moratorium pemerintah juga mengeluarkan regulasi kontradiksi. Di kebijakan moratorium, instruksi menghentikan penerbitan izin baru tetapi waktu bersamaan pemerintah menebitkan peraturan pemerintah yang membolehkan konversi hutan menjadi perkebunan dan pertambangan. Dia mencontohkan, PP 60 tahun 2012 untuk perkebunan dan PP 61 tahun 2012 untuk pertambangan.

Dalam pelaksanaan Inpres, katanya, ada proses pembelokan. Contoh, dua kali perpanjangan, ada substansi menginstruksikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (dulu Kemenhut), untuk revisi Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB). Revisi ini, kata Zenzi, idealnya untuk mengkoreksi perizinan. “Kalau perizinan diterbitkan dalam kawasan moratorium, seharusnya izin batal. Yang dilakukan sebaliknya,” katanya di Jakarta, Minggu (23/5/16).

Fakta lapangan, kala kawasan moratorium tumpang tindih dengan perizinan, walaupun Inpres lebih dulu ada, PIPIB dikurangi. Kemudian ada proses pengabaian instruksi oleh kementerian.

Dalam revisi setiap enam bulan, katanya, kawasan moratorium berkurang. waktu bersamaan pemerintah meningkatkan izin prinsip perusahaan menjadi IUP perkebunan dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang menerbitkan hak guna usaha (HGU).

“Ada pelanggaran atau pembangkangan terhadap Inpres itu secara kolaboratif antara pengusaha, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ATR, maupun pemerintah daerah. Izin perusahaan terbit setelah moratorium.”

Deputi Direktur Walhi Kalimantan Tengah, Ahmad Fandi mengatakan, selama lima tahun moratorium, ada banyak pelepasan kawasan hutan.

Di Kalteng, terdapat 83 izin sawit seluas 617.066 hektar di lahan gambut, 75 unit 245.727 hektar di kawasan moratorium. Tutupan hutan pada 2011 8.025.376,57 hektar, tahun 2014 menjadi 7.882.114,28 hektar. Artinya,  berkurang 143.262, 29 hektar.

Selama lima tahun moratorium, katanya,  ada 36 izin pinjam pakai, dan hutan dilepaskan 773.286,84 hektar. “Memang ini  di luar moratorium. Kalau kembali hakikat  moratorium sebenarnya seperti apa? Kami  mempunyai ekspektasi besar moratorium bisa mengendalikan laju deforestasi. Ini kontradiktif.”

Walhi menemukan, selama moratorium, izin tetap keluar di kawasan moratorium. Salah satu, di Kotawaringin Barat untuk perkebunan sawit PT Andalan Sukses Makmur, izin keluar 21 November 2012. “Kita overlay lagi izin yang dikeluarkan di kawasan moratorium keluar dari PIPIB,” katanya.

Angka luasan PIPIB terus berkurang. PIPIB 2011 seluas 5.784.212 hektar, pada 2015, jadi 3.789.086,52 hektar, berkurang 1.995.125,48 hektar.

“Kita juga melihat sebenarnya PIPIB ini bukan izin yang menyesuaikan, tetapi PIPIB yang menyesuaikan izin. Logika terbalik. Yang kita inginkan izin menyesuaikan PIPIB.”

Di Kalteng, katanya, banyak kasus perkebunan sawit belum selesai. Kalau mengacu Korsup sawit maupun minerba KPK, menemukan data pelanggaran cukup signifikan. Saat korsup, ada sekitar 2,6 juta hektar perkebunan sawit masuk kawasan hutan. Dari 333 izin tambang di Kalteng, clean and clean (CnC) hanya 126. “Lebih 200 bisa dikatakan bodong karena tak dilengkapi izin lengkap. Selama moratorium, kasus-kasus ini juga tak disentuh.”

Moratorium, katanya, harus dibenahi. Selama lima tahun ini, moratorium tak menyentuh esensi perbaikan tata kelola Kehutanan dan lingkungan. “Moratorium belum menyentuh esensi moratorium itu sendiri. Izin tetap ada,  deforestasi tetap berlanjut,” katanya.

Fandi melihat, ada beberapa kelemahan dari kebijakan moratorium karena tak dibarengi sanksi dan penegakan hukum. Ketika pemda atau jajaran di bawah Presiden tak menjalankan moratorium, sanksi tak jelas.

“Moratorium harus punya parameter tegas. Apa sih target capaian? Kalau dianggap berhasil, seharusnya ada kriteria jelas. Ke depan, harus diperbaiki, menggunakan indikator jelas,” katanya.

Hadi Jatmiko, Direktur eksekutif Walhi Sumsel mengatakan, sejak moratorium tak juga membuat perbaikan terhadap kondisi hutan dan lahan di Sumsel.

“Karena wilayah-wilayah moratorium yang memang dilindungi UU seperti hutan konservasi dan lindung yang memang tak boleh ada izin. Sedang wilayah-wilayah moratorium sudah ada banyak sekali izin,” katanya.

Dia mencontohkan, gambut di Sumsesl 1,2 juta hektar, sekitar 800.000 hektar dikuasai korporasi pertambangan, HTI maupun perkebunan.

“Idealnya moratorium bukan hanya menghentikan perizinan baru, harusnya terkait pembukaan lahan. Kalau moratorium ingin berhasil, dan memberikan ruang hutan dan lahan pulih, harusnya izin-izin dalam kawasan moratorium tak boleh buka lahan.”

Dia memaparkan, di Sumsel, izin usaha pertambangan di lahan gambut 114 izin, 70 izin perkebunan, 49 di lahan gambut kedalaman lebih tiga meter. Izin pengelolaan hutan dan pengelolaan hutan bersama masyarakat di lahan gambut 17 izin, sebanyak 15 izin di gambut dalam.

Dari wilayah gambut 1.256.502,34 hektar dikonversi jadi usaha perkebunan, dan hutan tanaman 851.169,23 hektar (64,74%). Lahan gambut lebih tiga meter menjadi IUP perkebunan, tambang dan hutan tanaman 178.650,25 hektar (40%) dari luas gambut Sumsel.

Anton Wijaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar mengatakan, kebijakan moratorium sekadar niat baik untuk perubahan dan perbaikan tata kelola tetapi implementasi  belum bisa dibanggakan.

Di Kalbar, Walhi menemukan ada 41 izin IUPHHK 2.008.523,83 hektar, masuk PIPIB kesembilan seluas 76.285,23 hektar. Lalu, ada 40 izin sawit 469.837,54 hektar, ada di  PIPIB seluas 63.194,13 hektar. Jadi, total area moratorium terbebani izin 139.479,36 hektar.

Anton juga menyoroti relasi antara moratorium dengan konteks kerja Badan Restorasi Gambut. Seharusnya, ada hubungan saling menguatkan. BRG, katanya, harus menjadi Inpres moratorium napas utama semangat kerja. Bukan hanya menjawab persoalan kebakaran.

Kisworo Dwi Cahyono, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan, mengatakan, moratorium seharusnya dibarengi evaluasi izin-izin.

Meski di Kalsel, ada hal bagus kala Bupati Hulu Sungai Tengah mencabut izin lokasi PT Globalindo Nusantara Lestari 6 April lalu. Semula, wilayah konsesi masuk area moratorium.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,