, ,

Para Peneliti Ini Bicara Tata Kelola Lahan di Yogyakarta, Seperti Apa?

“Berhati Nyaman.” Begitu slogan buat Yogyakarta, yang menjadi kebanggaan. Kata-kata ini belakangan dipelesetkan menjadi “Jogja Berhenti Nyaman.” Mengapa? Karena melihat dinamika penggunaan dan alih fungsi lahan untuk pembangunan mal, apartemen, hotel sampai pemukiman. Para penelitipun melakukan kajian atas perubahan penggunaan lahan di Yogyakarta.

Bowo Susilo, meneliti dinamika penggunaan lahan di Yogyakarta. Dia mengatakan, selama 25 tahun (1980-2005), data BPS memperlihatkan, di Yogyakarta terjadi perubahan lahan cukup signifikan. Persentase lahan pertanian berubah menjadi nonpertanian berkisar antara 17,5%-27%.

Melalui pemodelan spasial, katanya, perubahan ini dapat dikaji sebagai dasar memprediksi perubahan masa datang.

Total perubahan penggunaan lahan di Yogyakarta periode 1993-2000 sekitar 704,8 hektar. Perubahan mencakup 17 macam dengan luasan bervariasi antara 0,2 ha dan 359,8 hektar. perubahan dominan, katanya, sawah menjadi permukiman 359,8 hektar. Pada 2000-2007, luas perubahan 755,7 hektar mencakup 15 macam luasan antara 0,5-365,5 hektar.

“Perubahan paling dominan sawah menjadi permukiman,  sebesar 365,5 hektar, penggunaan lahan bervariasi. Jika disederhanakan menjadi dua kategori, yaitu permanen dan tidak,” kata Bowo.
Dari analisis menunjukkan, ada hubungan signifikan antara luas atau kuantitas perubahan penggunaan lahan dengan penduduk dan pertumbuhan ekonomi.

Penelitian Bowo menghasilkan model konseptual untuk menjelaskan mekanisme perubahan penggunaan lahan.

Perubahan lahan, katanya,  terjadi karena tiga elemen fundamental, yaitu kebutuhan lahan, preferensi keruangan dan kalkulasi keruangan.

Wahyu Wardhana, Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, melihat perubahan lahan di Gunungkidul. Gunungkidul, dulu daerah hutan lebat tetapi eksploitasi besar-besaran Pemerintah Belanda menjadikan wilayah ini kering, tandus, bahkan rentan kemiskinan, terutama 1940-1970.

Kepada Mongabay, dia mengatakan, berbagai upaya perbaikan lingkungan melalui penghijauan dan rehabilitasi dilakukan pemerintah maupun masyarakat lokal. Proses ini membawa perubahan di Gunungkidul, yang semula daerah tandus menjadi lahan hijau dengan berbagai vegetasi.
Dia menyebutkan, terjadi perubahan kondisi lahan di Gunungkidul selama 1970-2012. Hasil rehabilitasi lahan ini menciptakan penurunan luasan tanah berbatu dari 133.182,98 hektar menjadi 9,41 hektar.

Selama periode ini, katanya, pola transisi lahan menunjukkan tren positif  dengan bervariasi setiap zona. Variasi ini, katanya, karena perbedaan karakteristik pengelolaan lahan setiap zona bentang, misal, zona Baturagung, transisi berlangsung dinamis karena ada aktivitas memanen hasil hutan oleh masyarakat. Dalam rentang 1990-2000 terjadi pengurangan tutupan vegetasi berkayu.

Wahyu menyarankan,  di Gunungkidul penting memperhatikan variasi biofisik bentang lahan  sebagai landasan implementasi rehabilitasi lahan. Sedang masyarakat, modal utama rehabilitasi.

Sementara, penelitian Retnadi Heru Jatmiko, menyebutkan, hasil citra saluran infra merah termal terhadap perubahan iklim perkotaan Yogyakarta diketahui suhu tinggi  berada di pusat perkotaan. Suhu lebih rendah ke pinggiran, dan mulai mendingin ke arah luar kota. Suhu lebih dingin kala makin menjauh dari perkotaan.

“Distribusi suhu tinggi di pusat Yogyakarta pada bangunan permukiman padat.”

Penelitian dia dilakukan 2013 hingga 2014. Aspal, atap bangunan dan tutupan lahan di pusat kota, katanya,  memiliki temperatur lebih tinggi dibandingkan tutupan vegetasi dan nonbangunan di luar perkotaan. Jadi, temperatur suatu daerah, katanya, sangat berkaitan dengan perubahan tutupan lahan.

“Perubahan tutupan lahan di perkotaan memengaruhi suhu permukaan obyek di perkotaan, akhirnya berpengaruh pada suhu udara mikro,” katanya.

Kini, Gunungkidul mulai banyak tutupan lahan hingga kaya sumber air. Foto: Tommy Apriando
Kini, Gunungkidul mulai banyak tutupan lahan hingga kaya sumber air. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,