,

Para Investigator Lingkungan Ini Dididik untuk Perangi Wildlife Crime

Maraknya kejahatan terhadap tumbuhan dan satwa liar (TSL) dilindungi di Kalimantan Barat, mendapat perhatian serius. Untuk mengurangi kasus-kasus tersebut, WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat dan sejumlah LSM menggelar “Pelatihan Investigasi Peredaran Ilegal Jenis Satwa Liar Dilindungi di Kalimantan Barat” di Pontianak, selama tiga hari.

“Modus peredaran ilegal satwa liar terus berkembang. Para pemburu, pedagang, atau penyelundup selalu mencari cari dari pantauan aparat penegak hukum,” kata Kepala BKSDA Kalimantan Barat, Sustyo Iriyono, Senin (23/05/ 2016).

Kejahatan terhadap TSL (wildlife crime) dilindungi di Indonesia, dalam sepuluh tahun terakhir menjadi isu nasional. Ada lima komponen dasar yang merupakan pemicu yaitu satwa liar (wildlife), pelanggaran dan/atau kejahatan (offence), komoditas perdagangan satwa liar (commodity), tingkatan-tingkatan perdagangan (level of trade), dan nilai perdagangan (value).

Sustyo mengatakan, menurut data Direktorat Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tahun 2009, kejahatan terhadap tumbuhan dan satwa dilindungi masuk urutan ketiga setelah perdagangan senjata gelap dan emas. “Nilai kerugian negara akibat perdagangan ilegal satwa liar ditaksir mencapai Rp9 triliun per tahun.”

Pawan-Kubu Landscape Leader, WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat, Ian M Hilman, menambahkan, pelatihan investigasi ini ditujukan untuk memberikan pemahaman terhadap peraturan tentang perlindungan satwa dilindungi di Indonesia, termasuk konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

Teknik-teknik membangun jaringan kerja untuk memperoleh informasi dan target yang ditetapkan juga dibekalkan kepada peserta. “Peserta dapat melakukan identifikasi satwa, juga memahami modus tindak kejahatan yang diterapkan para pelaku di lapangan. Untuk kerja berjejaring, diperlukan hubungan komunikasi berkelanjutan antara aparat penegak hukum dan mitra dalam pengungkapan kejahatan lingkungan.”

Dalam enam wadah plastik ini, biawak tak bertelinga kalimantan coba diselundupkan dalam paket yang bertuliskan Mie Ramin, pertengahan Maret 2016. Foto: BKSDA Kalbar

Berbasis Smartphone

Ian menekankan, pelatihan dasar investigasi ini mengedepankan penggunaan telepon cerdas atau smartphone. Terutama, melakukan identifikasi satwa dilindungi yang hidup maupun bagian-bagiannya, serta mengaplikasikan sistem monitoring.

Sulhani, Direktur Yayasan Titian, mengajarkan bagaimana memilah informasi yang valid dan melakukan verifikasi dari informasi yang didapat sendiri atau dari orang lain. “Investigastor harus memilah nilai informasi dan seberapa penting sumber yang tengah kita mintai keterangannya.”

Informasi ‘obrolan warung kopi’ kata dia, hanya bisa dipakai jika sudah dilakukan verifikasi. “Para investigator harus mementingkan keselamatan diri sendiri. Hal ini penting karena investigasi tidak akan berhasil jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” papar Sulhani.

Pelatihan ini sendiri diikuti oleh personel BKSDA yang terdiri dari Polisi Kehutanan (Polhut), Penyuluh Kehutanan, Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC), dan sejumlah LSM. Peserta diberikan gambaran jelas tentang peredaran ilegal satwa liar dilindungi serta cara melakukan investigasi.

Kejahatan penjualan bayi orangutan ini dilakukan melalui jejaring sosial Facebook. Foto: Junaidi Hanafiah
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,