,

Perburuan Satwa Liar Dilindungi Itu Nyata dan Meresahkan

Terungkapnya kasus perdagangan gading gajah sumatera dari Aceh ke Pekanbaru, Riau, Jumat (20/05/2016), menjadi bukti bahwa perburuan satwa liar dilindungi itu memang nyata di depan mata.

Menurut Osmantri, Wildlife Crime WWF Indonesia Central Sumatera, Sumatera bagian tengah merupakan wilayah yang paling banyak terjadi aktivitas perburuan maupun perdagangan satwa liar. “Perburuan masih berlangsung hingga kini yang meliputi Sumatera Barat, Riau, dan Jambi.”

Terungkapnya sindikat perdagangan organ satwa liar tersebut menunjukkan, Riau merupakan kawasan strategis bagi pengepul dan pedagang haram satwa liar, baik dalam keadaan hidup maupun organnya saja.

“Riau merupakan tempat strategis setelah Jakarta. WWF menengarai Riau tempat favorit perdagangan satwa di Sumatera, karena sudah ada bukti satwa liar yang dijual ke Malaysia, seperti kulit maupun tulang harimau.”

Selain Malaysia, Taiwan dan Tiongkok menjadi negara tujuan akhir perdagangan organ satwa liar asal Sumatera. Ini dapat dilihat dari banyaknya permintaan serta tingginya harga jual, seperti sepasang gading gajah yang berhasil disita lalu, harganya sekitar 20 juta per kilogram, dari berat total 47 kilogram.

“Itu bisa mencapai Rp1 miliar. Belum lagi trenggiling dalam bentuk daging mentah maupun sisik yang dihargai Rp1,2 juta per kilogram. Sedangkan 1 lembar kulit harimau rata-rata dihargai Rp50 juta dan burung rangkong bernilai 6-7 juta per ons,” ungkap Osmantri atau biasa dipanggil Abeng.

Kulit harimau sumatera yang siap diperdagangkan. Foto:  WWF
Kulit harimau sumatera yang siap diperdagangkan. Foto: WWF

Ketua PROFAUNA Indonesia, Rosek Nursahid menilai, perburuan satwa liar di alam terutama gajah, berkaitan erat dengan alih fungsi lahan menjadi kebun sawit. Rosek mengatakan, ketika habitat gajah berubah menjadi hamparan sawit, status gajah liar dianggap sebagai hama.

“Akibatnya gajah dibunuh dan gadingnya diambil yang kemudian beredar di pasar gelap.”

Penegakan hukum dengan menangkap pelaku perdagangan satwa liar penting dilakukan, namun lebih penting lagi mencegah perburuan satwa di habitat aslinya. Selama ini, para pemburu bergentayangan, sehingga banyak satwa liar mati dan sebagian dijual bebas di pasar. “Pencegahan harus dilakukan, bila mengurusi perdagangan saja satwanya sulit diselamatkan.”

Perdagangan gading gajah, lanjut Rosek, selain mengancam kelestarian gajah di alam juga sangat kejam, karena harus membunuh untuk mendapatkan gadingnya. Edukasi harus terus dilakukan kepada masyarakat, agar tidak memelihara satwa liar dengan dalih pencinta satwa. Ini pula yang menyebabkan perburuan di alam cukup tinggi.

“Ngakunya pencinta satwa dengan mengoleksi bagian tubuh satwa liar, padahal hasil pembantaian.”

Tulang-belulang satwa liar yang akan  dijual ke luar negeri. Foto: WWF
Tulang-belulang satwa liar yang akan dijual ke luar negeri. Foto: WWF

Penegakan Hukum

Mengurai benang kusut perdagangan satwa tidak dapat dilepaskan dari upaya pemerintah serta aparat penegak hukum dalam menerapkan hukum secara adil dan benar. Lemahnya UU Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan sanksi maksimal 5 tahun, tidak memberikan efek jera bagi pelaku perdagangan satwa liar. Adanya fakta vonis ringan yang jauh dari hukuman maksimal, seringkali membuat pelaku mengulangi perbuatannya.

“Sanksi harus diperberat dan semua pihak harus siap menerima bila melakukan kejahatan,” terang Osmantri.

Masyarakat memegang peran penting dalam menekan tingginya kasus perdagangan satwa liar. Masih adanya masyarakat yang menyimpan atau mengoleksi satwa awetan maupun pernak-perniknya sebagai hiasan, menunjukkan permintaan masih tinggi. “Penyadartahuan harus dilakukan, selain pencegahan,” papar Osmantri.

Berdasarkan catatan WWF Indonesia, ada 12 kasus perdagangan satwa liar dilindungi yang terjadi dalam dua tahun terakhir. Gajah, harimau, dan rangkong adalah jenis satwa yang kerap diperdagangkan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,