,

Suhu Lingkungan Meningkat, Banyak Petani Sayur Gagal Panen. Ini Dampak Perubahan Iklim?

Peningkatan suhu yang terjadi dari tahun 2011-2015, yang disebut terpanas sepanjang sejarah, ternyata telah mulai menimbulkan masalah terutama di sektor pertanian. Meski belum menjadi masalah yang cukup serius dan berskala nasional, namun ada indikasi bahwa pemanasan global berpotensi menyebabkan bencana di sektor vital ini.

Beberapa petani sayur di wilayah lereng timur Gunung Slamet, Jawa Tengah, mulai mengeluhkan meningkatnya penyakit dan hama tanaman yang menyerang tanaman mereka, seiring peningkatan suhu lingkungan. Tak sedikit juga yang gagal panen terutama beberapa komoditas yang rentan penyakit seperti kobis dan cabai. Warso, salah satu petani dari Desa Gombong, Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang, menyatakan kekhawatirannya akan situasi yang ada.

“Tahun ini pokoknya luar biasa. Banyak yang gagal panen terutama kubis dan cabai. Bahkan hewan yang tadinya tidak menjadi masalah serius sekarang menjadi masalah. Cacing tanah berkembang pesat, sampai memakan habis pupuk kandang yang harusnya menjadi pupuk dasar tanaman,” ungkapnya.

Petani sayur di daerah ini memang menggunakan pupuk dasar dari kotoran ayam. Karena tingginya intensitas penanaman, seringkali kotoran ayam digunakan sebagai pupuk meski belum terdekomposisi sempurna. Menurut Warso, suhu hangat akibat proses dekomposisi kotoran ayam menyebabkan cacing berkembang biak dengan cepat. Apalagi kandungan protein kotoran ayam yang masih tinggi ibarat makanan siap saji bagi cacing-cacing tersebut.

Namun, menurutnya hal ini tidak terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Baru tahun ini dia menemukan kasus tanah di bawah tanaman sayur menjadi berongga dan penuh cacing. Akar tanaman menjadi menggantung dan tidak mendapatkan nutrisi dari tanah.

“Banyak sekali tanaman cabai saya tidak tumbuh normal karena pupuknya dimakan cacing. Dan baru tahun ini saya alami semenjak saya mulai bertani lebih dari 25 tahun,” jelasnya di sela-sela aktifitas menyemprot tanaman.

Subagyo, salah satu sesepuh di Desa Gombong, menyampaikan bahwa dua tahun terakhir ini kondisi iklim di lereng Gunung Slamet berubah. Kawasan ini tidak lagi dingin seperti tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, orang-orang kebanyakan tidak lagi membutuhkan selimut tebal di malam hari. Padahal, suhu rata-rata malam hari di desa ini dahulu bisa menyentuh di bawah 10 derajat celcius.

“Sepuluh tahun yang lalu, orang tidak akan betah berjalan tanpa menggunakan jaket di malam hari. Namun, sekarang ini terasa biasa saja meski kita berada di luar rumah dalam waktu lama tanpa jaket,” jelasnya.

Dia mengamati bahwa naiknya suhu udara di kawasan ini, diikuti dengan meningkatnya populasi serangga. Nyamuk yang dahulu hampir tidak dirasakan sebagai gangguan di malam hari, kini sudah mengganggu. Bahkan, tahun ini nampak banyak sekali ulat bulu di halaman dan juga di dalam rumah. Jadi, menurutnya sangat erat kaitannya peningkatan suhu dengan meningkatnya hama dan penyakit yang menyerang tanaman sayur.

“Tidak hanya komoditi sayur saja yang terancam, bahkan komoditi nanas Beluk yang selama ini tahan penyakit, sudah mulai terserang busuk daun dan batang,” imbuhnya.

Petani Mulai Kebingungan

Akibat serangan hama dan penyakit yang meningkat, rata-rata petani terpaksa menaikkan dosis obat-obatan dan pestisida dengan harapan tetap bisa panen. Padahal, tahun 2016 ini terjadi kenaikan harga sebesar 35% dari tahun sebelumnya.

Akibatnya, modal bertanam sayuran menjadi naik hampir dua kali lipat dibanding biasanya. Menurut Warso, biaya tanam cabai meningkat menjadi Rp4.000 per batang dari yang tadinya Rp2.500. Untuk tanaman kobis menjadi sekitar Rp1.500 dari yang tadinya kurang dari Rp1.000.

“Saat ini kami sudah tidak menggunakan perhitungan lagi dalam bertani. Pokoknya yang penting bisa panen saja sudah bersyukur, daripada semua modal kami habis akibat gagal panen,” katanya.

Peningkatan biaya tanam ini ternyata tidak diiringi dengan kenaikan harga sayuran. Harga panen sangat ditentukan oleh banyaknya stok di pasar. Semakin banyak stok sayuran, harga akan turun. Bahkan fluktuasi harga pasar saat ini sudah sangat tinggi dan sulit diprediksi.

Harga cabai di 3 bulan terakhir ini berkisar antara harga tertinggi Rp13.000 dan harga terendah Rp5.000. Sedangkan harga kobis tertinggi yaitu Rp5.000 dan terendah yaitu Rp1.500. Dengan ongkos panen dan penyusutan pasca panen, hampir-hampir petani tidak bisa mendapatkan keuntungan.

“Situasi saat ini memang sangat sulit. Hama merebak jauh di atas normal, biaya tanam meningkat. Jika kondisi lingkungan semakin tidak menentu, kami tidak tahu harus bagaimana lagi,” ujarnya setengah putus asa.

Perubahan Iklim atau Anomali Cuaca?

Terkait dengan kondisi yang terjadi di kawasan lereng timur Gunung Slamet, Kepala Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Kementerian Pertanian, Prihasto Setyanto,  menjelaskan bahwa pemanasan global memang sudah terjadi, bukan hanya di luar negeri namun juga di Indonesia. Dalam tempo 30 tahun, di Pulau Jawa terjadi kenaikan suhu rata-rata mencapai 1 derajat celcius.

Prediksi dampak perubahan iklim di berbagai kawasan di dunia, menurut penelitian para pakar di University of Hawaii. Sumber: University of Hawaii/Livescience.com. Silakan klik untuk memperbesar peta
Prediksi dampak perubahan iklim di berbagai kawasan di dunia, menurut penelitian para pakar di University of Hawaii. Sumber: University of Hawaii/Livescience.com. Silakan klik untuk memperbesar peta

Menurut penjelasannya, pemanasan global yang memicu perubahan iklim akan berdampak terhadap serangan hama penyakit tanaman. Hal ini disebabkan karena pola tanam masyarakat yang berubah akibat siklus hidup hama penyakit yang tidak terputus. Namun menurutnya, kasus banyaknya gagal panen akibat meningkatnya suhu ini perlu dipastikan, apakah karena perubahan iklim atau hanya sekedar anomali cuaca.

“Untuk mengetahuinya memang perlu waktu pengamatan yang lama. Perubahan cuaca bisa jadi karena anomali yang sifatnya tidak konsisten. Sedangkan perubahan iklim betul-betul konsisten, namun perlu waktu 50-100 tahun untuk mengetahuinya,” jelas doktor bidang ilmu tanah, Fakultas Pertanian Universitas Putra Malaysia ini yang dihubungi Mongabay.

Rotasi Tanaman Sebagai Langkah Penyelamatan Awal

Untuk mengantisipasi gagal panen akibat merebaknya hama dan penyakit tanaman, Prihanto menyarankan agar petani melakukan rotasi tanaman. Tujuannya adalah untuk memutus siklus hidup hama dan penyakit.

“Hendaknya petani jangan berpangku pada single cropping, walaupun cuaca seolah mendukung dan air seolah tersedia karena perubahan pola cuaca,” jelasnya.

Selain itu, peneliti bidang agroklimat dan pencemaran lingkungan ini  juga menyarankan agar petani untuk memanfaatkan biopestisida untuk menanggulangi hama penyakit tanaman. Caranya dengan memanfaatkan bahan-bahan alami yang ada di sekitar seperti tanaman mimba, mahoni, urine sapi, limbah tembakau dan bahan-bahan lainnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,