, ,

Apa Kabar Kasus Salim Kancil dan Tambang Pasir Lumajang?

Sidang kasus pembunuhan Salim Kancil, aktivis dan petani penolak tambang di Lumajang, Jawa Timur,  memasuki babak akhir. Jaksa penuntut umun pada persidangan 19 Mei, di PN Surabaya menuntut Kepala Desa Selok Awar-awar, Hariono dan pimpinan anak buahnya, Mat Dasir, hukuman penjara seumur hidup, ditambah enam tahun dan denda dalam kasus tindak pidana pencucian uang. Terdakwa lain, dituntut hukuman beragam, delapan sampai 11 tahun.

Apa kata Tosan, korban penganiayaan yang selamat dan para pegiat lingkungan? “Saya mewakili forum di Desa Selok Awar-awar, juga korban, sangat keberatan. Itu pembunuhan terencana, kepada Salim Kancil, juga saya sebagai saksi dan  korban,” kata Tosan, rekan Salim Kancil di Jakarta, Kamis (26/5/16).

Dia menilai, tuntutan JPU masih ringan. Terlebih dalam proses hukum, belum menyeret aktor (mafia) pertambangan ilegal di Lumajang.

“Mengapa cuma pak Kades yang dipersidangkan? Mana pelaku lain? Harusnya jika ada pencuri, ada penadah. Kemana pembeli? Itu bandar-bandar besar mengapa kok tidak diusut?”

Hingga kini, pertambangan di Lumajang, masih berjalan. Padahal dia pernah diundang bertemu bupati dan mengatakan pasir boleh diambil hanya Desa Bagu, Pasung Jambe, Pronojiwo, dan Jogosari dengan catatan alat manual. Tak boleh alat berat dan jangan keluar Lumajang.

“Nyatanya sampai sekarang alat berat masih banyak. Pasir Lumajang masih keluar. Saya sakit hati sekaligus menjerit kalau melihat tumpukan pasir. Itu berarti oknum pemerintah sengaja,” katanya.

Dia tetap berjuang menolak tambang pasir besi.”Biarpun sendirian saya tetap melangkah tak mundur. Siapa lagi yang akan menolong bumi?”

Aktivis Jatam Ki Bagus Hadi Kusuma mendorong kasus ini tak berhenti pada kades tetapi mengusut aliran pasir ilegal.

“Kami mencatat tiga pihak penadah pasir ilegal Selok Awar-awar. Varia Usaha grup Semen Indonesia, Merak Jaya Beton dan Purnomo,” katanya.

Kesaksian saksi di persidangan,  seharusnya menjadi indikasi kuat banyak pihak bisa diseret membongkar mafia pertambangan ilegal Lumajang. Seharusnya,  kata Bagus, pemda maupun pemerintah pusat bisa menjadikan kasus ini momen menunjukkan keseriusan menangani konflik-konflik agraria, perampasan lahan. “Negara harus hadir sebagai representasi kedaulatan rakyat.”

Tampaknya Pemerintah Lumajang tak belajar dari kasus ini. Setidaknya 18 IUP baru keluar 2015 dan bertentangan dengan UU Pemda soal perizinan di provinsi.

Ke-18 IUP terbitan Pemerintah Lumajang banyak keluar 19 Oktober 2015. Izin-izin itu antara lain kepada KPP Kopasdai dan CV Surya Jaya Sejahtera (Desa Bago, Kecamatan Pasiran). Ahmad, Desa Supiturang, Ponojiwo. Di Desa Sumberurip, Ponojiwo atas nama Wiroi, Sumardi dan Mujiari. Ditambah di Kecamatan Pasrujambe kepada Sugito, Badur Khan, Paeran, Eksin Purwantoro, Aminudin, Sapan dan Dul Holi.

Pada 21 Oktober 2015 keluar IUP kepada CV Anugrah Semeru (Desa Gondoruso, Pasiran) dan CV Duta Pasir Semeru (Desa Sumberwuluh, Candipuro).

Pada 13 November 2015, IUP KPP Kopasdai (Sumberwuluh, Candipuro) dan CV Widya Utama (Bago, Pasiran). Terakhir 20 November kepada Ronald Teruna Jaya (Selok Anyar, Pasiran).

“Seharusnya Pemerintah Lumajang, Pemprov Jatim dan Pusat sadar pesisir selatan rawan bencana. Urgen sebagai kawasan konservasi atau wisata.”

Manajer Advokasi Walhi Nasional Muhnur Satyahaprabu mengatakan, dalam persidangan sebenarnya terungkap dari beberapa saksi menyatakan keterangan aliran uang kemana, berapa setor ke kecamatan, polsek dan pejabat-pejabat penting lain. “Tetapi dalam persidangan, baik jaksa maupun hakim tak menelusuri baik pernyataan di persidangan,” katanya.

Fakta-fakta persidangan, katanya,  mengarah kepada mafia-mafia tambang baik perusahaan, maupun pejabat public.

Dia menyayangkan,  hal ditonjolkan hanya pembunuhan. “Soal 13 orang belum tertangkap, tuntutan ringan, dakwaan lemah dan lain-lain. Soal siapa aktor intelektual pertambangan ilegal tak diungkap.”

Danau lubang bekas tambang pasir di Desa Dampar, Lumajang. Foto: Tommy Apriando
Danau lubang bekas tambang pasir di Desa Dampar, Lumajang. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,