, ,

Cahyo Alkantana: Jaga Karst Gunung Kidul dengan Ekowisata

Risau dengan karst Gunung Kidul yang terancam tambang semen, Cahyo Alkantana, bertekad melindungi dengan cara sendiri. Dia menempuh lewat jalur pariwisata. Alasannya, selain bisa langsung meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar, alam karst bisa lestari. Cahyo adalah Ketua Federasi Speleologi Indonesia sekaligus staf ahli Menteri Pariwisata untuk percepatan pengembangan wisata petualangan.

“Gunung Kidul kalau tak dibangun dengan pariwisata sudah rata dengan tanah, karena akan dibangun pabrik semen,” katanya, dalam seminar Pecinta Alam Yogyakarta, di Yogyakarta, baru-baru ini.

“Saya pulang. Saya prihatin,” katanya, mengenang alasan mengembangkan ekowisata di Gunung Kidul. Saat itu, dia sudah mapan di Indonesia Timur. Dia dikenal sebagai pembuat film bawah laut, dan mengelola beberapa bisnis wisata di Wakatobi dan Raja Ampat. Itu tak mengurangi tekad menyelamatkan alam dekat tempat kelahiran. Dia lahir di Yogyakarta, 50 tahun lalu.

Cahyo menggambarkan, karena miskin masyarakat Gunung Kidul cenderung tergoda menjual tanah ke investor semen.

“Waktu itu beli minyak tanah saja susah. Mereka menebang pohon-pohon untuk kayu bakar. Batu (kapur) dijual untuk bahan pangan yang dimasak,” katanya. Dampaknya, lahan makin gersang, dan mengancam ekosistem.

 

Kembangkan ekowisata

Kala menjelajahi Eropa, dia menjumpai banyak goa menarik di Prancis, seperti Goa Padirac. Pada musim panas, antrean pengunjung bisa sampai tiga kilometer. Dari sana, dia berpikir, mengapa tak mencoba mengembangkan wisata doa di Gunung Kidul. Ratusan goa sudah ditemukan, tetapi belum digarap serius. “Ada Kalisuci, Jomblang, Pindul. Saya mulai dari sini dulu,” katanya.

Perlahan, diapun membenahi ketiganya, sejak lima tahun lalu. Awalnya, dia mengembangkan wisata di Kalisuci. Lewat Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dia melatih rafting, rescue, dan manajemen wisata. Wisata yang dikembangkan cave tubing, (susur sungai dalam goa).

“Setelah jadi, saya serahkan semua termasuk peralatan ke masyarakat. Kalisuci saya carikan dana Rp10 miliar dari Kementerian Pariwisata untuk membangun berbagai fasilitas. Pokdarwis Kalisuci yang mengelola. Sekarang mereka punya tabungan hampir Rp1 miliar.”

Goa Pindul pada musim liburan. Foto: dari Facebook Cahyo Alkantana
Goa Pindul pada musim liburan. Foto: dari Facebook Cahyo Alkantana

Lalu, dia membangun Jomblang, disertai komitmen tak saling mengganggu. Dia membeli tanah di kawasan itu 15 hektar, dan melengkapi dengan resort bagi para tamu.

Sebulan Jomblang bisa menghasilkan Rp200 juta. Dia kembalikan uang itu buat menghutankan kawasan. Dari mengembangkan destinasi-destinasi itu, setidaknya menghasilkan US$7 juta atau Rp100 miliar setahun, melibatkan 12.000 jiwa. Angka Rp100 miliar meliputi transpor, akomodasi, guide, hingga tiket. Ini menempati urutan tertinggi untuk pendapatan asli daerah.

“Kalau waktu itu saya buka Jomblang lebih dulu pasti ada benturan. Saat itu, warga banyak menganggur,” katanya.

Ibarat ada gula ada semut. Dulu Gunung Kidul “ekspor” pembantu, setelah industri wisata mendatangkan uang kini berbalik jadi “impor” pembantu. Banyak warga sekitar Gunung Kidul seperti Wonogiri dan Pacitan bekerja di kota yang dulu terkenal miskin ini.

 

Lebihi kapasitas

Dia mengatakan, sebenarnya wisata yang dikembangkan tak cocok buat masstourism. Kenyataan sulit dibendung. Animo masyarakat tinggi berwisata cave tubing di Pindul membuat destinasi ini kelebihan pengunjung. “Seperti cendol,” seloroh Cahyo, menirukan komentar yang pernah ke sana.

Saat libur panjang pada 5-6 Mei lalu, pengunjung mencapai 18.000 orang. Padahal, dalam pengembangan awal, Cahyo mematok kapasitas maksimal di Pindul hanya 750 pengunjung per hari. Jumlah fantastis, sekaligus memprihatinkan.

Goa Gong, tempat wisata di Pacitan, kapasitas pengunjung seharusnya 300 orang per hari. Pada tanggal itu sampai 3.000 orang. Akibatnya, puluhan orang jatuh pingsan karena kekurangan oksigen.

Untungnya, Kalisuci masih bisa dipatok 200 orang per hari. Begitupun Jomblang 75 orang per hari. Jumlah pengunjung di Kalisuci dan Jomblang bisa bertahan pada batas kapasitas karena keduanya dikelola masing-masing satu operator hingga pengawasan lebih terjaga.

“Di Pindul, satu destinasi melibatkan 20 Pokdarwis. Terlalu banyak,” kata Cahyo.

Cahyo sudah mengusulkan ke pemerintah daerah agar membuat aturan pengelolaan wisata satu destinasi satu Pokdarwis. Tujuannya, agar pengelolaan lebih tertata dan mengurangi konflik horisontal antarwarga.

 

Payung geopark

Setelah sebagai cagar alam dan taman nasional gagal diterapkan untuk karst Gunung Kidul, ada satu payung lagi upaya Cahyo melindungi kawasan. Dia memakai kriteria geopark atau taman bumi.

“Ini di bawah dua kementerian, Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Pariwisata. Saya kejar. Akhirnya bisa deklarasi tahun lalu menjadi Geopark Gunungsewu oleh Unesco. Pemerintah akan memberikan berbagai fasilitas,” katanya.

Geopark Gunungsewu masuk tiga provinsi yaitu Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur (Wonogiri, Gunung Kidul, Pacitan). Ia bagian Global Geopark Network pada 2015.

Berkaca pada industri semen di Pati, Gombong Selatan, Rembang, bahkan Maros, langkah investor tambang sulit dibendung. Akhirnya, dia berkesimpulan, pariwisatalah yang bisa menyelamatkan alam Indonesia.

Cahyo Alkantana dan Riyanni Djangkaru dalam sebuah seminar di Yogyakarta. Foto: Nuswantoro
Cahyo Alkantana dan Riyanni Djangkaru dalam sebuah seminar di Yogyakarta. Foto: Nuswantoro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,