,

Ayo, Saatnya Kita Jelajah Taman Nasional

Adzra, 8 tahun, dan adiknya terlihat asyik menorehkan cairan ke tubuh kerajinan kayu  berbentuk badak. Kedua bocah itu tak hirau keadaan sekelilingnya. Sang adik beberapa kali merengek lalu dibimbing dengan telaten oleh salah seorang pendamping. Beberapa orang tua yang membawa anaknya terlihat berhenti memperhatikan kegiatan Adzra di booth Taman Nasional Ujung Kulon di Hall B, Jakarta Convention Center, Jakarta, Sabtu (28/05/2016). Ada juga beberapa orang dewasa membeli kerajinan kayu ini sebagai suvenir. Badak bercula satu, adalah ikon dari Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), di Provinsi Banten.

Patung kayu badak itu hanya sepanjang  10 sentimeter, yang diukir oleh tiga pengrajin di sekitar TNUK.  Kerajinan kayu limbah berbentuk badak ini seharga Rp30 ribu, yang  lebih kecil dihargai Rp10 ribu. Penjualan kerajinan ini merupakan binaan dari WWF dan TNUK. “Kegiatan ini awalnya dimulai pada 1996, ada belasan pengrajin dari desa-desa sekitar Taman Nasional Ujung Kulon,” ujar Kang Oji, tim komunitas WWF di TNUK kepada Mongabay.

Kegiatan penjualan dan membatik kerajinan kayu berbentuk badak ini hanya salah satu kegiatan yang cukup menarik di booth TNUK. Beragam stand pameran taman nasional di seluruh Indonesia hadir di acara 8th Indogreen Environmental and Forestry Expo 2016 tersebut.

Hutan Indonesia yang begitu kaya akan keanekaragaman hayati. Foto: Rhett Butler

Pengunjung bisa mendapatkan informasi tentang Taman Nasional Gunung Leuser Aceh dan Taman Nasional Way Kambas tentang gajah-gajahnya. ”Saat ini, tak kurang 240 individu gajah hidup di wilayah ini- 66 diantaranya sudah jinak dan 16 individiu gajah dilatih menjadi gajah patroli,” ujar Sukasmono, salah satu petugas di Stand Taman Nasional Way Kambas.

Dengan slogan Ayo Ke Taman Nasional, pengujung memang diajak mengenal taman nasional di seluruh nusantara. Dari Jawa Barat ada pula stand Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Ujung Kulon yang dikenal dengan habitat badak bercula satu. Informasi tentang padang rumput dan banteng bisa diperoleh di Taman Nasional Baluran Banyuwangi, Jawa Timur, dan ada juga Taman Nasional Karimunjawa di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Dari Kalimantan ada stand Taman Nasional Tanjung Puting dengan ikon orang utannya, juga Taman Nasional Sebangau, Taman Nasional Danau Sentarum dan Taman Nasional Kutai.  Dari Sulawesi ada pula Taman Nasional Wakatobi, Bantimurung-Bulusaraung, juga Lore Lindu. Dari Papua, pengunjung dapat mendapat wawasan tentang Taman Nasional Wasur yang dikenal dengan sarang raksasa semut.

Buku “Berwisata Alam di Taman Nasional” mengupas betapa pentingnya wisata alam yang selama ini terabaikan dan sepi peminat di Indonesia. Foto: Rahmadi Rahmad

Perihal jelajah ke taman nasional ini, Jatna Supriatna, ilmuwan biologi sekaligus legenda konservasi Indonesia, sudah mengupas habis dalam bukunya Berwisata Alam di Taman Nasional. Jatna kepada Mongabay saat itu menuturkan, Indonesia merupakan negara yang memiliki anugerah kekayaan dari keanekaragaman hayati (biodiversity) Asia dan Australia.

Biodiversity Asia dapat dilihat di Sundaland: Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Sedangkan biodiversity Australia bisa ditemui di Papua. Sementara biodiversity yang merupakan percampuran Asia dan Australia ada di Wallacea yaitu Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Sulawesi yang merupakan wilayah “percampuran” tersebut memiliki 70 persen keragaman hayati yang endemik/khas.

Namun, Indonesia belum memaksimalkan potensi biodiversity yang ada itu, baik pengoptimalan potensi  terlebih mengemasnya agar wisatawan tertarik untuk berkunjung, terlebih ke taman nasional.

Amerika, sejak 1872, telah mengembangkan Taman Nasional Yellowstone dan selanjutnya Grand Canyon (1919) yang semuanya itu memberikan nilai lebih kepada masyarakat berupa tourism. Bila kita lihat tujuan didirikannya taman nasional adalah untuk menunjukkan kecintaan kita pada alam. “Di masyarakat kita, alam dipersepsikan sesuatu yang menakutkan seperti tempat jin buang anak atau tempat menyeramkan,” papar Jatna.

Presentasi Jatna Supriatna saat peluncuran buku “Berwisata Alam di Taman Nasional” awal September 2014 di Universitas Indonesia

Apa yang harus dilakukan? Pengembangan potensi taman nasional baik dari segi ekoturisme, jasa lingkungan (air, karbon), dan bioprospeksi (nilai komersil biodiversity) harus dilakukan. Hal lainnya adalah pengembangan bisnis untuk mengelola potensi tanam nasional sehingga wujudnya nyata serta langkah strategis percepatan pencapaian taman nasional yang secara finansial benar-benar mandiri.

Menurut Jatna, faktor pendanaan taman nasional memang sangat mempengaruhi. Tahun 2006, kawasan konservasi di Indonesia mengalami kekurangan dana sekitar 80 juta dollar Amerika per tahun untuk biaya operasional. Pendanaan di Indonesia ini rata-rata hanya sekitar 6 dollar Amerika per hektar per tahun. “Bila dibandingkan dengan negara maju yang sekitar 20 dollar Amerika maka kita kekurang dana sekitar 14 dollar Amerika per hektar per tahunnya.”

Ratu dan Andatu, anak pertamanya di Juni 2012 di Suaka Rhino Sumatera (Sumatran Rhino Sanctuary, SRS) Taman Nasional Way Kambas, Lampung Foto: YABI

Produk hutan non-kayu

Selain mengenal taman nasional, pengunjung bisa mendapatkan informasi produk-produk olahan hasil hutan non kayu. Tas atau keranjang rotan, tenun, kepompong ulat sutra, tanaman obat seperti buah merah, juga sarang semut dan madu hutan.

Produk hutan berupa sagu dari Sorong Selatan cukup mencuri perhatian. Ada dua jenis pohon yang  ditampilkan, sagu berduri—seperti pohon salak dan tidak berduri yang sekaligus diperlihatkan hasil perasannya untuk dibuat tepung dan beberapa olahan seperti beras, macaroni, dan mi sagu.

Tristo, petugas pameran dari Stand Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong Selatan menjelaskan, dari total luas wilayah 694 ribu hektare, luasan hutan sagunya lebih dari 311 ribu hektare. Hal itu berdasarkan data analisa teknologi remote sensing yang dihitung dari hamparan sagu. “Potensi sagu di wilayah kami sangat besar. Saat ini pun sudah ada dua pabrik pengolah sagu,” ujarnya. Menurut Tristo, saat ini sagu bisa diperoleh baik dari sagu alam yang terhampar di bumi Sorong Selatan juga hasil budidaya. “Sekarang ini sudah mulai dibudidayakan juga,” ujarnya.

Aneka produk yang dihasilkan dari sagu. Foto: Asti Dian
Aneka produk yang dihasilkan dari sagu. Foto: Asti Dian
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,