,

Kondisi Pertambangan di Aceh Memang Harus Dibenahi

Izin usaha pertambangan (IUP) di Aceh sebagian besar dinilai bermasalah. Seperti apakah kondisinya saat ini?

Koordinator Koalisi Peduli Tambang Aceh, Fernan, mengatakan bila merujuk hasil Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap IUP di Aceh 2014 lalu, banyak ditemukan masalah.

Hasil kajian koalisi selama korsup tersebut menunjukkan beberapa permasalahan utama. Misalnya, ada 4 IUP yang masuk kawasan konservasi seluas 31.316 hektare. “Hal ini melanggar pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 jo UU Nomor 19 tahun 2004,” ungkap Fernan baru-baru ini.

Masalah lain, ujar Fernan, banyaknya IUP yang belum clean and clear (CnC), yaitu standar sertifikasi yang diterbitkan Kementerian ESDM terhadap IUP yang memenuhi kewajiban administrasi dan tidak tumpang tindih wilayahnya. “Dari 138 IUP,  84 IUP belum CnC, serta 18 IUP bermasalah di wilayah kelolanya, seperti koordinat dan batas administrasi.”

Masalah paling parah adalah belum dibayarnya piutang negara dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Sejak 2011, piutang PNBP mencapai Rp1,2 miliar, dan naik menjadi Rp5,7 miliar di 2012. Angka ini terus bertambah sampai akhir 2014 menjadi Rp10,8 miliar dan Maret 2015 menjadi 11,8 miliar.

“Hasil korsup KPK menemukan ada kewajiban kurang bayar dari pemilik IUP sebesar Rp24,7 miliar. Ini mengartikan, ada selisih perhitungan pembayaran sebesar Rp13,9 miliar sampai 2014.”

Fernan mendesak Gubernur Aceh melakukan upaya serius, mencabut izin perusahaan yang terbukti melanggar aturan baik piutang, serta perusahaan yang tidak melakukan reklamasi dan pasca-tambang. “Pemerintah Aceh juga harus memperpanjang moratorium tambang, karena proses ini dijadikan contoh mendorong pelaksanaan moratorium tambang nasional.”

Juru bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) Efendi Isma mengatakan hal yang sama. Menurutnya, IUP yang ada harus dievaluasi karena telah memberi dampak negatif terhadap lingkungan juga sosial.

“Secara topografi, sebagian besar kawasan konservasi dan hutan lindung di Aceh berada di posisi yang lebih tinggi dari permukiman penduduk. Selain mengancam kerusakan hutan, ancaman banjir dan longsor, keberadaan tambang juga berdampak buruk pada kualitas air yang di gunakan masyarakat.”

Efendi menilai, moratorium tambang yang telah digulirkan Pemerintah Aceh belum memberikan perbaikan tata kelola tambang. Namun, inisiatif ini sudah memberikan gambaran aktual IUP yang ada. “Seharusnya moratorium tambang diikuti reviu perizinan dan revisi perundang-udangan yang selama ini carut marut, sehingga lebih tertata.”

Tambang emas

Selain IUP bermasalah, beberapa tahun terakhir, di Aceh juga marak tambang emas ilegal. Ashkalani, Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh yang melakukan pemantauan di Kabupaten Aceh Barat mengatakan, pertambangan tersebut berada di Kecamatan Panton Reu, Kecamatan Sungai Mas, dan Kecamatan Woyla Timur.

“Metode pertambangan menggunakan mesin keong 100 unit, mesin robin 60 unit, dan metode semprot/jetting sebanyak 9 unit excavator.”

Askhalani menyebut, pertambangan emas tersebut perbulannya menghasilkan 89.262,9 gram. “Jika dikalkulasi, total emas yang diproduksi setahun mencapai sekitar 1,1 ton atau senilai sekitar Rp1.136.722.009.254.“

Jika penertiban emas tidak segera dilakukan, banyak kerugian yang dialami masyarakat dan pemerintah. Mulai dari kerusakan hutan yang menjadi sumber kehidupan masyarakat, PAD daerah yang tidak terkontrol, serta meningkatnya potensi bencana seperti banjir bandang dan longsor. “Potensi kerugian materil maupun lingkungan menjadi tanggungan pemerintah dan masyarakat,” pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,