Tertekannya harga minyak kelapa sawit dan persaingan global untuk produksi bahan bakar nabati (biofuel) menjadi tantangan bagi industri sawit Indonesia. Berlimpahnya pasokan sawit akan menurunkan daya tawar Indonesia yang dapat menempatkan Indonesia di bawah pengaruh kapitalis pemilik teknologi. Indonesia pun akan diposisikan sebagai negara perahan; tempat buruh murah dan lokasi produksi berada.
Artikel ini merupakan seri terakhir dari industri minyak sawit. Tulisan sebelumnya dapat dilihat pada tautan berikut: Sawit Berkelanjutan, Antara Mencari Standard Sertifikasi dan Desakan Perubahan dan Industri Kelapa Sawit dan Perjalanan Politik Komoditas Ini di Indonesia
Luas perkebunan sawit di Indonesia dalam lima tahun meningkat secara drastis, berbanding lurus dengan permintaan pasar dunia. Dari hanya hanya 7,95 juta hektar pada tahun 2009 menjadi 11,44 juta hektar pada tahun 2014. [1] Untuk menggenjot target ekspor, Pemerintah pada tahun 2020 mengejar target 40 juta ton produksi CPO lewat target perkebunan sawit dengan total 26,7 juta hektar perkebunan kelapa sawit, dengan alokasi 10-12 juta hektar perkebunan ditujukan untuk produksi biofuel. Dari total biofuel tersebut 65 persen direncanakan ditujukan untuk ekspor, khususnya untuk tujuan pemenuhan pasar Uni Eropa. [2]
Untuk saat ini, produk sawit Indonesia dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu: crude palm oil (CPO), other palm oil, crude oil of palm kernel dan other palm kernel oil. Dari keempatnya yang terbesar secara volume total ekspor pada tahun 2014 adalah other palm oil 70,43, lalu crude palm oil 23,50 persen, other palm kernel oil 4,43 persen dan crude oil of palm kernel 1,64 persen. [3]
India untuk saat ini, merupakan negara tujuan ekspor CPO terbesar Indonesia, diikuti oleh Belanda, Italia, Singapura dan Spanyol. [4] Di luar itu, negara lain yang prospektif untuk menerima minyak sawit Indonesia adalah Pakistan dan Tiongkok. Pendapatan dari transaksi free on board produksi sawit pada tahun 2015 mencapai USD 1.335,2 juta. [5]
Ekspor CPO sendiri tergantung kepada fluktuasi pasar. Melambatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara yang dipengaruh oleh faktor ekonomi global menjadi penyebab. Demikian pula dengan proteksi pasar dalam negeri. Ekspor CPO ke India sempat mengalami penurunan akibat inflasi dalam negeri tersebut, melemahnya nilai tukar rupee terhadap dolar dan meningkatnya nilai pajak impor minyak nabati mentah (crude) dari 2,5 menjadi 7,5 persen. Hal yang sama terjadi untuk permintaan ke negara-negara Timur Tengah akibat jatuhnya harga minyak dunia yang mengganggu daya beli negara-negara eksportir minyak. [6]
Dengan demikian, dapat disimpulkan industri minyak sawit Indonesia saat ini dikendalikan dalam mekanisme pasar bebas, dengan pengaruh faktor kekuatan dominansi, kontrol dan hegemoni yang melibatkan aktor-aktor internasional yang rumit.
Biofuel dan Energi
Selain memenuhi industri pangan (food industry), potensi minyak sawit yang saat ini sedang dilirik adalah untuk memenuhi kebutuhan energi.
Dalam beberapa tahun terakhir penggunaan minyak kelapa sawit untuk biodiesel meningkat secara signifikan. Minyak kelapa sawit di Eropa digunakan sebagai bahan baku murah lanjutan untuk produksi biodiesel di pelabuhan Rotterdam. Hal ini dipandang karena harga minyak sawit dianggap lebih stabil dibanding harga minyak lobak atau kedelai, yang juga menjadi sumber pasokan untuk biodiesel. Di mata dunia, biodiesel pun dianggap mampu bersaing dengan bahan bakar fosil di pasar energi, dimana harga minyak sawit tergantung dengan harga minyak bumi saat ini. [7]
Menyikapi kecenderungan yang ada, untuk itulah dalam beberapa tahun terakhir ini, Pemerintah tampak bersemangat mendorong produksi biofuel untuk pemenuhan energi nasional, khususnya saat harga minyak sawit di pasaran dunia berfluktuasi.
Presiden Joko Widodo pun mengeluarkan wacana peningkatan penggunaan biofuel sebagai implementasi peningkatan konsumsi bahan bakar alternatif hingga 20 persen, dari implementasi saat ini yang hanya mencapai 5 persen [8]. Hal ini merupakan respon terbaru Presiden dari Peraturan Presiden nomor 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menargetkan pasokan energi dalam negeri dan pencapaian energi mix yang optimal tahun 2025, yaitu biofuel sebanyak 5 persen. [9]
Dalam argumentasi Pemerintah, penggunaan wacana energi alternatif sejalan dengan menurunnya cadangan bahan bakar fosil. Pada tahun 2011, cadangan minyak Indonesia sebesar 7,73 miliar barel yang terdiri atas sekitar 4,04 miliar barel cadangan terbukti dan 3,69 miliar barel cadangan potensial. Pada tahun 2012, total cadangan minyak menurun menjadi 7,41 milyar barel terdiri dari 3,74 milyar barel cadangan terbukti dan 3,67 milyar barel cadangan potensial. [10]
Pada tahun 2012 itu pula, sebanyak 2,1 juta ton CPO digunakan untuk biodiesel atau sekitar 7,6 persen dari produksi minyak sawit domestik. Pemerintah memberikan subsidi harga eceran bagi bensin dan diesel. Ketimpangan harga inilah yang menyebabkan bahan bakar nabati tidak populer di dalam negeri. [11] Apalagi ketika harga minyak dunia jatuh bebas.
Selama kurun waktu 23 tahun (2010-2035), rencana penggunaan biofuel akan mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan sebesar 15,9 persen per tahun untuk skenario dasar dan 17,4 persen per tahun dengan skenario tinggi. Hal ini berdasarkan mandat biofuel yang tercantum di Permen ESDM 25/2013. [12]
Skenario pertama, penggunaan bahan bakar nabati seperti biodiesel dan bioethanol akan meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 17 persen per tahun. Sehingga persediannya akan mencapai 28 juta kl atau 30 persen lebih tinggi daripada penggunaan bahan bakar skenario dasar. Salah satu hambatannya, harga biodiesel mengalami fluktuasi seiring dengan perkembangan harga CPO dan harga tandan buah dari perkebunan.
Skenario kedua, pertumbuhan bioethanol sangat rendah. Hal ini disebabkan seluruh bahan baku ethanol merupakan produk makanan sehingga sulit mengembangkan perkebunan energi khusus. [13]
Dari sisi ketahanan energi, biodiesel dianggap solusi untuk menjawab permasalahan lingkungan dari penggunaan energi berbahan bakar fosil, termasuk perubahan iklim. Namun ironisnya, pembukaan lahan untuk industri kelapa sawit meningkat baik untuk kebutuhan pangan ataupun energi menyebabkan berkurangnya hutan tropis dan lahan gambut yang kemudian memberikan dampak tambahan terhadap perubahan iklim.
Politik Energi Uni Eropa
Kebijakan penggunaan minyak nabati sebagai bahan utama bagi biodiesel (bahan bakar pengganti solar) ataupun biofuel (bahan bakar hayati) awalnya masif sebagai bagian kebijakan Uni Eropa berdasarkan Directive 2009/28/EC yang ditetapkan pada 23 April 2009.
Kebijakan tersebut mengharuskan persyaratan penggunaan 20 persen energi terbarukan, di antaranya 10 persen untuk energi terbarukan dan 10 persen konsumsi energi untuk sektor trasportasi. Hal tersebut tertuang dalam Rencana Aksi Energi Terbarukan Nasional Uni Eropa (National Renewable Energy Action Plan-NREAP). Oktober 2010, 23 negara anggota Uni Eropa telah memasukkan NREAP kepada Komisi Eropa mengenai penggunaan biofuel. [14]
Kebijakan Uni Eropa itu merupakan bagian perencanaan yang telah dimulai pada tahun 2003. Kebijakan penggunaan biofuel secara umum dipandang untuk memperkuat kebijakan keamanan energi Eropa, menjamin keanekaragaman sumber-sumber energi dan berkurangnya intensitas karbon dalam perekonomian. Pada Desember 2005, Komisi Eropa meluncurkan Rencana Aksi Biomas dan Februari 2006 mempublikasikan Strategi Uni Eropa untuk Biofuel. [15]
Tujuan untuk ketahanan energi dari biofuel pula yang membuat negara-negara anggota Uni Eropa terlihat ambigu. Meski sebagian NGO di Eropa gencar melancarkan kampanye negatif dan mendorong wacana dan aturan penggunaan minyak sawit berkelanjutan sebagaimana syarat RSPO, negara-negara Uni Eropa tetap membeli produk sawit Indonesia yang menjadi berharga murah akibat kampanye hitam yang dilakukan tersebut.
Sejak saat itu, impor Uni Eropa sangat terbuka bagi pasar minyak kelapa sawit Indonesia. Sekitar 46 persen ekspor minyak kelapa sawit dari Indonesia memasuki kawasan Uni Eropa dengan menggunakan bebas tarif masuk.
Pada tahun 2012, ketika Uni Eropa memberlakukan label dumping bagi produk biodiesel sawit asal Indonesia, gejolak bagi industri di Uni Eropa pun terjadi. Akibatnya, kebijakan anti-dumping produk sawit Indonesia di Uni Eropa berakhir pada Mei 2013. Dalam beberapa tahun terakhir, impor minyak kelapa sawit dari Indonesia kembali meningkat sebesar 70 persen berkisar 2,76 milyar US$ tahun 2013. [16]
Selain Uni Eropa, Amerika Serikat berperan cukup penting dalam menciptakan kecenderungan penggunaan bahan bakar nabati secara global. Bioethanol AS umumnya berasal dari jagung, yang dihasilkan di ladang-ladang pertanian yang ada di negara itu.
Pasar bioethanol dimulai ketika kenaikan harga minyak bumi tahun 1970 saat itu berdampak terhadap perekonomian AS. Pemerintah AS pun mulai menaruh perhatian untuk produksi bahan bakar nabati untuk membangkitkan kemandirian energi nasional.
Pada tahun 1990, Kongres AS mensahkan Clean Air Act Amendments yang mendorong penggunaan bioethanol. Pada 2005, Presiden George W. Bush menandatangani Energy Policy Act yang mengamanatkan standard bahan bakar terbarukan yang mewajibkan penggunaan biofuel dari 4 milyar galon tahun 2006 menjadi 7,5 milyar galon pada 2012. [17] Namun, AS masih membutuhkan minyak sawit sebagai cadangan untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati sebagai bagian ketahanan kebijakan energi AS. [18]
Secara khusus, apa yang terjadi di Uni Eropa, negara yang tidak memiliki lahan untuk komoditas energi, dalam strategi mempertahankan keamanan energi inilah yang kemudian menjadi paradoks. Di satu sisi meningkatkan produksi biofuel yang dinilai ramah lingkungan dibanding bahan bakar fosil. Namun, turut pula mendorong kecenderungan perluasan dan pembukaan perkebunan sawit yang semakin meningkat, khususnya di Indonesia dan Malaysia.
Presiden Jokowi merespon dengan rencana moratorium perluasan lahan sawit. Presiden lebih menekankan pentingnya produktivitas di lahan sawit yang ada. [19] Di sisi lain, Pemerintah mendorong industrialisasi sawit hulu hilir. Pemerintah berargumen lalainya pembangunan infrastruktur industri, akan membuat posisi Indonesia hanya sebagai negara penghasil buruh dan produk bahan baku murah di masa depan.
Permintaan pasar yang melemah, dan penawaran melimpah yang muncul saat perkebunan sawit di negara-negara lain mulai berproduksi, akan semakin menekan harga sawit di masa depan. Hal sama dengan komoditas energi.
Untuk itu, strategi pengembangan biodiesel didorong untuk pemenuhan komsumsi domestik dan ketahanan energi nasional. Strategi ini, diharap akan menjamin serapan sawit domestik di tengah permintaan dunia rendah. Pada 2015 sebesar 905.000 kiloliter dengan target awal 1,5 juta kiloliter, baik untuk public service obligation (PSO) atau subsidi, non-PSO maupun pengguna langsung. [20]
Pada babakan akhir perkembangan, Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit, yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No 61/2015, bertujuan untuk mengatur soal penghimpunan dan penggunaan dana perkebunan sawit, termasuk untuk tujuan pensatabilan harga lewat invervensi subsidi biodiesel.
Rujukan:
[1] Badan Pusat Statistik (BPS). Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2014. ISSN 1978-9947. Hal.5.
[2] Norman Jiwan. The Political Ecology of the Indonesian Palm Oil Industry. Hal. 49. Dalam Oliver Pye dan Jayati Bhattacharya (edited by). 2013. The Palm Oil Controversy in Southeast Asia. A Transnational Perspective. ISEAS. Singapura.
[3] Badan Pusat Statistik (BPS). Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2014. ISSN 1978-9947. Hal.8.
[4] Ibid. Hal. 10.
[5] Badan Pusat Statistik (BPS). Statistik Perdagangan Luar Negeri Ekspor Menurut Kelompok Komoditi dan Negara. Januari 2016. ISSN:0216-5775. Hal. xii.
[6] Norman Jiwan. Op.Cit. Hal. 49.
[7] Commodity Basis. Palm Oil Prices.
[8] CNN Indonesia. Jokowi Targetkan Penggunaan Biofuel Hingga 20 Persen. 27 November 2014.
[9] Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025. Sesuai Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006.Hal. 30.
[10] BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). 2014. Indonesia Energy Outlook 2014. Pengembangan Energi Untuk Mendukung Program Substitusi BBM. ISBN: 978-602-1328-02-6. Hal. 15.
[11] Tatsuji Koizumi. 2014. Biofuels and Food Security. Biofuel Impact On Food Security in Brazil, Asia and Major Producing Countries. Springer. Hal. 51.
[12] Ibid. Hal. 74.
[13] Ibid. Hal.74.
[14] GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia). Refleksi Industri Kelapa Sawit 2014 dan Prospek 2015. 20 Januari 2015.
[15] Joana Chiavari. EU Biofuel Policies And Their Implications For Southeast Asia. Hal.199-200. Dalam Oliver Pye dan Jayati Bhattacharya (edited by). 2013. The Palm Oil Controversy in Southeast Asia. A Transnational Perspective. ISEAS. Singapura.
[16] Olof Skoog. Facts About the EU and Palm Oil. 5 Januari 2015.
[17] Tatsuji Koizumi. Op.Cit. Hal. 60.
[18] Detik. Minyak Dunia Merosot, Harga CPO Masih Akan Melempem Tahun Ini. 20 Januari 2016.
[19] Mongabay.co.id Presiden Bakal Moratorirum Izin Sawit dan Tambang. 14 April 2016.
[20] Mongabay.co.id Berikut Alokasi Dana Sawit Itu, Benarkah buat Pengembangan Kebun Berkelanjutan. 23 Mei 2016.