Sebelas Mei 2016, kami menuju Mapahi, sebuah desa di timur Kecamatan Pipikoro, Sigi, Sulawesi Tengah. Rombongan berangkat dari Desa Gimpu, melewati jembatan gantung Sungai Pili Mangkujawa, Kecamatan Kulawi Selatan.
Sebagian jalan telah berbeton memanjang, keluar masuk antara hutan dan perkebunan kakao, dan kopi milik masyarakat. Perjalanan cukup menegangkan. Jalan ukuran kecil, mendaki, menurun di antara tebing jurang, dan aliran Sungai Lariang.
Sepanjang perjalanan saya menemui beberapa kali mata air, anak sungai, dan longsoran tebing. Di antara perjalanan juga melewati kampung lama dan pemukiman baru. Jejeran anak sungai sepanjang jalan sebagian menggunakan jembatan kayu. Beberapa harus dilalui dengan kedalaman air setengah betis orang dewasa.
Ada dua jembatan gantung, pertama, membelah Sungai Lariang– merupakan terpanjang. Kedua, menyeberangi Sungai Mewe juga bermuara di Sungai Lariang. Jembatan gantung Mangkujawa memanjang dan membelah Sungai Lariang. Pertemuan Sungai Karangana mengalir dari hulu Desa Kalamanta dengan Sungai Lariang dapat disaksikan dari ketinggian di Kampung Halutua.
Abdul Syukur Ahmad, aktivis Sulawesi Community Foundation (SCF) juga ikut rombongan menjelaskan, jalan beton dan tidak memiliki makna pembagian wilayah dan teritorialisasi. “Jalan beton menandakan wilayah administrasi desa, yang belum dibeton kawasan hutan.”
UU, katanya, mengatur tak boleh pembangunan jalan dalam kawasan hutan, kecuali mendapatkan izin dari Kementerian Kehutanan.
Menantang maut
Ojek adalah satu-satunya kendaraan paling bergengsi di Pipikoro. Sepeda motor dimodifikasi sesuai jalur antara mendaki kaki gunung, tepi jurang dan sungai-sungai kecil. Motor lebih baik karena tak ada pilihan. Lebar jalan hanya satu meter.
Kami menemui setidaknya, dua longsor besar di ketinggian beririsan langsung dengan Sungai Lariang. Kondisi cukup memperihatinkan, tukang ojek dan penduduk melalui jalan tanpa pengaman, tanpa pembatas jalan, antara tebing dan jurang.
Perjalanan menuju Mapahi, di sepanjang Pipikoro risiko kerawanan tinggi. Salah sedikit mengendarai motor, nyawa menjadi taruhan. Kemungkinan orang jatuh ke jurang, atau menabrak batu-batu besar sepanjang jalan bisa terjadi.
Dari penuturan tukang ojek, beberapa kali teman mereka jatuh dari jembatan, mengalami patah tulang, dan beberapa mati tertimbun longsor.
Uniknya, setiap tukang ojek menjaga reputasi. Setiap kali kecelakaan menimpa, mereka selalu merahasiakan. Jika ketahuan reputasi berkurang. Banyak yang mengalami kecelakaan memilih berhenti sebagai tukang ojek.
Lebih rumit, kondisi jalan buruk menjadikan akses kesehatan di Pipikoro memburuk. Hanya ada tiga puskesmas pembantu, satu puskesmas terdekat di Desa Gimpu, Kulawi Selatan. Kalau perjalanan membawa orang sakit dalam waktu normal bisa tiga sampai empat jam menggunakan ojek. Kondisi lebih buruk jika menggunakan tandu.
Pak Ira, tukang ojek, mengatakan pernah menjadi tukang ojek bahan bangunan bandara di Rampi. Aspal diangkut dari Bada ke Rampi seharian. Ongkos per kiloram sekitar Rp6.000-Rp7000, sekali jalan bisa membawa 100 kilogram.
Memang banyak uang tetapi medan sulit, harus rombongan agar bisa saling membantu ketika kecelakaan. “Ongkos memang banyak tetapi tak sebanding dengan kerusakan motor.”
Melestarikan musik bambu
Persis menjelang magrib, kami tiba di rumah panggung milik, Musa, pejabat Kepala Desa Desa Mapahi. Beberapa jam setelah beristirahat, dari bawah kolong rumah terdengar alunan merdu seruling diikuti tambur dan bunyi bas bertalu-talu.
Seorang teman menuruni tangga, mengintip. Rupanya kerumunan masyarakat bersiap memainkan lagu dengan alat musik bambu. Kami bergegas.
Musa mengatakan, musik bambu itu warisan turun temurun. Bambu dari hutan kemasyarakatan (HKm) Desa Mapahi.
Keunikan musik bambu di Mapahi, selain warga piawai memainkan notasi, alat original bambu. Berbeda dengan musik bambu tempat lain, sudah diganti alat-alat moderen atau rakitan pipa plastik.
Pimpinan Musik Bambu Daud Nuru, mengatakan, komposisi musik bambu terdiri dari seruling bambu suara satu dan dua, bumber atau bass bambu. “Kami juga memiliki tambur dari kulit sapi dan kambing,” katanya.
Perpaduan musik dilengkapi soi, bambu pendek berfungsi menjaga tinggi rendah. “Masing-masing alat memiliki bunyi sesuai tangga nada.”
Keseluruhan, ada 32 bunyi alat musik bambu berbeda-beda dengan lagu-lagu yang sering dinyanyikan, seperti, tamaraden, wastua, naik gunung. Syair lagu dari kegiatan sehari-hari warga Mapahi.
Mei, perempuan peniup seruling bambu belajar sendiri meniup seruling. “Sejak SD, musik bambu kami terdiri dari musik satu–musik dua. Lagu sesuai acara, misal, pesta kawin, atau acara agama di Gereja. Latihan bersama musik bambu biasa sebulan sekali,” katanya.
Daud Nuru mengatakan, pembuatan musik bambu sangat sederhana. Bahan dari HKm dengan ukuran berbeda sesuai keperluan. Bambu dipotong menggunakan parang, gergaji, dan setiap bunyi diuji beberapa kali nada.
Sedangkan seruling dibuat dengan potongan bambu kecil dilubangi menggunakan “sarrang”, besi dipanaskan dan ditusukkan pada titik tertentu ke bambu.
Desa di atas awan
Mapahi berarti pahit. Penamaan desa ini penggambaran kehidupan masyarakat masa lalu yang sangat menderita. Pada 1980-an, masyarakat hanya hidup dari konsumsi ubi, sagu, singkong, dan bergantung pada rotan. Sedang padi sawah dibuka 1990-an, hanya ladang kering berpindah.
Sebelumnya, masyarakat hanya menjadi buruh rotan pengusaha dari Gumpu, dan pedagang pengumpul setempat. Pengusaha itu membiayai masyarakat masuk hutan untuk mencari rotan. “Kegiatan ini berakhir 2003, saya hentikan saat itu kala saya kepala desa.”
Pelempea, adalah desa pemekaran Mapahi pada 2013. Jumlah penduduk 107 keluarga (KK), 4.000 jiwa. Masyarakat Pelempea dan Mapahi adalah sub etnis Uma.
Menurut Ira, masyarakat Mapahi dikelilingi gunung dan aliran sungai di lembah yang mengalir sepanjang waktu sebagai tenaga listrik dan air konsumsi ke rumah warga.
Desa Pelempea eksotik. Apa yang anda cari? Sawah tersusun dengan pematang rapi seperti subak-subak di Bali. Tata ruang indah, pada lapis pertama mendaki gunung, ada kakao, menyusul kopi dan tegakan hutan rimbun. Air sungai mengalir dari dataran tinggi.
Orang-orang desa ini, mengubah aliran air dengan teknologi sederhana, membendung air untuk listrik dan mengalirkan ke rumah-rumah.
Mereka juga memiliki sawah di sekitar pemukiman di kelilingi kelapa dan Sungai Bangka. Pada 2006, mereka berkenalan dengan LSM Karsa Institut.
Karsa Institut, merupakan lembaga swadaya masyarakat untuk mendorong pembaruan perdesaan dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.
Direktur Karsa Institut, Rahmat Saleh (Oyong) mengatakan, skema HKm di Pipikoro difasilitasi sejak 2009. Izin pengelolaan keluar 2013 seluas 2100 hektar di tujuh desa, yakni Kalamanta, Mamu, Banasu, Mapahi, Peana, Kantewu 1, Kantewu 2 sekitar 900 keluarga.
HKm ini sebagai solusi ketegangan konflik kawasan hutan negara karena sekitar 80% desa-desa di Sigi, termasuk Pipikoro berada atau beririsan langsung dengan hutan negara.
“HKm, kami anggap efektif menangani konflik tenurial. Selama ini, penetapan hutan menghambat aktivitas dan akses masyarakat. HKm sebagai peletak dasar akses petani,” katanya.
Walaupun begitu, berbagai macam skema tetap disampaikan pada masyarakat, baik sisi positif maupun negatif.
Tujuan skema ini, katanya, menyelesaikan konflik sekitar hutan. Sebelumnya, tak ada kepastian hukum hak tanah masyarakat. Akses kelola hutan sangat terbatas.
Areal HKm, katanya, terbagi antara wilayah memenuhi kebutuhan masyarakat seperti kayu, pandan untuk tikar, dan rotan, serta wilayah perlindungan seperti daerah rawan longsor, sumber air dan hulu sungai.
Pipikoro berada pada ketinggian 700-1200 meter dari permukaan laut (mpdl). Produksi utama Pipikoro adalah kopi dan kakao. Kelompok HKM membangun mikrohidro sendiri secara swadaya dan bantuan BPDAS.
Pelibatan adat
Ketua HKm Yirmia L Koka mengatakan, warga khawatir akses terbatas dengan penetapan hutan negara. “Kami tak paham, merasa terancam, kelak dibatasi. Orang datang mengatakan ini hutan negara,” katanya,
Sebelumnya, warga bingung. “Kami sering dikelabui orang yang datang mengelola rotan. Berkat HKm kami tahu cara mengelola lebih baik. Ada pelatihan dari pemerintah mengenai tata kelola hutan yang baik.”
Setelah HKm, mereka membentuk dua kelompok, yang aktif baru satu, kelompok dua dalam proses. Kelompok satu, mulai bibit kemiri. Luas HKm 515 hektar, dengan hasil hutan rotan, kopi, kayu, gaharu, bambu, damar, dan kakao.
Dia mengatakan, sebelum HKm, mereka hanya bekerja tanpa mengelola. “Kami hanya menjadi tenaga kerja perusahaan yang memiliki izin.”
Kesadaran melestarikan alam dan hutan, katanya, sebenarnya sudah ketentuan adat mereka. Untuk membuka lahan, ada titik tak boleh digarap, seperti hulu sungai, (koo’lo) dan hutan larangan seperti mata air. Batas tak ditetapkan resmi, hanya dikeramatkan, seperti tempat terjal, mata air, tak boleh digarap sebagai lahan pertanian.
Dahulu proses pengelolaan lahan, dititikberatkan pada ladang berpindah (bonea) dan ladang ditinggalkan (tua oma) dan hutan muda (bilingkia). Pembagiannya, sebagai berikut, bilingkia umur tiga tahun, oma tiga tahun ke atas. Oma tua, adalah hutan belantara. Untuk wilayah ulayat, disebut huaka, atau jejak kaki orangtua.
Untuk mengerjakan lahan disebut kumulu, dijadwalkan bergiliran setiap lahan, misal, hari pertama, mengejakan lahan si A, hari berikutnya lahan si B, hingga semua selesai. Kumulu, juga berlaku kala membangun rumah, tempat adat atau tempat ibadah.
Aturan adat semacam itu diterapkan dalam HKm, pengelolaan lahan benar dikelola pribadi, tetapi pengambilan hasil hutan didasarkan sesuai kebutuhan. Kayu dari hutan untuk dijual.
Hasil hutan yang dijual hanya rotan. Ada juga jarak pengambilan rotan, dalam sebulan, bisa menghasilkan puluhan ton rotan. Wilayah panenan, katanya, tak boleh diambil. Semua berdasarkan kesepakatan bersama kelompok. (Bersambung)