,

Dukungan Berdatangan, Akankah Penataan Lingkungan di Sumatera Selatan Lebih Baik?

Upaya penataan lingkungan hidup di Sumatera Selatan (Sumsel) yang berpijak pada spirit Talang Tuwo; tata kelola lingkungan hidup untuk kemakmuran dan kesejahteraan semua makhluk hidup, mendapat dukungan berbagai pihak. Setelah Pemerintah Norwegia, dan Inggris, kini giliran Amerika Serikat.

“Dukungan yang diberikan Amerika Serikat dalam pertemuan khusus kami dengan Dubes Roberto Blake. Pemerintah Amerika Serikat akan memberikan dukungan dalam program restorasi gambut, tata kelola hutan wilayah pegunungan (Bukit Barisan), serta mendorong energi bersih dan terbarukan,” kata Dr. Najib Asmani, Sabtu (28/05/2016).

Dengan banyaknya dukungan penataan lingkungan hidup di Sumsel, kata Najib, kian memberikan peluang bagi pemerintah dan masyarakat Sumsel berperan aktif dalam mencegah perubahan iklim global, yang juga memberikan dampak positif bagi kemakmuran dan kesejahteraan bersama.

“Leluhur Sriwijaya mengajarkan bagaimana menata lingkungan hidup bersama kekayaan hayatinya menjadi baik dan lestari. Kondisi itu akhirnya membuat suku bangsa di Asia Tenggara hidup makmur,” kata Najib.

“Setelah Amerika Serikat, pemerintah Jerman juga berencana memberikan dukungannya,” ujar Najib.

Sebelumnya, pada Selasa (24/05/2016), Dubes Amerika Serikat untuk Indonesia Roberto Blake bertemu dengan Gubernur Sumsel Alex Noerdin di Griya Agung, Palembang.

Selain menyampaikan keinginan Pemerintah Amerika Serikat menata lingkungan hidup yang lebih baik, pertemuan tersebut juga dihadiri perwakilan 17 perusahaan di Amerika Serikat yang akan melakukan investasi di Sumsel, termasuk mendukung penyelenggaraan Asian Games 2018 di Sumsel.

Wilayah Kekuasaan Sriwijaya abad ke-8 Masehi yang membentang luas dari Sumatera, Jawa Tengah, hingga Semenanjung Malaysia. Sumber: Wikimedia commons

Lingkungan hidup

Dalam berbagai kesempatan, Alex Noerdin menyatakan ada lima persoalan penting mengenai lingkungan hidup di Sumsel.

Pertama, kebakaran hutan dan lahan (karhutlah). Hampir 18 tahun Sumsel mengalami persoalan ini. Pada 2015, sekitar 700-an ribu hektare hutan dan lahan terbakar, sehingga menjadi perhatian international.

Kedua, adanya konflik lahan di kawasan hutan produksi dan konsesi. Ketiga, kawasan hutan lindung kritis, baik hidrologi, banjir, hingga perubahan suhu.

Keempat, kemiskinan masyarakat di sekitar hutan yang akhirnya menimbulkan urbanisasi. Terakhir, kelima, kurangnya sinergi dalam pengelolaan lansekap.

Guna mengatasi hal tersebut, Pemerintah Sumsel menargetkan lima hal. Yakni menjalin kerjasama international dalam membentuk konsorsium Green Growth, memperbesar ruang bagi kegiatan perhutanan sosial, merancang program pembayaran jasa ekosistem, dan meningkatkan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dengan olah lahan tanpa bakar sebagai penguatan ketahanan pangan. Serta, membangun kelembagaan kemitraan pengelolaan lansekap.

“Sudah terwujud konsorsium Green Growth dan kemitraan pengelolaan lansekap. Lainnya dalam tahap pengerjaan awal atau komitmen, dan semoga semuanya berjalan lancar dan sukses,” kata Najib Asmani.

Alex Noerdin saat bertemu Roberto Blake. Foto: Humas Pemprov Sumsel
Alex Noerdin saat bertemu Roberto Blake. Foto: Humas Pemprov Sumsel

Ada tiga zona lansekap yang menjadi target pemerintah Sumsel. Pertama, zona hutan rawa gambut, hutan pantai dan mangrove yang meliputi Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Banyuasin, dan Musi Banyuasin (Muba).

Kedua, zona tangkapan air atau daerah aliran sungai (DAS), yang meliputi kawasan Bukit Barisan Selatan di Kabupaten Empat Lawang, Pagaralam, Lahat, Muaraenim, Musirawas Utara, dan Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS).

Ketiga, zona rawa lebak dan lahan kering, yang meliputi Kabupaten Ogan Ilir (OI), Prabumulih, Pali, Musirawas, Lubuklinggau, Ogan Komering Ulu (OKU), OKU Timur dan Palembang.

Dalam memperjuangkan hal tersebut, beberapa skema dilakukan. Misalnya, terkait karhutlah di lahan gambut yang mengoptimalkan peranan Tim Restorasi Gambut (TRG) Sumsel dalam mewujudkan wilayah restorasi yang memberikan dampak perbaikan lahan gambut, ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat, serta perlindungan cagar budaya Sriwijaya dan kekayaan hayati.

Sebagai dukungan langkah tersebut telah dibentuk lembaga Desa Peduli Api (DPA) di 100-an desa yang selama ini rawan kebakaran, kemudian konsolidasi stakeholder, evaluasi sarana dan prasarana pemadam kebakaran, serta penguatan satuan tugas pemadam kebakaran Manggala Agni. Termasuk, mendorong kegiatan ekonomi olah lahan tanpa bakar.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,