,

Meneropong Jejak Perjalanan Orang Suy’uk di Pegunungan Muller

Gelap mulai merayap ketika Mateus Liung hadir di Balai Desa Tanjung. Tangan kanannya menggenggam sebuah tongkat. Sedangkan tangan kirinya memegang senter. Tongkat itu berfungsi membantu menyangga kedua kakinya yang mulai rapuh. Sementara senter untuk menerangi jalan gelap yang dia lewati.

“Anak, Bapak sudah tua. Tapi yang akan dimusyawarahkan malam ini tentang sejarah desa, maka Bapak datang untuk membantu,” katanya sambil berjalan pelan menyusuri koridor kantor Balai Desa Tanjung.

Di balai desa, Senin (4/4/2016), warga sudah berkumpul. Suasana persaudaraan terlihat sangat kental. Senda gurau antar-warga seperti mengikis habis sekat primordialisme. Tua muda lebur dalam ikatan kekerabatan.

Di tengah-tengah warga, hadir pula perwakilan WWF-Indonesia, lembaga yang selama ini mendampingi Desa Tanjung. Lembaga ini akan membantu warga menata wajah desa untuk 20 tahun ke depan melalui rencana tata ruang desa. Namun langkah awal yang dilakukan adalah penelusuran jejak-jejak orang Suy’uk di Desa Tanjung.

Liung tampak menghempaskan ingatannya ke masa lalu. Sesekali lelaki 70 tahun itu menatap orang-orang di sekitarnya. Sejurus kemudian, suasana membisu. Warga seperti terhipnotis ingin segera mendengarkan secara langsung cerita asal-usul mereka yang nyaris terkubur waktu.

“Awalnya, kami berasal dari Suku Suy’uk Busang di Sungai Langau, Kalimantan Timur. Nenek moyang kami hijrah dan menempuh perjalanan panjang hingga ke Sungai Bawan di Kapuas Hulu,” kata Liung memulai ceritanya.

Situs Mpatung Mmaung masih tetap berdiri kukuh di Desa Tanjung sekaligus menjadi simbol ketangguhan Orang Suy’uk. Foto: Andi Fachrizal
Situs Mpatung Mmaung masih tetap berdiri kukuh di Desa Tanjung sekaligus menjadi simbol ketangguhan Orang Suy’uk. Foto: Andi Fachrizal

Menurut keterangan lisan para tetua, Orang Suy’uk pertama yang menetap di Sungai Bawan bernama Tongkah. Dia memiliki tujuh orang istri dan dianugerahi 30 anak. Diperkirakan setelah menetap di Sungai Bawan hingga lima keturunan, terjadilah perang suku.

Mereka akhirnya menyebar ke pelbagai tempat seperti Sungai Mentebah, Sungai Kalis, Sungai Embaloh, Sungai Mandai, dan Landau Benit (Sungai Bunut). Sampai saat itu perang suku berakhir. Namun, keturunan Tongkah yang pindah ke Landau Benit kekurangan bahan pangan. Sektor pertanian dinilai tidak mampu memberikan harapan hidup.

Mereka akhirnya hijrah lagi dari Landau Benit dan mudik ke Sungai Suy’uk serta menetap di Mpalak. Dari Mpalak mudik ke Sungai Suy’uk di Menain/Landau Nangkak. Proses perpindahan tak berakhir sampai di situ. Mereka kemudian hijrah lagi ke Sungai Tekuyung hingga Pungguk. Dari Pungguk, mereka berpencar ke Tanjung, Nanga Biang, Gurung Langkung, Kepala Gurung, Sungai Kalis, Sungai Mandai, Sungai Mentebah, dan Sungai Menain.

Khusus keturunan Tongkah yang pindah dari Pungguk ke Tanjung, Biang, dan Gurung Langkung, meninggalkan sejumlah situs. Situs-situs itu dikabarkan masih ada dan tetap bertahan sampai sekarang. Salah satu situs yang paling dekat dengan perkampungan adalah Mpatung Mmaung (patung harimau), Mpatung Mensia (patung manusia), dan Teeh (tiang).

Sedangkan situs terjauh ada di Liang Lungun Bukit Tunggan, tempat pekuburan di masa Ngayau, dan Liang Lungun di Bukit Bangum Danum. Penuturan warga, akses ke kawasan ini sudah tertutup. Sedangkan di Gurung Langkung, terdapat pula Situs Mpatung Mensia di Batang Lajak.

Teeh, salah satu situs peninggalan Orang Suy’uk di pegunungan Muller, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal
Teeh, salah satu situs peninggalan Orang Suy’uk di pegunungan Muller, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal

Mencari situs purba

Selasa, 5 April 2016, sejumlah aparat Desa Tanjung sudah memersiapkan diri melakukan perjalanan menyusuri daerah aliran Sungai Suy’uk. Keterangan lisan para tetua Desa Tanjung, menjadi magnet untuk melakukan observasi lapangan.

Kepala Urusan Bangunan Desa Tanjung, P Sabang mengambil tongkat komando untuk memimpin perjalanan. Selain warga, turut pula para kepala dusun se-Desa Tanjung. Mereka adalah Dulah, Samad, dan Thomas. Ketiganya dari Dusun Gurung Langkung, Roban, dan Dusun Biang. “Bagaimana, apakah semua sudah siap?,” kata Sabang sesaat sebelum tim bertolak menyusuri Pegunungan Muller.

Setelah persiapan dianggap final, tim yang beranggotakan delapan orang ini pun bergerak meninggalkan Dusun Roban. Hampir sepanjang jalan, yang tampak adalah rerimbunan pohon beragam jenis. Aliran Sungai Suy’uk yang jernih menambah keindahan panorama alam Desa Tanjung.

Sekitar dua jam mengayun langkah kaki, mendaki bukit, dan menyeberangi sungai, tim akhirnya tiba di Nanga Baeng yang diduga menjadi bekas permukiman orang Suy’uk tempo dulu. “Berhenti dulu, coba tengok ke atas,” kata Thomas sambil menunjuk ke arah sebuah tiang tua yang masih berdiri kokoh.

Tiang itu terbuat dari kayu belian (ulin). Di bagian puncak terdapat reflika burung yang dari bahan kayu yang sama. Tim kemudian mendekati tiang tersebut, meski akses jalan sudah tertutup semak. Tidak ada pilihan lain kecuali merintis jalan baru. Akhirnya, tim pun sampai. Karuan saja, itulah lokasi yang selama ini dicari. “Teeh, ini Teeh,” kata Thomas tersenyum.

Orang Suy’uk mendeskripsikan Teeh sebagai simbol kekuasaan. Hal itu merujuk pada jenis reflika burung yang bertengger di puncak tiang. Burung itu tak lain adalah tingang atau enggang.

Berdasarkan tuturan lisan para tetua kampung, tak ada situs yang berdiri sendiri. Di sekitarnya, selalu ada beberapa peninggalan. Pencarian pun dilanjutkan. Benar, tak jauh dari temuan awal, tim kemudian menemukan Ngkaran.

Bentuknya mirip seperti Teeh. Terbuat dari kayu belian yang ditancap ke tanah dengan ketinggian sekitar lima meter. Pada bagian tengah terdapat sebuah guci tua dengan motif dua kepala naga dan seekor burung. Kayu belian pada situs peninggalan purba ini bermotif khas Dayak. Konon, Ngkaran adalah simbol kewibawaan orang Suy’uk.

Inilah Sungai Suy’uk yang mengalir hingga ke Desa Tanjung sekaligus menjadi sumber kehidupan bagi Orang Suy’uk sejak ratusan tahun silam. Foto: Andi Fachrizal
Inilah Sungai Suy’uk yang mengalir hingga ke Desa Tanjung sekaligus menjadi sumber kehidupan bagi Orang Suy’uk sejak ratusan tahun silam. Foto: Andi Fachrizal

Tak jauh dari lokasi Ngkaran, beberapa situs lainnya akhirnya ditemukan. Misalnya tiang bekas rumah betang (rumah panjang). Sementara di seberang sungai, warga menyebutnya sebagai Nanga Biang, situs-situs lainnya juga ditemukan. Sebut saja Mpatung Mensia (patung manusia) dan Teeh, meski kondisinya sudah tidak utuh lagi. Mpatung Mensia adalah simbol ksatria dan kegagahan orang Suy’uk.

“Inilah tanda bahwa nenek moyang kami pernah bermukim di tempat ini. Mereka hidup berkomunitas di satu tempat dan tidak pernah jauh dari sumber air. Untuk memenuhi kebutuhan pangan, di sekitar kawasan ini pula mereka berladang dan berburu,” terang Thomas.

Kendati diperkirakan sudah ratusan tahun orang Suy’uk mengelola hutan di pegunungan Muller, kawasan tersebut tetap terjaga kelestariannya. Ini bisa dilihat dari keanekaragaman hayati yang tampak di depan mata. Orang Suy’uk membuktikan dirinya mampu merawat hutan secara berkelanjutan.

Model pengelolaan hutan masyarakat ini belakangan diberi nama tembawang. Pohon-pohon buah dan dan pohon kayu berdiameter raksasa tumbuh saling berdampingan. Tidak ada dominasi tumbuhan tertentu dalam satu hamparan. Semua menyerupai hutan asli, meski sudah dikelola masyarakat sejak ratusan tahun silam.

Tembawang ini menjadi bukti kepiawaian Orang Suy’uk mengelola hutan secara berkelanjutan. Foto: Andi Fachrizal
Tembawang ini menjadi bukti kepiawaian Orang Suy’uk mengelola hutan secara berkelanjutan. Foto: Andi Fachrizal
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,