, , , ,

Terlindas Kepentingan Pemodal, Beginilah Nasib Warga Pesisir Watu Kodok

Rabu pagi itu, waktu menunjukkan pukul 9.00. Puluhan warga, perempuan dan laki-laki berkumpul di sekitar Pesisir Pantai Watu Kodok,  Desa Kelor Kidul, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Mereka memakai seragam sama, baju putih, celana pendek merah. Topi merah putih dan dasi merah. Mirip seragam anak sekolah dasar.  Mereka juga upacara bendera.

“Semua menggunakan seragam SD atau celana merah. Ini warga melawan rencana penggusuran. Kami dianggap orang bodoh, dan lulusan SD,” kata Tupar, warga Tanjungsari, pekan terakhir Mei.

Lewat aksi ini, katanya, warga pesisir, mempertahankan lahan yang akan dirampas pemerintah dan investor.  Mereka menamai ini Festival Kathok Abang (Festival Celana Merah).  Istilah kathok abang mengacu pada seragam SD.

Pesisir Watu Kodok, bakal menjadi industri wisata dan kawasan rawan bencana abrasi. Investor, katanya,  akan memangkas bukit-bukit dan tumbuhan penghalang abrasi, untuk pengembangan resor pribadi.

“Festival ini bentuk kepedulian warga menghindarkan Watu Kodok dari bencana lingkungan dan sosial,” katanya.

Warga berjuang mempertahankan Watu Kodok dari ancaman kerusakan industri wisata besar dengan dalih lahan Sultan Ground. Investor mengklaim memiliki surat kesultanan Yogyakarta. Mereka berencana membangun resor privat. Warga digusur dengan dasar surat kekancingan (pemberian hak pakai-sewa menyewa) dari Panitikismo Kasultanan Ngayogyakarta—yang mengklaim tanah pesisir Watu Kodok sebagai tanah Sultan Ground.

Investorpun tak memperbolehkan warga leluasa masuk pantai untuk aktivitas harian. Apalagi, meneruskan usaha mengelola tanah yang sudah turun-menurun sejak 1948.

Investor lewat pengacara sempat berkali-kali mensomasi warga untuk merobohkan bangunan dan pergi meninggalkan Watu Kodok. Sebagian warga terpaksa merobohkan rumah, tetapi banyak juga yang  mempertahankan ruang hidup mereka. Warga tak hanya teriintimidasi dengan somasi bahkan percobaan kriminalisasi. Warga dilaporkan penyerobotan tanah.

“Watu Kodok bukan hanya ruang hidup keragaman hayati, juga sumber penghidupan warga tiga dusun,” ucap Tupar.

Warga Pesisir Watu Kodok memakai pakai bercelana merah untuk merayakan perjuangan setahun tahun mempertahankan kawasan pesisir dari investor. Foto: Tommy Apriando
Warga Pesisir Watu Kodok memakai pakai bercelana merah untuk merayakan perjuangan setahun tahun mempertahankan kawasan pesisir dari investor. Foto: Tommy Apriando

Sesepuh Kelor Kidul, Yahya Yusmadi mengatakan, Watu Kodok sudah jadi lapangan pekerjaan masyarakat tiga pedukuhan, bahkan lebih. Mereka bercocok tanam, mencari pakan ternak dan lain-lain. Pantai juga tempat warga memancing, menyuluh, mencari rumput laut, kerang, bulu babi dan lobster. Bahkan sebagian warga memutuskan bermukim dan sudah turun temurun.

Pantai ini mulai dibuka warga 1949. Seiring perkembangan pariwisata di Pesisir Kidul, pantai di Desa Kemadang mulai berkembang. Setelah Pantai Baron, makin populer, dibangunlah Pantai Sepanjang, diprakarsai kepala desa. Selanjutnya, dibuatlah akses menuju Pantai Watu Kodok, supaya pembangunan lebih merata. Warga timur Desa Kemadang, yaitu Dusun Kelor Kidul, Kelor Lor, dan Kanigoro membuat jalan supaya bisa menikmati obyek wisata menuju Watu Kodok.

Selama ini, katanya,  warga tak hanya bijak memanfaatkan kawasan Watu Kodok, namun terbukti mampu merawat kelestarian rupa dan fungsi pesisir.  Jadi, katanya, warga melawan karena ruang dan tempat hidup mereka terampas.

“Mempertahankan dengan segala bentuk perlawanan apapun merupakan suatu keharusan, untuk tidak terusir,” kata Yusmadi.

Alam Watu Kodok indah dan damai. Warga hidup rukun. Wisata lautan dengan terumbu karang dan beragam biota. Ia juga punya pangan khas nasi tiwul dan nasi jagung.

Yusmadi berharap, Watu Kodok bisa terus dikelola masyarakat desa dengan segala kearifan lokal, kerukunan, dan tetap mempertahankan kelestarian alam.  “Warga Watu Kodok berharap pengunjung bisa menikmati pemandangan alam dengan mengedepankan kearifan lokal.”

Dalam Festival Kathok Abang juga ada kenduri dan larungan laut, bersih pantai, gelar pangan lokal, dan renungan perjuanan warga. Juga, panggung kesenian, lapak kreatif, live sablon, pemutaran film Rayuan Pulau Palsu karya Wacthdog Dokumenter dan workshop rontek.

Warga pesisir berbekal keyakinan dan keinginan bersatu, terus membuktikan selalu ada harapan mempertahan ruang hidup, dari keserakahan kuasa modal.

Pesisir Watu Kodok, tempat menggantung hidup warga sekitar. Foto: Tommy Apriando
Pesisir Watu Kodok, tempat menggantung hidup warga sekitar. Foto: Tommy Apriando
Warga usai mencari lobster di Pesisir Watu Kodok. Foto: Tommy Apriando
Warga usai mencari lobster di Pesisir Watu Kodok. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,