,

10 Tahun Lumpur Lapindo, Luka Itu Terasa Menyayat Hati

“Kami, warga Kalidawir tegas menolak rencana Lapindo untuk ngebor lagi. Cukup sekali, jangan ada pengeboran di permukiman warga yang membuat kami trauma,” teriak Arifin, warga Kalidawir, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (30/5/2016).

Seruan Arifin adalah satu dari sekian orasi yang dipekikkan warga, yang tinggal di sekitar tanggul lumpur Lapindo. Bersama 100 warga lainnya, Arifin mendatangi tanggul lumpur di titik 71 untuk memeringati 10 Tahun Lumpur Lapindo yang nyembur 29 Mei 2006 silam.

Kepada Mongabay, Arifin menyampaikan, meski rumahnya tidak ikut tenggelam, namun setiap hari selama 10 tahun ini, dia bersama keluarga dan warga hidup dalam kecemasan. “Rumah saya tidak kena, tapi dampak lumpur ikut kami rasakan. Sekarang, air sumur bau dan asin, kami harus beli air yang berarti pengeluaran bertambah.”

Tidak hanya air bersih, pertanian, peternakan, maupun usaha perikanan warga juga terdampak. Sayang, karena bukan termasuk dalam peta area terdampak yang berhak mendapat ganti rugi, penderitaan itu harus mereka tanggung sendiri.

“Jangan lagi ada pengeboran di permukiman warga,” tegas Arifin.

Perwakilan warga dari kelompok Korban Lapindo Menggugat (KLM), Khobir mengungkapkan, peringatan 10 tahun ini untuk menunjukkan besarnya kerugian yang ditimbulkan akibat pertambangan. Selama satu dasawarsa, aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya warga terganggu dan hilang. Kerugian non material warga tidak terhitung, belum lagi akses lalu lintas jalan Raya Porong.

“Jangan terulang lagi. Kita menolak pengeboran baru di permukiman, tidak ada untungnya bagi warga.”

Khobir mengingatkan, luasan kolam penampungan lumpur yang lebih dari 670 hektar, telah melebihi luasan peta area terdampak yang ditetapkan pemerintah yaitu 640 hektar. “Belum lagi ganti rugi yang sampai saat ini tidak juga lunas.”

Warga memperingati 10 Tahun Lumpur Lapindo dengan tabur  bunga di atas tanggul kolam penampungan lumpur, Senin 30 Mei 2016. Foto:  Petrus Riski
Warga memperingati 10 Tahun Lumpur Lapindo dengan tabur bunga di atas tanggul kolam penampungan lumpur, Senin 30 Mei 2016. Foto: Petrus Riski

Pada peringatan tersebut, ada pembacaan puisi para seniman Bojonegoro, juga pemasangan karya instalasi oleh perupa Dadang Christanto berjudul “Gombal”. Karya ini berupa tonggak bambu 300 bilah, di atas ujungnya diikatkan kain bekas warga, yang dalam bahasa Jawa disebut gombal.

“Mereka mengidentifikasikan diri sebagai gombal yang tersingkirkan, tidak diperhatikan dan termarjinalkan. Itulah gambaran pemerintah yang masih memperlakukan rakyatnya sebagai gombal,” tukas Dadang.

Gombal menurut Dadang, dapat diartikan juga sebagai janji-janji palsu yang banyak diucapkan para pejabat dan politisi kepada rakyat. Namun, pada prinsipnya tetap menganggap rakyat tidak bernilai. “Lumpur Lapindo ini yang paling ekstrim, dan monumental dalam arti penderitaan manusia. Jadi, sudah parah,” singkatnya.

Pada peringatan sebelumnya, Dadang membuat karya instalasi berupa patung survival, yang menggambarkan perjuangan warga menghadapi kerasnya hidup akibat luapan lumpur. Sampai saat ini, tercatat, sekitar 80 berkas milik warga belum dilunasi oleh PT. Minarak Lapindo Jaya.

Patung dengan latar belakang semburan lumpur Lapindo di kolam penampungan lumpur yang menyembur 31 Mei 2006. Foto: Petrus Riski

Pemerintah harus belajar

Koordinator Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Rere Christanto mengatakan, peristiwa 10 tahun lumpur Lapindo harusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah. “Jangan beri izin pertambangan di permukiman padat huni.”

Menurut Rere, janji Lapindo berupa jaminan keamanan pada pengeboran yang akan dilakukan, sama dengan yang diubar sebelum pengeboran di sumur Banjar Panji 1 yang akhirnya berbuah petaka. “Ini perusahaan yang sama. Janji itu pula yang disampaikan sebelum kejadian 29 Mei 2006  yang kata mereka aman. Pemerintah harus melakukan perbaikan tata kelola migas di seluruh Indonesia.”

Terkait pemenuhan hak masyarakat yang menjadi korban, Walhi menyoroti penanganan itu hanya pada pembayaran ganti rugi. Padahal, kerugian yang diderita warga jauh lebih. “Contohnya kesehatan, data 10 tahun terakhir di Puskesmas Jabon, Porong dan Tanggulangin, penderita ISPA terus meningkat, dua kali lipat lebih tinggi dibanding sebelum ada semburan,” papar Rere.

Amien Widodo, Ketua Tim Kajian Provinsi Jawa Timur menuturkan, terkait rencana pengeboran baru Lapindo, saat ini masih pada kajian teknis, sosial, dan ekonomi di lokasi pengeboran Lapindo Brantas. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian, seperti penurunan tanah dan retakan di kawasan pengeboran. Selain itu, secara sosial banyak penolakan terhadap rencana tersebut. “Kami masih menyelesaikan laporan, seminggu lagi kami serahkan ke Gubernur yang akan mengambil keputusan,” katanya.

Anak-anak korban lumpur Lapindo bertopeng wajah Aburizal Bakrie dengan spanduk dan poster peringatan 9 tahun lumpur Lapindo. Foto : Petrus Riski

Jamin aman

Meski mendapat penolakan warga terkait pengeboran di sumur Tanggulangin, PT. Lapindo Brantas bersikeras akan melakukan pengeboran. Vice President Corporate Communication PT. Lapindo Brantas, Hesti Armiwulan mengatakan, persiapan teknis dan operasional telah dilakukan, termasuk sosialisasi ke warga.

“Komunikasi sudah kami lakukan ke berbagai kalangan. Mengenai pengeboran, kami jamin keamanannya, seperti kualitas casing dan sebagainya,” kata Hesti saat ditemui Mongabay, Jumat (27/5/2016).

Jaminan keamanan pengeboran didukung dengan kesanggupan Lapindo bila terjadi kesalahan seperti 2006 lalu, yang dituangkan pada perjanjian di depan notaris. Selain itu, sumur yang akan dibor merupakan sumur pengembangan, bukan sumur baru.

“Apabila terulang kembali, Lapindo siap bertanggung jawab. Kami juga bingung yang kurang apa lagi, karena masih ditolak.”

Hesti mengungkapkan, semburan 2006 merupakan fenomena akibat gempa dan letusan gunung berapi di Yogyakarta. Hingga kini, belum ada keputusan hukum yang menyebut peristiwa itu kesalahan Lapindo Brantas dalam pengeboran.

“Apa yang kami lakukan sejak 2006 sampai sekarang sudah maksimal. Kami sudah mengeluarkan biaya kurang lebih Rp8 triliun. Ganti rugi mencapai Rp3,7 triliun, selebihnya upaya penanggulangan,” tandas Hesti.

Massa mengarak ogoh-ogoh Aburizal Bakrie dalam peringatan 7 tahun bencana semburan lumpur Lapindo. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,