,

Aturan Moratorium Tambang Harus Jelas, Agar Perbaikan Lingkungan Berjalan

Smelter PT. Well Harvest Winning Alumina Refinery di Sungai Tengar, Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, dalam waktu dekat digadang-gadang akan diresmikan Presiden Joko Widodo.

Pabrik yang dibangun sejak 2013 itu, merupakan pabrik smelter terbesar di Indonesia, untuk pengolahan bauksit. Perusahaan ini juga menjadi perusahaan tambang terbesar kedua di Indonesia setelah PT. Freeport.

Perusahaan ini merupakan badan usaha patungan antara China Hongqiao Group Ltd yang memiliki saham 55 persen, PT Cita Mineral Investindo Tbk 30 persen, Winning Investment 10 persen, dan Shandong Weiqiao Alumunium Electricity Co Ltd sebesar 5 persen. Nilai investasi pembangunan smelter tersebut mencapai US$2,28 miliar atau sekitar Rp29,64 triliun dengan kapasitas produksi 4 juta ton per tahun.

“Ini jadi simalakama pemerintah, di satu sisi upaya pemerintah mendorong hilirisasi industri terlaksana. Namun, di lain pihak, perusahaan ini juga banyak masalah,” kata Arif Munandar, peneliti Swandiri Institute, beberapa waktu lalu Pontianak.

Arief mengatakan, pembangunan smelter merupakan kewajiban yang harus dipenuhi perusahaan pertambang pasca-kebijakan pelarang impor bahan mentah tambang melalui UU 4/2009. “Yang jadi persoalan, penataan di hulu belum selesai, sudah didorong hilirisasinya. Sama halnya yang terjadi di Kalbar, banyak tambang bermasalah justru dilindugi, banyak izin baru yang dikeluarkan sebelum ada penataan dan evaluasi.”

Maka, lanjut Arif, Koalisi Masyarakat Sipil yang fokus mendorong reformasi tata kelola sumber daya ekstraktif; Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, meminta Presiden Jokowi untuk segera menerbitkan aturan moratorium tambang. “Ini untuk meningkatkan tata kelola pertambangan dan sejalan dengan rekomendasi Koordinasi dan Supervisi (Korsup) sektor Minerba KPK, menertibkan izin-izin tambang bermasalah karena berada di kawasan hutan konservasi dan lindung,” katanya.

Seperti diketahui, Jokowi menyatakan perlunya moratorium izin kebun sawit dan tambang di Gerakan Nasional Penyelamatan Satwa dan Tumbuhan Liar di Pulau Karya, Kepulauan Seribu, 14 April 2016.

Inilah wilayah operasi pencucian bauksit PT Mahkota Karya Utama di Dusun Semenduk, Desa Sejotang, Kecamatan Tayan Hilir Kabupaten Sanggau. Kiprah perusahaan yang sudah mengantongi status CnC ini terungkap beroperasi di luar konsesi yang dikuasainya. Foto: Andi Fachrizal

Mengenai hal ini, Arif menyatakan, pemerintah juga perlu belajar dari kebijakan moratorium atau penundaan izin baru berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.323/Menhut-II/2011 tanggal 17 Juni 2011 tentang Penetapan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPIB) Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain, yang dinilai gagal memberikan jalan keluar terhadap perbaikan ekologis dan sosial.

“Penyebabnya adalah kebijakan tersebut tidak mendorong penegakan hukum terhadap pelanggaran perizinan di kawasan moratorium.”

Pada praktiknya, wilayah moratorium justru tetap diberikan izin usaha sektor ekstraktif. Setidaknya, ada sembilan kali perubahan PIPIB. “Hal tersebut mengindikasikan ketidaktegasan upaya penegakan hukum,” tegas Arif.

Saat ini, katanya, tumpang tindih antara izin tambang dengan kawasan hutan konservasi dan lindung masih banyak terjadi. Karena itu, kebijakan moratorium seharusnya tidak hanya fokus pada penghentian izin baru saja. Hal terpenting adalah penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan pemberi kebijakan dan penerima izin atau badan usaha. “Jangan sampai adanya moratorium, penegakan hukum justru tidak berjalan. Selain itu, perlu juga penyelesain konflik sosial, perbaikan kondisi lingkungan, dan penataan perizinan,” kata Arif lagi.

Perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) seringkali abai menunaikan kewajibannya melakukan reklamasi guna memulihkan kembali kondisi lingkungan pasca-tambang. Foto: Andi Fachrizal

Dalam rilisnya, Koordinator Nasional, PWYP Indonesia Maryati Abdullah mengatakan, aturan moratorium diharapkan mampu menjelaskan gambaran teknis dan detil mengenai mekanismenya. Menurut dia, mekanisme itu penting agar kementerian dan pemangku kepentingan terkait seperti Kehutanan dan ESDM serta pemerintah daerah dapat langsung melaksanakannya. “Presiden harus segera menyusun aturan soal ini,” tegasnya.

Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askalani menambahkan, moratorium harus segera dieksekusi. Berkaca dari kebijakan moratorium tambang di Aceh melalui Instruksi Gubernur no 11/2014 tentang Moratorium Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam dan Batubara yang diberlakukan dua tahun, dampaknya positif bagi perbaikan tata kelola sektor tambang. “Moratorium juga berhasil menekan laju kerusakan deforestasi hutan dan lahan di Aceh.”.

Kebijakan moratorium itu juga mendorong reformasi perizinan, kepatuhan jaminan reklamasi dan pasca-tambang. “Moratorium langkah tepat untuk perbaikan tata kelola minerba yang belum baik di Indonesia,” tegas Askalani.

Carolus Tuah, Direktur Pokja 30 Kalimantan Timur, menyatakan agar aturan tersebut jangan berhenti di moratorium, namun juga penegakan hukum. “KPK perlu dilibatkan.”

Tuah juga meminta Presiden Jokowi serius dan tidak bermain wacana soal moratorium. Menurut dia, buruknya tata kelola minerba di Kalimantan Timur khususnya di Samarinda terlihat dari banyaknya anak yang mati di lubang bekas tambang yang tidak dipulihkan atau reklamasi. “Berwacana moratorium sama saja membuat antrian kematian,” tukasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,