, ,

Gugatan Dikabulkan PTUN, Gubernur DKI Harus Hentikan Reklamasi di Pulau G

Pembangunan reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta, yang dilaksanakan PT Muara Wisesa Samudera, dipastikan harus dihentikan. Hal itu, menyusul keluarnya putusan akhir kasus gugatan nelayan atas Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Reklamasi Pulau.

Putusan tersebut dibacakan langsung oleh majelis hakim yang diketuai Adhi Budhi Sulistyo dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pulogeban, Jakarta Timur, Selasa (31/5/2016).

“Memerintahkan tergugat untuk menunda pelaksanaan keputusan Gubernur Daerah Provinsi Ibu Kota DKI Jakarta Nomor 2.238 Tahun 2014 kepada PT Muara Wisesa Samudra tertanggal 23 Desember 2014 sampai putusan ini berkekuatan hukum tetap,” ujar Adhi di ruang sidang Kartika PTUN DKI Jakarta.

Meski mengabulkan gugatan yang dilayangkan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta yang digawangi Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, namun majelis hakim juga mengabulkan sebagian pembelaan tergugat.

Hakim ketua, mengabulkan sebagian pembelaan tergugat, yakni Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PT Muara Wisesa Samudera, dan menyatakan salah satu penggugat, yakni organisasi Kiara, tidak berbadan hukum. Hakim juga menerima pembelaan Pemprov DKI Jakarta dan PT Muara Wisesa Samudera bahwa gugatan yang diajukan nelayan telah lewat waktu.

Namun, pembelaan yang diterima tersebut hanya sebagian. Selebihnya, majelis hakim menolaknya dengan tegas.

Dengan dikabullkannya gugatan tersebut, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta wajib untuk menunda pembangungunan dan memenuhi prasyarat hukum yang diperlukan. Hal itu, didukung dengan pembacaan pokok perkara yang dikabulkan  majelis hakim.

“Mewajibkan tergugat untuk mencabut keputusan Gubernur Daerah Provinsi Ibu kota DKI Jakarta Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang pemberian izin pelaksanaan reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra,” ujar Adhi.

Selain keputusan tersebut, majelis hakim kemudian memutuskan beban biaya perkara sebesar Rp315.000 dibebankan kepada tergugat dan tergugat intervensi, yakni PT Muara Wisesa Samudra.

Hentikan Reklamasi

Dengan keluarnya putusan dari majelis hakim di PTUN Jakarta, Ketua Bidang Hukum dan Pembelaan Nelayaan KNTI Martin Hadiwinata, meminta kepada Pemprov DKI Jakarta untuk mengentikan segala bentuk pembangunan di Pulau G. Hal itu, karena dasar hukum yang menjadi rujukan mereka tidak sah.

“Kami berharap keputusan ini dapat segera diimplementasikan di lapangan. Kegiatan reklamasi dihentikan, perbaikan lingkungan disegerakan, dan pemulihan sosial ekonomi nelayan di Teluk Jakarta menjadi prioritas,” ungkap dia kepada Mongabay Indonesia.

Menurut Martin, dengan dikabulkannya gugatan, maka Hakim PTUN setuju dengan nelayan bahwa reklamasi Pulau G bertentangan dengan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan tanpa adanya Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Termasuk, karena tidak adanya partisipasi masyarakat dalam hak atas lingkungan yang bersih dan sehat.

“Reklamasi juga memberi dampak buruk kepada arus laut yang mengakibatkan sedimentasi dan pencucian alami perairan teluk yang berdampak buruk kepada ekosistem dan akses nelayan untuk melaut,” ucap dia.

“Kami mendukung perbaikan dan pemulihan Teluk Jakarta dengan pembangunan partisipatif. Kita berharap putusan ini juga memberi inspirasi kepada kepada daerah lain untuk segera menghentikan kegiatan reklamasi di daerahnya, seperti Bali, Makassar, dan lain-lain,” tambah dia.

Sejumlah nelayan menyegel Pulau G, salah satu pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta. Mereka menyegel pulau buatan tersebut karena menolak reklamasi Teluk Jakarta yang merugikan mereka, Foto : Sapariah Saturi
Sejumlah nelayan menyegel Pulau G, salah satu pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta. Mereka menyegel pulau buatan tersebut karena menolak reklamasi Teluk Jakarta yang merugikan mereka, Foto : Sapariah Saturi

Sementara itu, terkait dengan pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang menyatakan akan tetap melanjutkan reklamasi, dinilai sebagai langkah yang salah. Karena, menurut pengacara publik Lembaga bantuan Hukum (LBH) Jakarta Tigor Hutapea, Gubernur seharusnya paham dengan putusan majelis hakim di PTUN.

“Kan keputusan yang dibacakan hakim tadi sudah jelas, maka proses harus dihentikan, kalau masih ada pernyataan bahwa reklamasi akan dilanjutkan, itu namanya melawan perintah putusan hakim, putusan pengadilan,” ucap dia.

Karena sudah ada putusan dari majelis hakim, Tigor mengatakan, apapun langkah yang diambil Gubernur, termasuk jika akan melakukan banding atau kasasi, itu sama sekali tak menghapuskan putusan bahwa reklamasi harus dihentikan.

Terkait dengan pernyataan Gubernur yang menyebut bahwa reklamasi akan berlanjut namun dilakukan oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), menurut Tigor juga itu tidak beralasan karena hingga saat ini tidak ada dasar hukum yang menyebutkan BUMD bisa melaksanakan mega proyek tersebut.

“Pengembangkan bekerja berdasarkan SK yang dikeluarkan oleh pemerinta provinsi kan, ketika pengadilan menyatakan SK tersebut tidak berlaku lagi maka tidak ada dasarnya pengembang menjalankan proyek itu,” pungkas dia.

Apresiasi Hakim Lingkungan

Sedangkan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengapresiasi Putusan PTUN Jakarta Timur dan bisa menjadi preseden yang baik dalam penegakan hukum lingkungan ke depan. “Putusan ini merupakan preseden yang baik. Pertimbangan hakim dalam memutus sudah tepat dan progresif. Patut diapresiasi dan dicontoh oleh hakim-hakim lainnya yang menangani perkara lingkungan hidup,” tegas Direktur ICEL, Henri Subagiyo, di Jakarta, Selasa (31/5/2016).

Henri melihat dalam pertimbangannya hakim menyebutkan bahwa terbitnya izin pelaksanaan reklamasi tidak partisipatif dan transparan yang mana tidak sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Hakim menyatakan bahwa objek gugatan (izin pelaksanaan reklamasi Pulau G) bertentangan dengan ketentuan pasal 31 dan 39 Undang-Undang No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, karena dalam proses penilaian AMDAL, pihak pengembang maupun pemerintah daerah tidak melibatkan masyarakat dan organisasi lingkungan hidup sebagai bagian dari pihak yang menilai AMDAL.

Selain itu, proses penerbitan izin lingkungan dianggap tidak sesuai prosedur karena diterbitkan tanpa mengumumkannya pada media yang mudah diakses oleh masyarakat.

Henri melihat putusan hakim mempertimbangan asas kehati-hatian. Walaupun belum terasa secara langsung dampak lingkungan secara masif, hakim menyatakan kerugian lingkungan hidup perlu diantisipasi sejak dini. Artinya, kerugian yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan hidup tidak dapat dipersamakan dengan kerugian materiil langsung.

Selanjutnya, kata Henri, Izin pelaksanaan reklamasi tidak sesuai dengan prosedur karena tidak didahului dengan perencanaan ruang yaitu Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K). Dengan tidak adanya perencanaan ini, dapat terjadi konflik di wilayah pesisir.

Perencanaan di wilayah pesisir tersebut juga harus didahului dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) supaya pembangunan sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, tidak melebih daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup.

Tidak hanya itu, pertimbangan berupa kerugian yang dialami nelayan merupakan tanda bahwa pertimbangan hakim sejalan dengan prinsip pembanguan berkelanjutan, terutama elemen keadilan sosial. “Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan proyek reklamasi mengakibatkan kerugian berupa hilangnya sumber penghidupan para nelayan,” tegasnya.

ICEL melihat putusan ini semakin menegaskan pentingnya hakim bersertifikasi lingkungan hidup agar melahirkan putusan-putusan yang berkualitas.

“Ketua majelis hakim, Adhi Budhi Sulistyo yang merupakan hakim bersertifikasi lingkungan hidup, membatalkan SK yang dikeluarkan gubernur dengan menggunakan perspektif lingkungan di atas. Ini perlu dicontoh dalam kasus-kasus lingkungan hidup lainnya,” tambah Henri.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,