, ,

Kebijakan Moratorium Sawit dan Tambang Target Keluar Juni, Bagaimana Proses Evaluasi Perizinan?

Pemerintah menargetkan kebijakan moratorium perkebunan sawit dan pertambangan batubara keluar Juni ini.  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sedang mengevaluasi seputar perizinan dari yang baru masuk permohonan sampai izin-izin lama.

Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, aturan moratorium sawit dan tambang tengah digodok KLHK. “Regulasi sedang kita siapkan. Targetnya Juni inilah (selesai),” katanya di Jakarta, Rabu (1/6/16).

Kebijakan yang bakal berbentuk Peraturan Presiden ini, katanya, berdasarkan aturan yang dimiliki KLHK sebelumnya, baik soal, pelepasan kawasan hutan buat perkebunan maupun izin pinjam pakai untuk pertambangan.

Dia mengatakan, evaluasi terhadap data-data sawit dan batubara sedang berjalan. Kebijakan ini, katanya, bukan menghambat ekonomi tetapi mengintensifkan areal yang ada yang belum berfungsi.

Selain itu, katanya, melalui moratorium mendesak pemilik izin turut menyelesaikan persoalan dengan masyarakat sekitar. Dia menjamin, moratorium akan mempertahankan hutan alam terjaga dengan tetap menjadi sumber kehidupan rakyat, lewat pengelolaan berbasis masyarakat.

Evaluasi sawit

San Avri Awang, Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan mengatakan, sebagai lembaga teknis, kala Presiden berencana membuat kebijakan moratorium mesti siap menyediakan data-data. Dalam kaitan pembuatan kebijakan itulah, KLHK melakukan tahap-tahap evaluasi terhadap izin-izin sawit. Pertama, evaluasi permohonan awal buat kebun sawit, kedua, izin pinsip, ketiga, sedang jalankan kewajiban tata batas, keempat, izin-izin yang sudah keluar.

Lubang tambang batubara yang begitu dekat permukiman warga merupakan ancaman serius bagi keselamatan nyawa anak-anak selain kerusakan lingkungan. Foto: Jatam Kaltim

Untuk evaluasi tahap pertama, katanya, sudah ada sekitar 61 permohonan perusahaan kebun sawit seluas 948.000 hektar. Usulan-usulan ini bakal tak lanjut. “Itu orang baru ngajukan. Kalau saya mau bilang tidak, kan boleh juga. Apalagi arah kebijakan jelas,” katanya pekan lalu.

Dia memaparkan, luas kebun sawit di Indonesia, sudah sekitar 11,3 juta hektar dengan kepemilikan lahan terbesar kepada pemilik modal. “Mari tengok lagi, sebenarnya, 4,3 juta hektar rakyat, 6-7 juta hektar punya pengusaha.” Awang memastikan, selama ini pelepasan kawasan hutan paling besar kepada perkebunan sawit.

Dia tak mau memikirkan siapa pemilik kebun, terpenting proses evaluasi terus berjalan. “Cukuplah saya selesaikan, tak perlu tahu punya siapa. Yang penting, kita ingin selamatkan kawasan hutan kita dari upaya-upaya berlebihan. Kita harus baca persoalan keadilan,” ujar dia.

Evaluasi terhadap izin-izin prinsip, katanya, juga sedang berjalan, sementara ditemukan hampir 200.000 hektar. Setelah selesai, disusul evaluasi izin proses tata batas dan izin yang keluar.

Dalam evaluasi tahap empat, Awang menyoroti, luas izin keluar tetapi belum dibuka menjadi kebun (land banking). “Ini dievaluasi, kalau tak dibuat kebun diambil lagi donk. Kalau izin 2011, gak dibuat kebun sampai sekarang, bayar pajak gak tu? Empat tahun dibiarkan. Siapa yang rugi? Negara donk. Rakyat yang rugi,” katanya.

Menurut dia, dalam pembuatan kebijakan termasuk evaluasi ini, semangat pemerintah agar hutan alam terjaga. “Apalagi, persoalan di Papua, Aceh. Itu jadi spesial untuk dilihat. Jangan sampai hutan Papua habis.”

Bukan itu saja. Pemerintah, katanya, tak menginginkan kalau terjadi konglomerasi jilid IV—jilid I,II dan III sudah terjadi dengan penguasaan lahan begitu besar oleh pebisnis. “Jilid IV, artinya, kalau negara ini masih terus terjadi konglomerasi. Saya tak tahu siapa yang harus dievaluasi.”

Indonesia, katanya, kala reformasi punya semangat menghentikan konglomerasi. Saat ini,  waktunya meluruskan perjuangan dan cita-cita reformasi karena indikasi penguasaan lahan dan land banking sudah sangat jelas. “Kalau land banking dan konglomerasi, ada hak rakyat yang seharusnya menikmati karena sudah diberikan izin kepada orang lain dan tak dimanfaatkan. Ini tahap empat yang akan dievaluasi dalam konteks moratorium.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,