,

Satwa Liar Semakin Terancam karena Perdagangan Ilegal

Meski Indonesia dikenal memiliki keragaman hayati paling banyak di dunia, namun kenyataannya banyak pihak yang memanfaatkannya untuk hal negatif. Di antaranya, adalah dengan memperdagangkan satwa dari Indonesia ke berbagai negara. Kondisi itu membuat populasi satwa liar di Tanah Air terus menyusut dalam beberapa tahun terakhir.

World Wildlife Fund (WWF) Indonesia mencatat, di antara satwa liar yang banyak menjadi incaran para pemburu tak bertanggung jawab, adalah Harimau Sumatera, Gajah, Trenggiling, dan Burung Enggang. Akibat terus diburu, satwa-satwa liar tersebut saat ini dinyatakan mendekati hampir kepunahan.

Direktur Konservasi WWF Indonesia Arnold Sitompul, dalam diskusi jelang Hari Lingkungan Hidup se-dunia yang digelar di Jakarta, Kamis (2/6/2016), menyatakan, perburuan terhadap satwa-satwa liar saat ini memang semakin meningkat dan itu berpotensi untuk menambah jumlah satwa yang terancam punah.

“Ini memang fakta yang ada di lapangan. Kita harus bersama-sama menyelamatkan satwa-satwa liar yang sekarang masih ada di alam bebas,” ucap dia.

Dalam pantauan WWF Indonesia, kata Arnold, selama periode Januari hingga April 2016, sedikitnya terdapat 68 kasus penegakkan hukum kejahatan terhadap satwa seperti penyelundupan, penyitaan, dan perdagangan satwa yang dilindungi. Termasuk, di dalamnya adalah satwa seperti harimau sumatera dengan 9 (sembilan) kasus, gajah dengan 2 (dua) kasus, orang utan dengan 4 (empat) kasus, dan penyu dengan 9 (sembilan) kasus.

“Temuan kematian gajah sumatera di Riau dan Aceh selama ini misalnya, ditengarai juga merupakan bagian dari perdagangan satwa liar. Dari beberapa kasus yang berhasil menangkap pelaku kejahatan dan perdagangan satwa liar, vonis yang dijatuhkan kepada pelaku masih belum setimpal,” jelas dia.

Gading gajah yang disita dari pelaku di Riau beberapa waktu lalu. Foto: WWF
Gading gajah yang disita dari pelaku di Riau beberapa waktu lalu. Foto: WWF

Saat ini, Arnold menjelaskan, bisnis perdagangan satwa liar menjadi bisnis paling menarik di dunia dan menempati kelompok lima besar perdagangan dunia. Salah satu buktinya, omzet perdagangan satwa liar di dunia dalam setahun bisa mencapai USD10 miliar atau ekuivalen Rp136 triliun.

“Yang mengkhawatirkan, dari transaksi di dunia tersebut, Indonesia ditargetkan menjadi buruan utama sebagai produsen satwa liar. Artinya, satwa-satwa yang diperdagangkan di dunia itu, sebagian besar bisa saja dari Indonesia,” tutur dia.

Revisi UU Konrsevasi

Karena terus meningkat aktivitas perdagangan satwa ilegal, Arnold Sitompul meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk segera merevisi Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Revisi tersebut mendesak dilakukan, karena saat ini ada satwa yang dinyatatakan hampir punah belum dilindungi Undang-Undang.

“Sekarang ini, tekanan untuk penyelamatan satwa liar semakin tinggi karena memang sudah semakin turun populasinya. Makanya kami berterima kasih kepada Presiden Joko Widodo yang sudah mencanangkan penyelamatan tumbuhan dan satwa liar di Kepulauan Seribu,” ucap dia.

Barang bukti  berupa ratusan enggang gading dan organ tubuh satwa dilindungi lain diamankan dari rumah pedagang satwa ilegal di Nanga Pinoh, Melawi, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal
Barang bukti berupa ratusan enggang gading dan organ tubuh satwa dilindungi lain diamankan dari rumah pedagang satwa ilegal di Nanga Pinoh, Melawi, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal

Menurut Arnlod, selain sudah berusia 26 tahun, UU tersebut juga dinilai sudah kadaluarsa karena sudah bisa lagi mengakomodir perlindungan satwa liar di Indonesia. Akibatnya, satwa liar seperti orang utan dan rangkong gading yang sudah terancam punah, malah belum ada dalam UU tersebut.

“Namun, tidak hanya dari revisi UU, penyelamatan satwa liar juga harus mendapat dukungan penuh dari masyarakat Indonesia. Jadi, semua pihak bekerja secara bersamaan dengan kontinu. Karena, jika hanya mengandalkan Pemerintah atau LSM seperti WWF saja, itu tidak akan bisa,” tandas dia.

“Masyarakat harus bergerak aktif, jika ada yang mencurigakan atau tahu ada satwa liar diperjualbelikan, segera laporkan,” pungkas dia.

Sementara itu Peneliti Indonesia Center for Environmental Law ( ICEL) Raynaldo Sembiring mengungkapkan, revisi UU memang mendesak untuk segera dilakukan, mengingat saat ini transaksi perdagangan satwa liar ilegal semakin meningkat. Jika tidak diperbarui regulasinya, maka transaksi akan semakin tak terbendung lagi.

“Saat ini, transaksi perdagangan satwa liar sudah tidak hanya dilakukan lewat cara konvensional seperti bertemu langsung, tapi juga sudah melalui internet. Itu sangat berbahaya, karena internet sudah menangkau seluruh pelosok di dunia ini,” sebut dia.

Reynaldo mengatakan, di antara revisi UU yang harus dilakukan, adalah berkaitan dengan sanksi pidana untuk pelaku perdagangan satwa liar secara ilegal. Menurut dia, dengan nominal maksimal Rp100 juta untuk denda pelaku, itu sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang lagi.

“Ya bayangkan saja, berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk proses konservasi. Lebih dari Rp100 juta tentunya. Makanya, sanksi pidana di UU yang ada sudah tidak menyesuaikan perkembangan zaman lagi,”ungkap dia.

Anggota Komisi VII DPR RI Aryo Djojohadikusumo mengatakan, revisi UU tentang Konservasi tersebut harus menjadi prioritas. Hal itu, karena saat ini jumlah spesies yang dilindungi karena terancam punah bertambah banyak, sehingga penyelamatan dan perlindungannya perlu lebih serius dilakukan.

“Tapi kalau UU sudah benar, dana operasional aparat untuk menyelesaikan kasus perdagangan satwa liar juga harusnya naik, karena kalau tidak bisa dibayangkan bagaimana bisa optimal menyelesaikan kasus terlebih yang lintas provinsi yang butuh dana lebih besar,” ucap dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
,