, ,

Malangnya Nasib Orang Rimba di Kebun Sawit Perusahaan Ternama Ini…

Kabar duka dialami Orang Rimba terjadi tepat Hari Peringatan Kelahiran Pancasila,  1 Juni 2016.  Dua Orang Rimba, luka-luka oleh sekuriti perusahaan perkebunan PT Bahana Karya Semesta (KBS), anak usaha Sinar Mas. Bukan itu saja, motor, rumah terpal sampai bungkusan pakaian Orang Rimbapun dibakar. Masalah ini berujung ‘perdamaian’ berisi penyelesaian lewat adat antara lain, Orang Rimba tak boleh lagi tinggal di kebun sawit dan barang-barang yang dibakar diganti.

Hari itu, sekelompok Orang Rimba pembuat sudung (rumah beratap terpal  tanda dinding berlantai kayu-kayu kecil disusun rapat) di Divisi IV perkebunan PT Bahana Karya Semestra (BKS)  mendapat teguran aparat pengamanan (satpam) perusahaan. Orang rimba yang bermukim di situ diminta meninggalkan lokasi dengan alasan akan ada demo karyawan perusahaan.  Mereka adalah lima bubung (keluarga) Orang Rimba, kelompok Melimum dan lima keluarga kelompok Menyurau.

Sebelumnya, kelompok Orang Rimba terbiasa tinggal di sana—di bawah pohon-pohon sawit– sejak kawasan itu berhutan sampai menjadi perkebunan sawit. Mencari brondolan sawit jatuh dan dijual ke perusahaan atau berburu babi menjadi sumber pendapatan Orang Rimba.

Persoalan muncul kala satpam perusahaan menyuruh Orang Rimba pergi. Orang Rimba patuh mau pergi. Keesokan hari mereka bersiap pergi, mengemas barang-barang ke ambung. Sebagian sudah menaikkan sebagian barang ke angkutan yang mereka miliki, berupa sepeda motor dan mobil carry pick up.

Ketika mengemas barang ini kembali satpam datang. Nenun, salah satu Orang Rimba bertanya, “apa alasan perusahaan menyuruh mereka pergi?”

Pertanyaan ini wajar Nenun lontarkan, karena sebelum dibeli Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMART) dan berganti nama menjadi BKS–ketika masih PT Era Mitra Agro Lestari (EMAL), Bakri Plantation–, Orang Rimba biasa bermukim di bawah kebun sawit.

Rupanya, pertanyaan Nenun membuat amarah satpam perusahaan, bernama Anas. Diapun langsung melayangkan bogem ke tubuh Nenun. Perempuan dan anak-anak di lokasi langsung berteriak-teriak. Mereka melarikan diri.  Karyawan perusahaan yang merupakan warga desa setempat makin banyak datang.

Saat bersamaan datang Besaring,Oorang Rimba lain. Saat itu Besaring memegang kecepek, senjata rakitan biasa digunakan Orang Rimba berburu. Anas berupaya merebut kecepek Besaring, Besaring kukuh mempertahankan.  Akibatnya Besaring menjadi sasaran amukan. Diapun menderita luka tusukan di punggung dan luka di kepala karena dipukul pelepah sawit.  Besaring sempat menjadi bulan-bulanan Anas dibantu karyawan lain.

Tak berhenti di situ, barang-barang Orang Rimba di lokasi habis dibakar karyawan perusahaan. Ada satu mobil carry pick up, lima sepeda motor, 10 pembungkus kain masing-masing berisi 150 helai kain panjang harta paling berharga Orang rimba, ikut ludes. Juga sudung dan barang-barang lain. Tak ada tersisa.

Besaring, Orang Rimba korban luka-luka yang dirawat di Rumah Sakit Daerah Sarolangun. Foto: KKI Warsi
Besaring, Orang Rimba korban luka-luka yang dirawat di Rumah Sakit Daerah Sarolangun. Foto: KKI Warsi

 

Penyelesaian adat terkesan dipaksakan

Orang Rimba yang ketakutan melarikan diri pasca keributan, namun tiga tertahan di lokasi yaitu Nenun, Besaring dan Nengkaran (adik Besaring).

Karena ketakutan, Menti, tetua adat Orang Rimba melapor ke Polsek Air Hitam Sarolangun. Tak berselang lama, aparat keamanan Polsek Air Hitam dan Polres Sarolangun datang. Mengamankan lokasi, memasang  garis polisi dan mengangkut motor dan mobil yang menjadi bangkai.

Ketiga Orang Rimba juga dibawa ke Polres dan ke rumah sakit untuk mengobati luka-luka.

Malamnya, perdamaian langsung dilakukan. Dalam berita acara perdamaian terdapat sejumlah poin keputusan, yaitu:

  1. PT BKS sepakat menyelesaikan permasalahan melalui perdamaian adat, dan tak melalui hukum formal.
  2. PT BKS akan memberi biaya pengobatan korban Rp10 juta yang diserahkan kepada Jenang dan mengganti barang dibakar berupa satu mobil carry pick up, lima sepeda motor  dan 1.000 lembar kain serta 500 lembar kain sebagai denda bangun.
  3. Setelah kesepakatan ditandatangani, warga SAD dalam hal ini Orang Rimba dilarang mengambil brondolan sawit perusahaan dan membangun pemukiman di perkebunan untuk selamanya.

Kesepakatan damai ditandatangani sejumlah pihak yaitu Syarifuddin B Noor dari perusahaan, M Yunus, warga Desa Baru Kecamatan Air Hitam, mengaku jenang dari empat tumenggung Orang Rimba yaitu Nyenong, Ngirang, Menyurau dan Ngamal.

Perdamaian dinilai Orang Rimba sebagai sesuatu yang dipaksakan. Mereka tak terima keputusan ini. Salah seorang Kelompok Terab, Penghulu menyebutkan, mereka tak merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan karena diwakilkan Jenang saja. Jenang merupakan perantara untuk menyelesaikan masalah antara Orang Rimba dan orang luar komunitas.

“Kami tak setuju dengan isi perdamain itu. Kami hanya diwakilkan Jenang. Apalagi perusahaan melarang kami tinggal di sana dan mengambil brondol. Sudah dari dulu kami ada di sana,sebelum ado perusahaan,” katanya.

Perkebunan sawit, begitu masif hingga banyak mengambil ruang hidup masyarakat, seperti terjadi di Jambi. Ruang hidup Orang Rimba, dulu di hutan, kini terpaksa di kebun sawit dan terusir pula…Foto: Sapariah Saturi

 

Terabaikan dan tak menyentuh akar masalah

Menyikapi kejadian ini, Warsi menilai keberpihakan dan perlindungan hak-hak orang Rimba sangat minim dan cenderung terabaikan. Bahkan, ada upaya mengaburkan kronologis dan menjadikan Orang Rimba sebagai pihak layak dipersalahkan.

“Dalam kejadian ini, tidak benar Orang Rimba menodongkan kecepek ke karyawan perusahaan, justru Orang Rimba menjadi korban arogansi perusahaan melalui karyawannya,”sebut Rudi Syaf Manager Komunikasi KKI Warsi.

Orang Rimba, katanya, kelompok minoritas yang menumpang di tanah nenek moyang mereka sendiri. “Orang Rimba jauh lebih dahulu di kawasan itu, jauh sebelum perusahaan hadir, kenapa kini dengan sangat mudah perusahaan mengusir Orang Rimba?”

Apalagi dalam setiap persoalan muncul, penyelesaian cenderung merugikan Orang Rimba. “Lihat saja bagaimana cara-cara kekerasan oleh perusahaan ke Orang Rimba, memukuli, menusuk, kenapa bisa dilakukan dengan sangat mudah pada kelompok ini? Di mana peran negara melindungi setiap hak warga?”

Tak hanya itu, cara-cara perusahaan menggunakan warga sekitar sebagai karyawan dan terlibat dalam pertikaian dengan Orang Rimba bisa memicu konflik horizontal. “Kalau seperti ini yang akan dirugikan Orang Rimba dan masyarakat desa, harusnya para pihak bisa melihat lebih dalam,” katanya.

Ketika perjanjian damai disepakati, katanya, keberpihakan pada Orang Rimba sangat lemah, mereka cenderung dirugikan. Contoh, proses perjanjian damai sangat cepat ditandatangani. Uniknya,  tak satupun Orang Rimba hadir dalam perdamaian. Orang Rimba hanya diantar surat perdamaian pada pagi hari.

“Ini  seperti psywar ke Orang Rimba, dengan sangat cepat melakukan perdamaian, tentu besar kemungkinan di bawah tekanan. Kesepakatan dibuat merugikan Orang Rimba. Orang Rimba tak bisa lagi menumpang di tanah mereka sendiri,” kata Rudi.

Dia mengimbau para pihak bisa melihat lebih dalam persoalan ini. Masalah Orang Timba tak bisa selesai hanya dengan kesepakatan damai seperti itu.

Robert  Aritonang Manager Program Warsi mengatakan, Orang Rimba perlu tempat hidup dan berpenghidupan. Mengusir orang rimba dari satu lokasi ke lokasi lain, katanya, hanya memindahkan persoalan mereka.

Selama keberadaan mereka tak diakui, katanya, persoalan akan selalu datang.  “Ingat sebagian besar ruang jelajah Orang Rimba habis terbagi dalam konsesi. Nyaris tersisa hanya Bukit Dua Belas. Orang Rimba tak mungkin ditumpuk di hutan Bukit Dua Belas, masing-masing kelompok mempunyai teritori dan wilayah jelajah masing-masing,” katanya.

Dia mengatakan, dalam beberapa tahun belakangan konflik terbuka melibatkan Orang Rimba makin sering terjadi. Desember 2015, bentrok di Merangin, sebelumnya Tebo. Konflik-konflik ini makin timbul karena tak ada penyelesaian mendasar.

Tak hanya di BKS , katanya, kebun sawit  Sinar Mas lain, seperti PT Kresna Duta Agro juga menyimpan persoalan sama. Di perusahaan ini, ada sejumlah kelompok Orang Rimba. “Keberadaan mereka tak pernah diakui bahkan dianggap pengganggu,” katanya.

Dia mengatakan, seharusnya perusahaan tergabung dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), pengakuan terhadap masyarakat adat dan minoritas menjadi lebih baik.

“Kami berharap persoalan ini menjadi perhatian semua pihak dan bisa mengambil langkah-langkah penyelesaian menyeluruh, menyentuh akar persoalan.”

Pada Selasa (7/6/16), perusahaan memberikan pernyataan menyayangkan peristiwa  yang melibatkan Orang Rimba dan satpam perusahaan BKS. “Perusahaan prihatin mendalam dan tak mentolerir segala bentuk kekerasan dalam menangani permasalahan apapun dimanapun perusahaan beroperasi,” kata Tony, Direktur PT BKS Selasa (7/6/16).

Peristiwa ini, katanya, bertentangan dengan kebijakan sosial perusahaan. Peristiwa ini, katanya, segera ditindaklanjuti guna mencegah terulang kembali.

Dia mengatakan, perwakilan perusahaan telah bertemu dengan berbagai pihak dari tokoh masyarakat adat dan kepolisian. Dalam pertemuan disepakati penyelesaian permasalahan sesuai adat.

Perusahaan, katanya, sedang menjajaki alternatif bantuan yang tepat untuk masyarakat adat di Sarolangun bekerja sama dengan pemangku kepentingan lain.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,