Pemerintah sedang merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berbagai organisasi masyarakat sipil tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai rancangan revisi lemah, terutama dalam pidana lingkungan hidup dan pelayaran.
Dalam revisi ini, pembahasan identifikasi masalah sudah dilakukan tetapi terhenti. RKUHP buku-I kembali akan dibahas di parlemen, lalu berlanjut ke pembahasan buku-II. Penitia kerja (Panja) Komisi III DPR-RI sedang membentuk panja membahas daftar inventaris masalah (DIM) buku-I. Meski demikian, rumusan yang ada dinilai sangat lemah.
Aliansi terdiri dari Elsam, Kesatuan Nelayan Tani Indonesia (KNTI) dan Public Interest Lawyers Network (Pilnet) ini meyoroti dua isu krusial, soal tindak pidana lingkungan hidup dan pelayaran.
Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Andi Muttaqien, Jumat (3/6/16) mengatakan, banyak langkah mundur tindak pidana lingkungan hidup. “Definisi tindak pidana untuk pencemaran dan kerusakan lingkungan mengalami kesulitan dalam pembuktian,” katanya. Begitu juga pidana pelayanan, katanya, ruang lingkup dan definisi penting tak tercantum.
Andi menyebutkan, dalam pembahasan revisi ditangani Kementerian Hukum dan HAM. Seharusnya kementerian lain diikutisertakan seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Pidana lingkungan pro korporasi
Muhnur Satyaprabu, (PIL-Net) menyebutkan, RKUHP sulit terimplementasi terutama terkait definisi dan subyek. Pasalnya, telah diatur dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Tindak pidana lingkungan hidup, katanya, perlakuan khusus dan kejahatan luar biasa. Ia tak dapat berdiri sendiri, perlu fakta termasuk pada kejahatan sumber daya alam, seperti kehutanan, pertambangan, perkebunan, perikanan, kelautan, keragaman hayati dan lain-lain.
Terkait subyek, RUU KUHP belum mengatur lingkungan hidup sebagai subyek yang harus dilindungi. Jenis sanksi khusus dalam tindak pidana seperti pemulihan fungsi lingkungan belum tercantum dan memiliki kelemahan.
Catatan Walhi, kelemahan menonjol dalam pidana denda dan pengganti. Pertama, selama ini ada beberapa putusan menyertakan pidana denda dalam pidana lingkungan hingga berpotensi tumpang tindih aturan hukum. Kedua, pidana denda di RKUHP cenderung lebih ringan daripada UU PPLH.
Ketiga, pidana denda membutuhkan peraturan pelaksana (peraturan pemerintah) ini memperlemah hukuman pidana denda. Keempat, sistem mencicil/ mengangsur dalam pidana denda memberikan ruang perdebatan tentang kekayaan korporasi (mampu atau tidak).
Kelima, pidana pengganti korporasi jika tak mampu membayar denda dengan pencabutan izin usaha. Padahal, semangat penghukuman pelaku korporasi dengan mempidanakan, denda sekaligus pencabutan izin usaha sekaligus.
”RKUHP sulit menerapkan pertanggungjawaban korporasi. Hanya kena fungsional saja, yaitu direksi,” katanya. Pada Pasal 48, korporasi merupakan subyek tindak pidana.
Pidana pelayaran lemah
Sedangkan kelemahan pidana pelayaran dalam RKUHP, kata Andi, pertama, terkait zonasi. Banyak konflik masyarakat terkait daerah zonasi, antara KLHK dan KKP pun masih rumit dalam penentuan zonasi pemanfaatan, konservasi dan lain-lain. ”Dalam RKUHP belum tercantum. Padahal masyarakat seringkali menjadi korban ketidakjelasan wilayah perairan pesisir.”
Kedua, buku-I tak ada penjelasan mengenai wilayah laut Indonesia. Sebelumnya, dalam KUHP merujuk laut teritorial dan lingkungan-lingkungan maritim. Padahal, perlu ada rujukan peraturan-peraturan terkait, seperti UU Kelautan yang menyatakan laut Indonesia terdiri perairan dan wilayah yurisdiksi.
”Terjadi kemunduran sangat signifikan. Tindak pidana terbatas sektor pelayaran,” kata Marthin Hadiwinata, Ketua Bidang Hukum dan Pembelaan Nelayan KNTI. Pasal RKUHP juga tak memuat pengaturan terkait UU Perikanan dalam kegiatan perikanan.
Begitu juga terkait subyek RKHUP memiliki perbedaan. ”Kalau di UU Perikanan ada subyek nelayan kecil berbeda dengan pelaku lain.” Dalam RKUHP terbagi dalam setiap orang (individu), nahkoda, awak kapal, dan penumpang kapal Indonesia. Tak termasuk sektor khusus seperti pemilik kapal, pelaku usaha kecil (nelayan dan pembudidaya kecil), kapal berbendera asing , dan pejabat yang memiliki kewenangan menerbitkan perizinan.
Jadi, katanya, RKUHP jelas tak mengakomodir kejahatan menyeluruh dan adil. Termasuk pengaturan khusus dalam alat tangkap dan IUU Fishing.
Rekomendasi
Untuk itu, Aliansi merekomendasikan beberapa hal, antara lain perlu ada wilayah laut yang menegaskan hak kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia dalam penegakan hukum pidana (terbagi wilayah perairan dan yuridiski).
Rekomendais lain, perlu perbandingan antara norma RKUHP dengan UU sektor kelautan dan kemaritiman agar karakteristik khusus UU sektoral tak terabaikan. Juga perlu mendorong aturan terkait penangkapan ikan ilegal dalam RKUHP. Untuk pidana lingkungan hidup, aliansi mengusulkan RKUHP menghilangkan semua pasal dan mengadopsi UUPPLH.