, ,

Kala Konflik Lahan SAD 113 dengan Asiatic Persada Berlarut, Mengapa?

Matahari terik menyengat kulit kala saya tiba di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Batanghari, Jambi. Perjalanan sekitar tiga jam dari Kota Jambi. Di Desa Bungku, Abas Subuk, sudah menunggu dalam pondok kecil di samping rumah. Abas, adalah Ketua Komunitas Suku Anak Dalam (SDA) Kelompok 113.

Pembentukan Kelompok SAD 113 berawal dari sekitar 113 orang SAD Batin Sembilan orasi di Gedung DPRD Batanghari. Sejak 2003, masyarakat berjuang menuntut pengembalian wilayah mereka yang dikuasai PT Asiatic Persada.

Hingga kini, kata Abas, upaya mereka tak membuahkan hasil. Janji-janji terus bergulir, upaya mediasi berjalan. Sayangnya, tak membuat mereka mendapatkan hak kelola lahan.

Abas menceritakan asal mula masalah muncul. Konflik berawal dari pencadangan tanah 40.000 hektar—sesuai SK Gubernur Jambi tahun 1985–untuk perkebunan sawit PT. Bangun Desa Utama (BDU) di Batanghari. Tanah itu masih kawasan hutan, tempat hidup SAD Kelompok 113 terdiri atas tiga dusun, Tanah Menang, Pinang Tinggi, Padang Salak.

Pemukiman ini, katanya, ada sejak masa kerajaan zaman Belanda, bahkan Belanda 27 Oktober 1927, 4 September 1930, dan 20 Desember 1940, membuatkan surat keterangan keberadaan dusun (pemukiman warga SAD). Surat itu disertai penyebutan batas. “Ada semua pada peta sejak zaman Belanda,” katanya kepada Mongabay.

SK Gubernur ditindaklanjuti Surat Keputusan Mendagri 1 September 1986 tentang pemberian hak guna usaha (HGU) kepada BDU seluas 20.000 hektar terletak di Kecamatan Muaro Bulian, Batanghari.

Izin HGU sampai 31 Desember 2021. Menindaklanjuti surat persetujuan pencadangan 29 Agustus 1986, dari 1986-1987 Departemen Kehutanan survei mikro sebagai dasar mengeluarkan surat persetujuan pelepasan hutan.

Tahun sama, katanya, Dephut melalui Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan mengeluarkan surat persetujuan pelepasan hutan untuk HGU BDU. Surat ini memiliki lampiran resmi peta mikro. Baik dalam isi surat maupun peta mikro, disebutkan ada tanah warga SAD seluas 3.550 hektar.

Para perempuan Suku Batin Sembilan melepas penat setelah berkebun. Foto: Elviza Diana
Para perempuan Suku Batin Sembilan melepas penat setelah berkebun. Foto: Elviza Diana

Persetujuan pelepasan hutan 27.150 hektar dari 40.000 hektar pengajuan. Rinciannya,  dari 27.150 hektar itu masih berhutan 23.000 hektar, belukar 1.400 hektar, perladangan 2.100 hektar, dan pemukiman penduduk 50 hektar. “Belukar, pemukiman dan peladangan itu milik SAD Batin Sembilan,” kata Abas.

Pada 3 Juli 1992,  Menteri Kehutanan baru menerbitkan SK Pelepasan Kawasan Hutan untuk  BDU. SK pelepasan kawasan hutan untuk HGU tak berarti karena SK HGU BDU terlanjur keluar mendahului SK Menhut. Hingga hak warga SAD yang diakui Menhut tetap masuk HGU. Sampai saat ini tak pernah dilepaskan perusahaan atau keluar dari HGU.

“HGU BDU 20.000 hektar, dilepaskan dari hutan 27.150 hektar, sisa lahan hutan diberikan persetujuan pelepasan 7.150 hektar jadi kebun sawit untuk anak usaha BDU yaitu PT Maju Perkasa Sawit dan PT. Jammer Tulen.”

Lalu, pada 1992, berdasarkan SK Pengesahan dari Menteri Kehakiman secara resmi BDU  berganti nama menjadi Asiatic Persada. Pemilik Asiatic berubah-ubah, mulai dari Asiatic Mas Corporation, CDC (Inggris), Cargill (AS), Wilmar International Plantation. Terakhir dialihkan PT.Agro Mandiri Semesta (AMS) pemilik masih bersaudara dengan pemilik Wilmar.

Upaya penyelesaian konflik tenurial terus berlangsung. Pada 2012,  penyelesaian di bawah tim terpadu Batanghari. Mediasi dan beberapa kesepakatan dihasilkan. Mulai Asiatic wajib mengukur kembali untuk penegasan batas HGU dan batas-batas areal 3.550 hektar sesuai survei mikro Badan Inventarisasi dan Tataguna Hutan Departemen Kehutanan 11 Juli 1987 selambat-lambatnya Mei 2012. Asiatic wajib menyediakan dana,  dan pemerintah Batanghari wajib mengesahkan hasil verifikasi subjek (penduduk Batanghari) dalam bentuk satuan keluarga.

Abas mengatakan, dalam pertemuan di Bukit Terawang Desa Pompa Air, Bajubang, 15 Maret 2012 disepakati akan pengukuran ulang HGU Asiatic. Pertemuan dihadiri Direktur Konflik BPN, Tim PAP DPD, anggota DPD Perwakilan Jambi, BPN Batanghari, Pemkab Batanghari , DPRD Batanghari, Perwakilan Asiatic dan Perwakilan Masyarakat SAD  serta petani.

Parit gajah yang memutuskan akses transportasi masyarakat Batin Sembilan menuju jalan utama. Foto: Elviza Diana
Parit gajah yang memutuskan akses transportasi masyarakat Batin Sembilan menuju jalan utama. Foto: Elviza Diana

 

Solusi konflik salah sasar

Tim Terpadu Batangahari menemukan solusi konflik dengan menyerahkan lahan 2.000 hektar sebagai penyelesaian konflik antara SAD 113 dengan Asiatic. Dua tahun silam , keputusan ini dianggap final menuntaskan konflik berkepanjangan antara SAD 113 dan Asiatic.

Ternyata tak membuat konflik mereda. Kepala Desa Bungku Utut Adianto menyebutkan, pemerintah terburu-buru dalam mengambil tindakan penyelesaian konflik. “Kalau dibilang sudah selesai, penyelesaian seperti apa? Masyarakat yang mana yang memperoleh claim lahan 2.000 hektar? Pemerintah terburu-buru. Ingin cepat cuci tangan dalam penyelesaian konflik menahun ini,” katanya.

Utut tak mengetahui data pembagian lahan 2.000 hektar yang digadang-gadang sebagai solusi penyelesaian konflik itu. “Sebagai kepala desa, saya tak mengetahui pembagian wilayah 2.000 hektar. Tak ada satupun warga kami mendapatkan lahan itu. Begitu juga SAD Kelompok 113.”

Abas juga geram dengan klaim Asiatic dan Lembaga Adat Batanghari (Pemkab Batanghari) bahwa konflik antara SAD dan Asiatic sudah selesai lewat areal pengganti skema kemitraan 2.000 hektar. “Ini tidak benar, pada saat ini para pihak terlibat proses itu sedang disidik Kejaksaan Negeri Muara Bulian karena menerima suap dan dana gratifikasi Asiatic,” katanya.

Kejaksaan Negeri Muara Bulian menetapkan tiga tersangka terkait gratifkasi Asiatic untuk dana saving ala kemitraaan warga SAD lahan 2.0000 hektar itu. Ketiga tersangka ini oknum Tim Terpadu Batanghari yaitu, Ketua Lembaga Adat Batanghari,  Fathaddin Abdi, Kabag Hukum Setda Batanghari Juliando dan Mantan Asisten I Setda Batanghari Muti Saari.

Dana Saving SAD 2.000 hektar pada Asiatic terkumpul Rp13 miliar, dikelola  Koperasi Tuah Bersatu dan Koperasi Berkah Bersatu. Dari dana itu, oknum Timdu menerima gratifikasi dari Asiatic Rp1,11 miliar. Uang dikucurkan oleh Asiatic diduga ucapan terima kasih dari perusahaan karena konflik SAD selesai.

Perusahaan bersikukuh, tak mau ambil pusing apakah yang mendapatkan lahan itu Kelompok SAD 113 atau bukan. Mereka menyebutkan, upaya penyelesaian sepenuhnya ditangani Tim Terpadu Batanghari dengan skema 2.000 hektar.

Humas Asiatic Ali Basrin menegaskan, sudah menandatangani penolakan penyelesaian konflik dengan skema 3.550 hektar seperti diinginkan masyarakat. “Terkait upaya penyelesaian konflik kami sudah menyerahkan kepada Timdu Batanghari. Kami menyetujui skema 2.000 hektar. Jika ada lagi mengatasnamakan masyarakat adat meminta klaim 3.550 hektar, kami pikir hanya oknum mengatasnamakan masyarakat SAD,” katanya.

Terkait tepat sasaran atau tidak lahan yang menjadi skema penyelesaian konflik, kata Ali, persoalan itu bukan wewenang perusahaan. “Kalau masalah penerima, kami sepenuhnya menyerahkan timdu juga termasuk di dalamnya Lembaga Adat Batanghari untuk mendata. Perusahaan tentu tak mempunyai kapasitas dalam bidang itu.”

 

Karet yang tersisa ini menjadi tumpuan masyarakat Batin Sembilan yang masih bertahan di areal perusahaan. Foto: Elviza Diana
Karet yang tersisa ini menjadi tumpuan masyarakat Batin Sembilan yang masih bertahan di areal perusahaan. Foto: Elviza Diana

Terusir di tanah sendiri

Lelaki itu memakai kaos lusuh. Badan hitam legam sampai terlihat mengkilat tertimpa panas sinar mentari.  Dia baru pulang dari kebun karet. Tampak dia menenteng celurit dan ember berisi cairan putih berbau menyengat. Kebun karet itu hanya berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya.

Dengan kebun karet sekitar 10 hektar, dia dan anggota kelompok menggantungkn hidup. Kutar,  begitu nama laki-laki paruh baya ini. Sudah 54 tahun dia hidup dan tinggal bersama anggota kelompok Adat Batin Bahar di lahan seluas 241 hektar.

Kutar, Ketua Adat Batin Bahar, Desa Bungku, Batanghari. Dia bercerita sebelum ada penggusuran pada 2014, anggota kelompok tersebar mendiami wilayah kerja Asiatic. Saat ini, hanya sekitar 60 keluarga bertahan di tanah mereka. “Sejak 2014, kami sudah dianggap mati oleh perusahaan. Ditambah lagi pembangunan parit gajah, kami terasing dalam pulau sendiri. Tak ada akses keluar dari sini yang cepat kecuali melewati sebuah jembatan kayu dan memutar,” katanya.

Kutar mengenang. Dulu, ada berbagai buah-buahan, jernang dan rotan di wilayah mereka. Semua tergusur perusahaan. Mereka hanya mendapatkan kompensasi Rp75.000 setiap hektar. “ Yang saya ingat banyak tentara membawa senjata. Kebun-kebun kami digusur bahkan ada beberapa pemakaman hilang,” katanya.

Bukan itu saja. Kearoganan perusahaan dengan membangun parit gajah sedalam delapan meter, lebar enam meter, memutus jalan mereka keluar dari areal perusahaan. “Kami dak bisa lagi langsung ke jalan utama, perusahaan buat parit gajah. Kami jalan memutar. Kalau hujan, kami dak bisa bawa getah keluar. Anak-anak mau sekolah juga sulit.”

Dengan mata setengah berkaca-kaca, Kutar berharap keadilan pemerintah. Dia meminta, pemerintah bisa tegak pada kebenaran, hingga mereka tak lagi terusir di tanah sendiri. Atas keberadaan kelompok Kutar, perusahaan menjanjikan pelepasan kawasan pada 2021, menunggu perpanjangan izin HGU Asiatic.

“Kalau Pak Kutar dan kelompok masih ada di dalam, kami tak akan mengganggu mereka. Mereka bisa tinggal dan mencari penghidupan di kawasan yang mereka tempati. Kita akan pelepasan kawasan pada 2021, menunggu perpanjangan izin,” ucap Ali Basrin.

 

Jembatan penghubung, merupakan satu-satunya akses keluar bagi masyarakat Batin Sembilan yang masih bertahan di lahan mereka yang sekarang masuk kawasan perusahaan. Foto: Elviza Diana
Jembatan penghubung, merupakan satu-satunya akses keluar bagi masyarakat Batin Sembilan yang masih bertahan di lahan mereka yang sekarang masuk kawasan perusahaan. Foto: Elviza Diana

 

Pemerintah jangan lepas tangan

Berlarutnya konflik antara Asiatic dan masyarakat adat SDA Kelompok SAD 113 membuat Andiko Sutan Mancahyo, Direktur AsM Law Office juga Ketua Dewan Kehutanan Nasional,  angkat bicara.

Andiko mengatakan, pemerintah harus hadir dalam menegakkan aturan. Menganalisa dari tarik ulur antara BPN pusat dan daerah juga menunggu kesepakatan antara Asiatic dan SAD 113 membuat penyelesaian konflik lamban. “Terkait HGU, BPN semestinya membuat keputusan bukan menyerahkan lagi agar Asiatik bersepakat dengan masyarakat. Kalau terkait kerjasama kemitraan, baru Asiatic berunding dengan masyarakat,” katanya.

Dia melihat, ada indikasi BPN menghindar. Seharusnya mereka segera merevisi dan mengukur ulang HGU secara hukum. “Jika 2.000 hektar yang diamini sebagai upaya penyelesaian konflik tak sampai ke masyarakat yang berhak menerima, bisa penegakan hukum. Tangkap calo-calo yang bermain di pusaran konflik ini.”

Dalam menyelesaikan konflik ini, BPN Jambi mengaku sudah tahapan mediasi tiga kali antara perusahaan dan masyarakat.

Humas BPN Jambi Anthony Tarigan menyebutkan, BPN hanya fasilitator. Penyelesaian berada di kedua pihak yang berkonflik. “Kita tak bisa memaksakan. Kita hanya fasilitator dan proses mediasi sudah tiga kali. Kita sudah melaporkan upaya mediasi ke pusat.” BPN daerah, katanya, masih menunggu keputusan pusat.

 

 

Beberapa tanaman hutan dan buah-buatn seperti durian yang masih tersisa di perladangan Suku Batin Sembilan. Foto: Elviza Diana
Beberapa tanaman hutan dan buah-buatn seperti durian yang masih tersisa di perladangan Suku Batin Sembilan. Foto: Elviza Diana
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,