,

Perihal Rotan? Jusupta Tarigan Memang Pakarnya

Hasil hutan kayu (HHK) pada ekosistem hutan hanya 10 persen. Sisanya yang 90 persen adalah hasil hutan bukan kayu (HHBK). Kendati masa HHK telah lama berakhir, namun upaya pemerintah membangun rezim HHBK untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat “gregetnya” kurang terdengar.

Prihatin dengan kondisi tersebut, Jusupta Tarigan memilih berjuang membangun rezim HHBK melalui Non Timber Forest Products – Exchange Programme Indonesia (NTFP-EP Indonesia). “Cukuplah, rezim kayu sudah berakhir. Waktunya HHBK,” kata Direktur Eksekutif NTFP-EP Indonesia ini, di Rejang Lebong, Bengkulu, penghujung Mei 2016.

Jusupta di Rejang Lebong menjadi fasilitator Pelatihan Persiapan Membangun Usaha Berbasis Masyarakat yang diikuti 20 petani dari 5 Gabungan Kelompok Tani pemegang izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHK) dengan luas 1.486,37 hektare. Para petani disiapkan untuk membangun dan mengelola usaha yang memberi nilai tambah terhadap HHBK yang dimanfaatkan.

Lelaki berdarah Batak ini mulai mendalami HHBK sewaktu melakukan penelitian di Kalimantan tahun 2000. Dia menyaksikan hampir semua sendi kehidupan masyarakat Dayak berhubungan dengan HHBK. Seperti makanan, pendapatan, pakaian, perabot rumah tangga, obat-obatan, simbol dan ritual adat. “Betapa pentingnya HHBK bagi kehidupan masyarakat Dayak,” kata Jusupta.

Pembatas buku yang dirangkai dari rotan. Foto: akun Facebook Jusupta Tarigan
Pembatas buku yang dirangkai dari rotan. Foto: akun Facebook Jusupta Tarigan

Memang, sambung alumni Institut Pertanian Bogor ini, upaya membangun rezim HHBK bukan perkara mudah. Banyak kendala dan tantangan. Baik kebijakan, sumber daya manusia, data HHBK yang belum terverifikasi, teknologi pendukung belum optimal, dan jaringan pasar belum maksimal. Misalnya, rotan.

“Padahal, membicarakan HHBK di Indonesia, tidak akan lepas dari rotan. Etalase HHBK Indonesia, ya rotan,” ujar pria yang pernah bekerja di Center For International Forestry Research (CIFOR) 1998 – 2004 dan International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) 2005 – 2012.

Indonesia pemasok 85 persen rotan dunia dan sekitar 5 juta jiwa penduduk Indonesia memperoleh pendapatan dari rotan. Dari 600-an jenis rotan dunia, sekitar 300-an ada di Indonesia. Dan dari 300-an spesies itu, belum 100 spesies yang dikomersialkan.

“Dengan kondisi tersebut, mestinya Indonesia menjadi negara yang paling berpengaruh pada industri rotan dunia. Paling tidak, Indonesia bisa mencontoh Brasil yang mampu mempengaruhi harga kopi dunia,” ujar Business Manager Borneo Chic, bisnis yang dibangun oleh NTFP-EP Indonesia.

Jusupta Tarigan mengenalkan cara menentukan HHBK prioritas kepada petani di Rejang Lebong, Bengkulu. Foto: Dedek Hendry
Jusupta Tarigan mengenalkan cara menentukan HHBK prioritas kepada petani di Rejang Lebong, Bengkulu. Foto: Dedek Hendry

Sertifikasi Rotan

Ada 7 aturan pemerintah yang berdampak positif dan negatif bagi industri rotan di hulu dan hilir. Tahun 1979, Menteri Perdagangan dan Koperasi mengeluarkan SK Nomor: 492/KP/VII/79 yang melarang ekspor rotan bulat dalam bentuk asal. Setelah berjalan 7 tahun, Menteri Perdagangan mengeluarkan SK Nomor: 274/KP/X/1986 yang melarang ekspor bahan baku rotan dalam segala bentuk: rotan bulat dan setengah jadi.

Pada 1998, Menteri Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan SK Nomor: 440/MPP/KP/9/1998 yang membebaskan ekspor segala bentuk rotan bulat dan setengah jadi. Enam tahun kemudian, Menteri Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan SK Nomor: 355/MPP/Kep/5/2004 yang melarang ekspor rotan bulat dari hutan alam.

Lantas, pada 2005, Menteri Perdagangan mengeluarkan SK Nomor 12/M-DAG/PER/6/2005 yang membolehkan ekspor rotan asalan dan rotan setengah jadi. Pada 2009, Menteri Perdagangan mengeluarkan SK Nomor:  36/M-DAG/PER/8/2009 yang memperketat ekspor rotan asalan dan setengah jadi.

2011, Menteri Perdagangan mengeluarkan SK Nomor: 35/M-DAG/PER/11/2011 yang melarang ekspor rotan mentah dan setengah jadi. “Larangan ekspor ini dilandasi kekhawatiran rotan akan habis, di sisi lain ada keinginan mendorong industri rotan dalam negeri. Namun, dampaknya negatif bagi industri rotan dan petani.

“Banyak pelaku industri rotan setengah jadi tutup, dan harga rotan di tingkat petani jatuh. Rotan mulai ditinggalkan. Tidak ada penambahan kebun, sebaliknya banyak kebun yang dikonversi menjadi karet dan sawit karena rotan dianggap tidak menjanjikan secara ekonomi. Terjadi alih mata pencaharian,” terangnya.

Enggan rotan kian ditinggalkan, Jusupta bersama koleganya berupaya menemukan solusi dari hulu hingga hilir. Pilihannya adalah sertifikasi berskema Participatory Guarantee System (PGS) atau sistem penjaminan partisipatif antara pihak pertama (petani) dan kedua (pembeli). Selain untuk menjamin pemanenan rotan tidak bersifat eksploitatif, skema PGS dipilih untuk memberikan nilai tambah dan menembus ceruk pasar baru.

“Skema PGS mulai diinisiasi 2011 di Kalimantan dan 2014 di Sulawesi. Bila di Kalimantan untuk rotan yang ditanam, di Sulawesi untuk rotan alam. Dampaknya signifikan. Misalnya di Sulawesi, bila sebelumnya harga rotan yang dinikmati petani adalah Rp900 per kilogram, kini paling rendah Rp1.400 per kilogram. Terjadi kenaikan harga sebesar Rp500 yang dinikmati oleh petani rotan,” kata Ketua Dewan Rotan Lestari Nasional ini.

Sertifikasi rotan berskema PGS yang dikenal dengan Sertifikasi Rotan Lestari (Roles) bisa dikembangkan untuk komoditi HHBK lainnya. Seperti halnya HHBK yang dimanfaatkan oleh 721 petani yang menjadi anggota 5 Gabungan Kelompok Petani pemegang IUPHKm di Rejang Lebong. “Dan memang, saya berharap sertifikasi berskema PGS bisa diduplikasi ke komoditi HHBK lainnya. Rotan sebagai permulaan,” papar Jusupta.

Jusupta Tarigan, untuk urusan rotan dia memang ahlinya. Foto: akun Facebook Jusupta Tarigan/Andy Arnold Manalu
Jusupta Tarigan, untuk urusan rotan dia memang ahlinya. Foto: akun Facebook Jusupta Tarigan/Andy Arnold Manalu
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,