Impor Produk Perikanan Dibebaskan, Tapi Sangat Terbatas

Meski menuai kontroversi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan bahwa kebijakan impor produk perikanan atau Perizinan Pemasukan (Impor) Hasil Perikanan (IPHP) bersifat terbatas. Kebijakan yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan itu bahkan memastikan bahwa itu diawasi dengan sangat ketat.

Hal itu diungkapkan Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP NilantoPerbowo saat memberi keterangan resmi kepada media di Jakarta, Selasa (7/6/2016). Menurut dia, untuk bisa melaksanakan impor, pihaknya akan memperhatikan asas pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan secara ketat. Tujuannya, agar pihaknya bisa melakukan pengendalian izin impor.

Selain faktor tersebut, Nilanto menyebutkan, dikeluarkannya kebijakan impor produk perikanan, tidak lain karena pihaknya mempertimbangkan faktor ketahanan pangan dan gizi, jaminan mutu dan keamanan pangan, serta keberlanjutan industri ekspor atau tradisional.

“Pemasukan hasil perikanan ini didasarkan pada beberapa prinsip penting yang mengutamakan kedaulatan pangan dan kepentingan nasional,” jelas dia.

Adapun, prinsip yang disebut Nilanto adalah, pertama, ketentuan jenis ikan yang diimpor, dimana kondisi ikan yang sejenis di Indonesia tidak mencukupi, digunakan untuk industri berorientasi ekspor, hingga untuk keperluan pengalengan maupun industri pengolahan tradisional (pemindangan).

“Kedua, impor ikan yang dilakukan hanya solusi jangka pendek dalam memenuhi kontinuitas ketersediaan bahan baku. Prinsip ketiga adalah tidak membahayakan kesehatan konsumen, kesehatan ikan dan lingkungan perairan,” sebut dia.

Untuk prinsip keempat yang disebut Nilanto sangat penting, adalah memberikan ruang yang cukup bagi tumbuh kembangnya usaha pengolahan hasil perikanan baik tradisional maupun skala industri, serta terkendalinya nilai impor hasil perikanan terhadap ekspor kurang dari 20 persen.

Adapun, pelaksanaan impor akan dilakukan dari 5 (lima) pelabuhan besar di Indonesia, yaitu Pelabuhan Belawan (Medan, Sumatera Utara), Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta), Pelabuhan Tanjung Emas (Semarang, Jawa Tengah), Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya, Jawa Timur), dan Pelabuhan Soekarno-Hatta (Makassar, Sulawesi Selatan).

Perketat Izin

Meski menjamin ada kemudahan untuk impor produk perikanan, namun Nilanto juga menjamin bahwa izin penerbitan IPHP tersebut tidak akan sembarang diberikan kepada setiap perusahaan yang mengajukan izin.

Kata dia, penerbitan IPHP ini hanya dapat diberikan bila perusahaan yang mengajukan izin sudah  memenuhi persyaratan teknis dan adminstratif, izin yang diusulkan sesuai peruntukannya, melaporkan realisasi impor sebelumnya, menyampaikan rencana bisnis tahunan, dan rekomendasi pemerintah daerah.

Untuk peruntukkannya, Nilanto menyebutkan, antara lain untuk industri orientasi ekspor, industri pengalengan, pengolahan tradisional (pemindangan), fortifikasi (pengayaan makanan) dan umpan.

Dia mengungkapkan, pada 2015 pihaknya sudah mengeluarkan IPHP kepada 167 perusahaan. Dengan rincian, industri pengalengan (37,21%), re-ekspor (36,71%) dan pemindangan (18,74%), fortifikasi (0,59%), horeka dan pasar modern (2,28%) dan umpan (4,47%).

Sementara, untuk tahun ini  (sampai April 2016) IPHP diberikan kepada 167 perusahaan importir yang didominasi untuk industri pengalengan (27,25%), re-ekspor (45,33%) dan pemindangan (17,66%), fortifikasi (0,41%), horeka dan pasar modern (6,46%) dan umpan (2,90%).

“Adapun berdasarkan data impor tahun 2015, volume impor mencapai 290.072 ton. Angka ini hanya 2,1% dari total produksi ikan nasional yang mencapai 13,7 juta ton,” pungkas dia.

Dampak Negatif

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim mengatakan, dengan adanya impor ikan, maka itu akan berdampak pada pelemahan daya saing produk perikanan nasional. Itu yang seharusnya diwaspadai oleh KKP.

“Klaim melimpahkan ikan di sebagian wilayah pengelolaan perikanan dalam negeri tanpa dibarengi dengan kesungguhan untuk memandirikan industri perikanan di dalam negeri, khususnya bagi kelompok usaha atau koperasi nelayan, berdampak terhadap gempuran produk impor di swalayan dan pasar-pasar tradisional,” ungkap dia.

Ikan dalam keranjang hasil tangkapan nelayan siap dijual di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pasiran, Pulau Sabang, Aceh pada Minggu (01/05/2016). Foto : M Ambari
Ikan dalam keranjang hasil tangkapan nelayan siap dijual di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pasiran, Pulau Sabang, Aceh pada Minggu (01/05/2016). Foto : M Ambari

Halim mengungkapkan, jika regulasi impor produk perikanan tidak diawasi dengan baik, maka itu bisa berujung pada kematian daya saing produk perikanan yang ditangkap oleh nelayan nasional. Selain itu, akan terjadi juga alih profesi secara besar-besaran, khususnya bagi para anak buah kapal (ABK) di seluruh Indonesia.

Tidak hanya itu, menurut Halim, masuknya impor produk perikana ke 5 (lima) pelabuhan besar, bisa berdampak pada penurunan kualitas produk perikanan yang ada di dalam negeri.

Data Produksi Ikan

Sedangkan Lektor Kepala bidang Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB, Alan Koropitan mempermasalahkan tentang data produksi perikanan tangkap.  Data total produksi ikan nasional 13,7 juta ton tahun 2015 dipertanyakan keabsahannya saat moratorium kapal asing masih diberlakukan.

Dia melihat armada kapal penangkap ikan diatas 30 GT sedikit yang beroperasi karena masih dilakukan analisis dan evaluasi (anev) kapal oleh Tim Satgas IUU Fishing.  Ini mempengaruhi produksi penangkapan ikan.

Data KKP dan KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia) pada 2015, sebanyak 635.820  kapal atau 99 persen armada perikanan Indonesia beroperasi di perairan kurang dari 12 mil laut. Kapal tersebut berspesifikasi kapal tanpa mesin dan atau mesin tempel.

Sedangkan 4.320 kapal besar berukuran diatas 30 gross tonnage (GT) atau 1 persen dari jumlah armada kapal di Indonesia yang beroperasi di perairan zona ekonomi ekslusif (ZEE) sedang dievaluasi (anev) oleh Tim Satgas IUU Fishing.

Alan juga mempermasalahkan tentang  system logistic ikan nasional untuk mendistribusikan tangkapan ikan ke seluruh wilayah Indonesia. Belum terpadunya system tersebut mempengaruhi ketersediaan ikan.

Dia mencontohkan data produksi ikan tuna. Data tahun 2011 ketika armada kapal masih beroperasi penuh,  produksi ikan tuna 800.000 ton pertahun.  “Ikan tuna yang diekspor 200.000 ton, sehingga ada selisih 600.000 ton. Itu kemana? Apa semua masuk ke pasar domestik? Saya tidak yakin. Mungkin jumlah itu yang diekspor, tapi tidak tercatat. 600.000 ton tuna kalau diopitimalkan ke pasar domestik, akan luar biasa,” katanya.

Oleh karena itu, dia menyarankan agar sistem logistik ikan nasional diperbaiki, dengan memfokuskan pada distribusi ikan nasional dibandingkan untuk ekspor.  Hal tersebut sesuai dengan UU No.45/2009 tentang Perikanan yang mewajibkan pemerintah untuk memenuhi ikan untuk pasar domestik.

“UU Perikanan mewajibkan untuk perikanan tangkap harusnya memenuhi pasar domestik dulu. Kelebihan ikannyanya baru bisa dsiekspor,” tambah Alan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,