Puluhan nelayan Roban Timur, Sabtu pagi (4/6/16), memasang kain kuning berukuran 3×4 meter di perahu mereka. Kain-kain itu berisikan pesan tuntutan penolakan pembangunan PLTU batubara berkapasitas 2.000 Megawatt.
Bejo Glopot, berkaos kerah warna merah dan bercaping. Hari itu, dia tak melaut. Bersama ratusan warga Roban Timur, dia aksi di laut Batang. Mereka menolak pengeboran PT. Bhimasena Power Indonesia (BPI) untuk membangun pelabuhan batubara.
Bejo mengatakan, pengeboran mengganggu nelayan mencari ikan, terumbu karang rusak, dan berlimbah. “Ini belum operasi sudah merusak. Apalagi sudah mulai, hilang sudah janji Presiden Jokowi di Batang,” katanya.
Bejo masih ingat ketika Presiden Joko Widodo, pidato kemenangan pemilihan umum. Dia menyampaikan, nelayan kembali melaut dan petani kembali ke sawah. Dalam Nawacita, Presiden ingin Indonesia berkembang sebagai poros maritim dunia. Sayangnya, nelayan Batang malah terancam kehilangan ruang hidup, pesisir, laut tinggal menunggu kerusakan tercemar limbah kotor PLTU.
“Proyek PLTU kotor di Batang bukti tak ada Nawacita Jokowi terhadap kesejahteraan dan kehidupan petani dan nelayan,” katanya.
Terik matahari terasa menyengat kulit saya. Waktu menunjukkan pukul 10.10. Seorang nelayan memukul lempengan besi di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Roban Timur. Tanda warga diminta berkumpul. Puluhan relawan Greenpece Indonesia berbaur bersama warga. Mereka siap ke laut, aksi damai tolak PLTU.
Sekitar 30 perahu berukuran kurang tiga Grosston mulai bergerak ke laut. Handytalky (HT) saling bersahut. “Bergerak menuju lokasi pengeboran,” terdengar instruksi dari HT.
Angin dan ombak cukup kencang. Suara mesin perahu menderu bercampur teriakan warga tolak PLTU, bersahutan. Burung-burung terbang di sekitar perahu dan bendera merah putih berkibar kencang di tiang perahu.
Berkisar 35 menit perjalanan, perahu mulai mendekati lokasi pengeboran. Kegiatan berhenti, tak ada aktivitas. Tak ada orang. Alat bor sudah dicopot, namun mesin dan derigen minyak ada, tertutup kain terpal mengapung di samping bagan. Di lokasi pengeboran lain, berkisar 200 meter dari, alat bor terlihat terpancang di bangunan terbuat dari rakitan bambu, tertutup kain terpal biru.
“Kemarin masih ada pengeboran. Mungkin karena akan ada aksi nelayan, jadi dihentikan sementara,” kata Zaini, warga Roban Timur.
Empat penyelam mendekati lokasi pengeboran. Tulisan-tulisan seperti “Lautku Nafkahku, perusak laut, stop merampas dan ilegal” mengapung di sekitar lokasi diikat menggunakan garis polisi. Teriakan tolak PLTU terdengar dari perahu.
Selang 15 menit, perahu nelayan meluncur cepat menuju lokasi pengeboran dari pesisir plansite PLTU Batang. Empat anggota kepolisian ada di perahu. Dua berseragam biru, dua coklat. Setiba di lokasi, dua polisi berseragam biru melompat, berjaga-jaga.
Dari penglihatan saya, lebih lima lokasi pengeboran di laut Batang. Hanya dua titik dijaga polisi. “Itu polisi katanya menganyomi dan melindungi masyarakat, di Batang menganyomi dan melindungi investor,” ucap Zaini.
Pukul 13. 10, aksi selesai. Teriakan tolak PLTU makin kencang. Drone terbang dan berputar di atas perahu-perahu nelayan.
Tiba di pangkalan perahu Roban Timur, puluhan perempuan menata ikan dan hasil tangkapan laut di TPI. Mulai udang, cumi, kerang, pari, dan berbagai jenis ikan lain. Di dalam ruang pengurus TPI, tercatat setiap bulan pendapatan nelayan dari total pelelangan mencapai lebih dari Rp300 juta.
Mike vokalis sekaligus pemain gitar grup band Marjinal fokus memandangi hamparan hasil laut ini. Dia sesekali memotret.
“Dahsyat sekali. Hasil laut melimpah seperti ini, namun ruang hidup mereka akan dirampas investor dan negara untuk energi kotor. Kami marah! Lagi-lagi negara lalai dan abai,” kata Mike.
Mike dan warga naik perahu menyebrangi Sungai Roban, setelah itu naik mobil bak terbuka menuju tenda perjuangan warga tolak PLTU. Sekitar pukul 15.00, Marginal mulai memainkan alat musik.
“Tolak, tolak, tolak PLTU. Tolak PLTU sekarang juga.” Begitu bunyi lirik Marjinal di pinggiran rel kereta api, diikuti ratusan warga.
Mike mengatakan, yang terjadi di Batang mengancam kehidupan nelayan dan merampas lahan petani. “Para petani tak bisa bertani leluasa, belum merdeka atas lahan hak milik mereka sendiri. Hukum masih untuk mengkriminalidasi petani dan nelayan. Disini ada suatu kesewenang-wenangan, ketidakadilan dan ketidakbenaran yang harus terus diperjuangkan,” kata Mike.
Dia melanjutkan, nelayan dan petani berhadapan dengan ketidakadilan. “Negara lalai. Saya malu hati karena petani dibiarkan dalam suatu penderitaan. Dihadapi mocong senjata. Saya sendiri dan Taring Babi hingga kapanpun mengidolakan petani dan nelayan sebagai guru kami,” ujar dia.
Ketidakadilan di negeri ini meluas. Mike mencotohkan, di Jakarta, ada nelayan tak diakui, di Kendeng, ada Ibu-ibu menjaga gunung dan sumber air hingga menyemen kaki di depan istana negara. “Mungkin kelak negeri ini tak akan ada nelayan dan petani. Saya malu melihat perlakukan pembesar negeri ini. Saya marah melihat petani dan nelayan ditindas.”
Jepang sepakati investasi PLTU Batang
Jumat (3/6/16), Japan Bank for International Cooperation (JBIC) mengumumkan perjanjian kredit US$2,052,000 dengan BPI. Hari bersamaan, Masahiro Okafuji Presiden & CEO ITOCHU Corporation dalam keterangan resmi dari website Itochu, menyatakan, telah mencairkan pinjaman US$3,4 miliar kepada PT. Bhimasena Daya Indonesia, anak perusahaan PT Adaro Energy untuk proyek PLTU Batang.
Sumber dana pinjaman ini dari beberapa bank seperti JBIC, Sumitomo Mitsui Banking Corporation, The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Mizuho Bank, Sumitomo Mitsui Trust Bank, Mitsubishi UFJ Trust and Banking Corporation, Shinsei Bank, The Norinchukin Bank, DBS Bank dan Overseas-Chinese Banking Corporation.
Berdasarkan data PLN, PLTU Batang merupakan proyek dengan kerjasama pemerintah dan swasta dengan nilai investasi lebih Rp30 triliun. Ia sekaligus proyek KPS pertama menggunakan Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Pada 2006, pemerintah menetapkan PLTU Jateng sebagai model proyek KPS. Proyek ini juga masuk dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (MP3EI) dan model showcase KPS canangan pemerintah pada 2010.
Konsorsium J-Power, Ithocu dan Adaro adalah pemenang tender PLTU Batang pada 17 Juni 2011, selanjutnya membentuk BPI sebagai entitas pelaksana. Proyek dengan skema build-own-operate-transfer (BOOT) bermasa konsesi 25 tahun ini diperkirakan mulai beroperasi komersial (commercial operation date/COD) akhir 2016.
Itochu dan BPI mengklaim, teknologi mereka ultra-supercritical, memiliki tingkat efisiensi dan emisi karbon lebih baik dari pembangkit batubara PLN saat ini hingga memberi label “ramah lingkungan.”
“PLTU Batang akan memanfaatkan pasokan batubara nasional berkalori rendah,” tulis Itochu dalam rilis.
Menanggapi ini, Arif Fiyanto, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, kepada Mongabay mengatakan, pukulan besar bagi petani dan nelayan Batang yang berjuang hampir lima tahun melindungi ladang dan perikanan tangkap dari rencana ini.
PLTU Batang, katanya, tak hanya merampas akses ke ladang, juga ancaman nyata bagi kesehatan masyarakat sekitar. Klaim JBIC bahwa PLTU pakai teknologi ramah lingkungan adalah penipuan.
“PLTU melepas SO2 dan NOx ke udara, serta berkontribusi besar terhadap perubahan iklim, tak bisa ramah lingkungan,” katanya.
Bangun energi terbarukan
Sebelum ini, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pronowo mempertanyakan penolakan Greenpeace Indonesia terhadap pembangunan PLTU Batang dan mendorong beralih ke energi terbarukan. Ganjar meragukan, apakah bisa dibangun energi terbarukan 1.000 MW. Menurut Arif, Ganjar, harus lebih memperluas bacaan dan cakrawala berpikir.
“Hampir seluruh negara di dunia, termasuk Amerika Serikat, Tiongkok, dan India sedang berlomba lomba meninggalkan ketergantungan batubara dan beralih ke energi terbarukan, Indonesia justru melakukan sebaliknya.”
Indonesia, terutama Pulau Jawa, punya sumber energi terbarukan berlimpah. Untuk memenuhi kebutuhan Jawa, energi matahari dan panas bumi bisa dimanfaatkan. Arif mengatakan, energi terbarukan sulit berkembang sebenarnya bukan karena alasan teknologi maupun keekonomian.
“Masalah terbesar pengembangan energi terbarukan di Indonesia adalah minim kemauan politik beralih dari batubara ke energi terbarukan. Paradigma usang masih mengisi kepala sebagian besar pemimpin kita, salah satu Ganjar Pranowo.”