Masyarakat adat Seko di Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, terancam terusir dari wilayah adat mereka seiring dengan keputusan Pemda Lutra untuk tetap melanjutkan pembangunan Pembangunan Listrik Tenaga Air (PLTA) oleh perusahaan swasta PT. Seko Power Prima dan PT. Seko Power Prada.
Selain hilangnya kawasan hutan dan lahan pertanian seluas 210.919 ha, realisasi PLTA juga akan berdampak pada terusirnya 12.405 jiwa. Cara represif dilakukan perusahaan dengan bantuan Pemda dan Polri/TNI, untuk menindak warga yang protes.
Di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, Bahtiar bin Sabang, meringkuk di penjara setelah divonis 1 tahun subsider 1 bulan pada Juni 2015. Ia dituduh mencuri 40 pohon kayu di kebunnya sendiri, yang ternyata juga diklaim Dinas Kehutanan Sinjai sebagai kawasan Hutan Produksi Terbatas. Upaya banding ke Pengadilan Tinggi Sulsel tak berhasil, sehingga Bahtiar dijemput paksa di rumahnya, di Desa Turungan, Sinjai pada 1 April 2016 lalu.
Di Kabupaten Sumbawa Barat, NTB, warga komunitas adat Talonang terus berjuang mempertahankan wilayah adat mereka dari upaya pengambilan paksa PT. Pulau Sumbawa Agro atas izin dari Pemda Sumbawa Barat. Berbagai upaya intimidasi dilakukan oleh Pemda melalui Polisi Pamong Praja dan aparat TNI. Lahan yang dikelola perusahaan pun kini dijaga oleh aparat kepolisian setempat.
Hal yang sama juga terjadi di Papua Barat, tepatnya di Lembah Klaso, Distrik Klayili, Distrik Klaso hingga perbatasan Distrik Moraid. Tanpa memperhatikan keberadaan masyarakat adat Malamoi yang mendiami wilayah tersebut, PT. Mega Mustika Plantation dan PT. Cipta Papua Plantation melalui skema kesatuan pengelolahan hutan (KPH) akan menyulap kawasan tersebut menjadi perkebunan sawit.
Di Ternate, Maluku Utara, empat aktivis AMAN Maluku Utara ditangkap intel Kodim setempat hanya karena mengenakan kaus yang dianggap mengarah pada paham komunis.
Sejumlah kasus tersebut hanyalah sebagian kecil dari konflik agraria yang masih terjadi di wilayah adat seluruh Indonesia yang menjadi perhatian Rapat Pengurus Besar (RPB) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ke XVII pada 3 Juni 2016 di Bogor, Jawa Barat.
Pertemuan 6 bulanan Pengurus Besar (PB) AMAN ini dihadiri oleh Dewan AMAN Nasional (DAMANNAS) dari 7 Region, Sekretaris Jendral AMAN beserta para deputi dan direktur program, serta Organisasi Sayap dan Badan Otonom AMAN.
Kriminalisasi masyarakat adat menjadi salah satu sorotan dalam RPB tersebut, khususnya kinerja aparatur Kepolisian dan TNI menangani konflik kasus terkait masyarakat adat.
“Masifnya kekerasan, kriminalisasi, intimidasi bahkan penangkapan warga adat tanpa alasan yang jelas oleh institusi negara merupakan dampak dari pengabaian struktural terhadap hak-hak kolektif Masyarakat Adat sebagai warga negara,” ungkap Abdon Nababan, Sekjen AMAN dalam rilisnya kepada media.
Menurutnya Abdon, berbagai konflik di wilayah adat dipicu klaim sepihak oleh negara terhadap wilayah adat sebagai kawasan hutan negara, perampasan tanah dan wilayah adat oleh perusahaan-baik swasta maupun BUMN, serta pengrusakan pemukiman dan pengusiran oleh aparat negara terhadap masyarakat adat di atas tanah leluhurnya.
“Kami meyakini bahwa berbagai perkembangan tersebut disebabkan karena negara belum hadir di tengah-tengah masyarakat adat. TNI-POLRI dan aparatur negara lainnya seharusnya tidak menjadi bagian dari konflik, tetapi sebaliknya menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk tercapainya penyelesaian berbagai persoalan yang dihadapi oleh rakyat sesuai tugas dan fungsinya.”
RPB juga membahas implementasi berbagai kebijakan umum dan kebijakan sektoral Pemerintah terkait masyarakat adat.
“Laporan dari berbagai wilayah menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang ada masih belum mampu menjamin pengakuan dan perlindungan yang efektif terhadap hak-hak masyarakat adat di Indonesia,” tambah Abdon.
Hasil RPB juga tak lupa melakukan tinjauan terhadap realisasi dari Janji NAWACITA yang berkaitan dengan Masyarakat Adat.
“Kami menilai bahwa upaya mendorong lahirnya RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat dan rencana pembentukan Satuan Tugas Masyarakat Adat, serta implementasi dari Putusan MK No.35 tahun 2012 tentang Hutan Adat masih belum dilakukan secara maksimal.”
Menurut Abdon, perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat dijamin dalam konstitusi negara, sehingga menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah sebagai upaya nyata untuk menghadirkan negara di tengah-tengah komunitas.
Oleh karena itu, AMAN menuntut pemerintah dalam hal ini Presiden segera merealisasikan janji-janji pemerintah yang tertuang dalam Nawacita untuk menjamin pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di seluruh wilayah Indonesia;
AMAN mendesak Pemerintah memprioritaskan pembahasan dan penyiapan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA) sebagai usulan pemerintah dengan waktu dan tahapan yang terfokus, serta terbuka terhadap semua pembahasan kebijakan sektoral terkait masyarakat adat.
“Tuntutan lain adalah mendesak Presiden segera menetapkan Pembentukan Satgas Masyarakat Adat sebagai upaya untuk segera menyiapkan langkah-langkah realisasi bagi pengakuan, perlindungan dan pemulihan hak-hak Masyarakat Adat.”
AMAN juga mendesak TNI-POLRI dan aparatur pemerintah untuk lebih mengedepankan dialog dan keterbukaan dalam penanganan berbagai kasus yang berkaitan dengan masyarakat adat, dengan tujuan resolusi konflik-konflik yang dilandaskan semangat keadilan dan kebenaran;
“Selanjutnya kami juga mendesak agar pemerintah segera melanjutkan proses-proses penetapan hutan adat sesuai amanat Putusan MK tahun 2012 dan meninjau ulang kebijakan atau peraturan yang justru bertentangan dengan semangat dari Putusan MK 35 tersebut.”
Beberapa kebijakan yang dinilai bertentangan tersebut antara lain Keputusan Menteri LHK No: SK.327/Menlhk/Setjen/PLA.2/4/2016 tentang Perubahan Fungsi Sebagian Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak seluas 17.373 hektar dan pengembalian areal penggunaan lain (enclave) seluas 7.847 hektar di Bogor dan Sukabumi, Jabar dan Lebak, Banten.
Ekskalasi Konflik
Menurut Yahya Mahmud, Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) eskalasi konflik dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat memang terus meningkat akhir-akhir ini. Kasus yang menonjol seperti kasus Seko di Luwu Utara, di Halmahera, Banyuwangi dan Ternate.
“Kita saat ini fokus di Seko karena eskalasi konflik yang meningkat. Polri dan TNI sudah turun melakukan penangkapan kepada warga. Pertengahan Juni ini kita akan ada pertemuan khusus membahas masalah ini dengan sejumlah NGO di Sulsel.”
Menurut Yahya, pada Mei 2016 lalu eskalasi konflik dan kriminalisasi ini cukup tinggi. Ia mencontohkan kasus penangkapan aktivis AMAN, yang dari segi prosedur penangkapan dan penyitaan semuanya keliru. Mereka ditangkap oleh intel TNI yang tak memiliki wewenang melakukan penangkapan.
Terkait berbagai masalah ini, Yahya menilai negara saat ini terlalu kaku dan berlebihan dalam menangani berbagai persoalan yang ada di masyarakat, khususnya di masyarakat adat.
“Muncul statemen bahwa mereka yang ditangkap itu mengancam negara Indonesia yang begitu besar ini. Ini terlalu dilebih-lebihkan.”
Yahya juga menyoroti penangkapan aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) ketika sedang melatih masyarakat melakukan pemetaaan di Sragen, Jawa Tengah. Tindakan pemerintah ini dinilai sebagai upaya mengungkung kebebasan berekspresi.
“Masa orang yang sedang meningkatkan kapasitas dibubarkan, padahal ini adalah kegiatan rutin. Terkait semua ini kami akan melakukan perlawanan yang santun.”