,

Mereka Menikmati Kebebasannya di Hari Lingkungan Hidup

Kenji, Hope, Raymond, Gadis, dan Angley kini bernafas lega. Di Hari Lingkungan Hidup 2016, ketika umat manusia global merayakannya pada 5 Juni, mereka baru merasakan benar realita hari lingkungan yang selalu didengung-dengungkan saban tahun tersebut.

Kenji misalnya. Saat diselamatkan 2010 lalu di kebun sawit di Desa Wanasari, Tenggarong, Kalimantan Timur, ada luka sabetan parang di pinggulnya. Tidak terbayang, di usianya yang setahun, ia harus merasakan kegetiran hidup. Trauma dan tekanan mental membaluri jiwanya. Ia meronta tiap akan diberikan tindakan medis.

Penuh perjuangan untuk merehabilitasi kehidupan Kenji di Sekolah Hutan grup bayi di Samboja Lestari. Enam tahun belajar di Sekolah Hutan Level 2, Kenji berkembang menjadi orangutan yang cerdas dan pintar, terutama untuk mengenali pakan alaminya. Naluri liarnya muncul, setiap malam Kenji yang berciri rambut coklat tipis kehitaman ini lebih bahagia tidur di hutan ketimbang kandang.

Kenji, orangutan yang dilepasliarkan di Hutan Kehje Sewen

Kisah haru biru juga dirasakan Hope. Kondisinya menyedihkan, saat tiba di Pusat Rehabilitasi Samboja Lestari, Kalimantan Timur 2010. Tidak bisa duduk, juga makan. Miris, di usinya yang 12 bulan itu, ia harus mendapatkan perawatan intensif, bukan kasih sayang sang induk. Butuh dua bulan untuk membuat Hope pulih, yang selanjutnya ia menjalani proses rehabilitasi di Sekolah Hutan Level 2 di Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo (Yayasan BOS).

Hope kini tumbuh menjadi orangutan jantan mandiri yang mampu mencari pakan dan membuat sarang di hutan. Beratnya 27 kilogram, dengan postur tubuh padat berisi. Hal yang sulit dibandingkan saat awal kedatangannya yang mengiris hati.

Masa rehabilitasi hingga sembilan tahun, bahkan harus dilalui Raymond yang masuk Samboja Lestari pada 27 April 2007. Saat itu, ia diselamatkan oleh BKSDA Kalimantan Timur dari seorang warga Bontang. Berbekal trauma, ia acap kali menghindari manusia. Berat tubuhnya juga 3,6 kilogram di usianya yang delapan bulan.

Sekarang, Raymond memiliki keterampilan penuh yang telah dipelajarinya di pusat rehabilitasi. Ia dikenal sebagai penjelajah handal yang senang bergelantungan di pohon. Saat ditimbang, angka 29 kilogram menunjukkan berat tubuhnya.

RAYMOND

Tepat 27 Mei 2016, lima individu orangutan belia ini bersiap memulai kehidupan barunya di Hutan Kehje Sewen, Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kehje Sewen adalah nama yang diadopsi dari bahasa Dayak Wehea dengan arti orangutan yang secara keseluruhan dimaknai hutannya orangutan.

Hutan Kehje Sewen merupakan lahan konsesi PT. RHOI (Restorasi Habitat Orangutan Indonesia) yang didirikan oleh Yayasan BOS, 21 April 2009. Tujuannya spesifik,  mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu untuk Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) bagi pelepasliaran orangutan.

Lima orangutan yang siap dilepasliarkan di Hutan Kehje Sewen. Foto: Hendar
Lima orangutan yang siap dilepasliarkan di Hutan Kehje Sewen. Foto: Hendar

18 Agustus 2010, RHOI mendapatkan IUPHHK-RE tersebut dari Kementerian Kehutanan yang sekarang bernama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk hutan seluas 86,450 hektar di Kabupaten Kutai Timur dan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Izin konsesi yang berlaku 60 tahun dengan perpanjangan 35 tahun itu, memang menyediakan habitat layak hidup dan perlindungan bagi orangutan. Dana untuk membayar perizinan sebesar 1,4 juta Dollar Amerika diperolah dari para donor asal Eropa dan Australia.

Berdasarkan catatan Yayasan BOS, total orangutan yang dilepaskan di Kehje Sewen hingga terakhir ini mencapai 45 individu, yang telah dilakukan sejak 2012.

Perjalanan

Menuju Kehje Sewen via jalur darat dari Samboja Lestari ke Muara Wahau, ibu kota kecamatan di Kutai Timur, butuh waktu 12 jam. Dari sini, perjalanan dilanjutkan menuju titik yang disebut “jalan buntu” sekitar 5 jam. Disebut buntu karena merupakan jalan terakhir untuk kendaraan melaju, yang posisinya sekitar 200 meter dari Sungai Telen di tepian Hutan Kehje Sewen.

Berikutnya, kandang transport yang berisi lima orangutan itu diseberangkan dengan perahu untuk melintasi sungai tersebut. Sampai di sini, mobil yang sudah dirancang untuk rute berat telah meannti, membawa sejumlah kandang itu ke titik pelepasan.

Foto-5a-1024x768

Nico Hermanu, Staf Komunikasi Yayasan Bos, menuturkan lima orangutan yang dirilis tersebut telah beradaptasi dengan baik di lingkungan barunya. Tim Post-Release Monitoring (PRM) yang berada di lokasi, terus melakukan pemantauan dan akan mengikuti pergerakan mereka, mulai shubuh hingga malam. Setiap dua menit, aktivitasnya dicatat. “Setiap hari, sebulan penuh,” ujarnya, Rabu (8/06/2016).

Menurut Nico, tim akan menulis detil apa yang dilakukan orangutan tersebut, sebut saja sarang yang mereka bangun untuk tempat tidurnya di malam hari. Setelah 30 hari, patroli rutin akan dilakukan, tidak dari sarang ke sarang (nest to nest), tetapi menggunakan radio receiver untuk menangkap sinyal dari chip transmitter yang ditanamkan di tengkuk orangutan yang telah dirilis tersebut. “Chip ini berfungsi hingga dua tahun dan sangat penting untuk mengetahui keberadaan orangutan, sekaligus untuk dilakukan observasi kegiatannya.”        

Berdasarkan survei pasca-pelepasliaran sejak 2012, tingkat kehidupan orangutan yang bertahan hidup di Kehje Sewen di atas 90 persen. “Artinya, orangutan dapat beradaptasi dengan baik dan wilayah ini pastinya terlindungi. Kenji, Hope, Raymond, Gadis, dan Angley mampu mencari makan di hutan begitu dilepasliarkan, ini berita baik sekaligus hadiah untuk mereka di Hari Lingkungan Hidup,” paparnya.

Perjalanan menuju Hutan Kehje Sewen
Perjalanan menuju Hutan Kehje Sewen. Foto: BOSF-RHOI 2016

Sebelumnya, Jamartin Sihite, CEO Yayasan BOS, yang ditemui Mongabay pada pelepasliaran, Jumat (27/05/2016) menuturkan, hingga kini, tidak ada permasalahan yang terjadi di sekitar Hutan Kehje Sewen terlebih konflik masyarakat dengan orangutan.

Menurutnya, pelepasliaran orangutan telah melewati proses dan penempatan yang sesuai, jauh dari permukiman dan perkebunan, sehingga tidak akan menimbulkan pertikaian. Bila ada orangutan yang tidak mampu beradaptasi, Yayasan BOS akan mengembalikan orangutan tersebut. “Ada satu individu yang tidak mampu beradaptasi, namanya Ken. Kami membawanya ke Samboja Lestari untuk mengikuti sekolah alam lagi,” paparnya.

Yayasan BOS berencana membuat pulau buatan, pulau yang berfungsi sebagai lokasi terakhir sebelum orangutan dilepasliarkan di hutan sebenarnya. Di pulau tersebut, orangutan akan diamati langsung apakah mampu hidup atau tidak. “Kami akan membuatnya seluas 30 hektar.”

Perjalanan menuju titik pelepasliaran
Perjalanan menuju titik pelepasliaran. Foto: BOSF-RHOI 2016

Penyelamatan

Agus Irwanto, Manajer Program Samboja Lestari, menuturkan saat ini terdapat 202 orangutan di Samboja Lestari. Menurutnya, di 2016 ini, ditarget akan dirilis sebanyak 20 orangutan. “Kami tidak tahu kapan selesainya pelepasliaran orangutan dari pusat rehabilitasi ini.”

Hutan Kehje Sewen, diperkirakan hanya mampu menampung 150 orangutan, sementara saat ini telah ada 45 individu yang dilepaskan. “Lahan di hutan restorasi, yang bisa digunakan untuk pelepasliaran hanya 50 ribu hektar, sisanya tidak bisa sama sekali.”

Kenji, Hope, Raymond, Gadis, dan Angley kini benar-benar hidup di alam bebas
Kenji, Hope, Raymond, Gadis, dan Angley kini benar-benar hidup di alam bebas. Foto: BOSF-RHOI 2016

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur, Sunandar Trigunajasa N, yang ditemui terpisah berharap masyarakat tidak lagi memelihara orangutan. Sehingga, tidak ada lagi orangutan yang masuk ke pusat rehabilitasi. “Jangan ada lagi masyarakat yang menangkap dan memelihara orangutan. Orangutan dan hutan itu milik kita semua, keberadaannya dilindungi undang-undang.”

Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo (Yayasan BOS) merupakan organisasi non-profit Indonesia yang didedikasikan untuk konservasi orangutan Borneo dan habitatnya. Sejak didirikan 1991, lebih dari 700 orangutan yang dirawat di yayasan ini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,