Pemerintah di era Presiden Jokowi telah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) yang bertujuan merestorasi lebih dari dua juta hektar di tujuh provinsi. Untuk kegiatan di tahun pertama, 2016 ini, eks proyek PLG Satu Juta Hektar di Kabupaten Pulang Pisau di Kalteng menjadi salah satu dari empat kabupaten prioritas. Bagaimana kondisinya saat ini?
Cuaca di awal bulan Juni begitu terik. Matahari terasa begitu menyengat. Saya bersama Adhi Siswandi Rahardjo, peneliti hidrologi gambut USAID LESTARI tiba di Desa Garung, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau. Jaraknya sekitar 70 km dari pusat Kota Palangkaraya. Dalam peta wilayah, area yang kami kunjungi ini masuk dalam Blok C proyek PLG.
Wilayah ini dulunya termasuk dalam Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar yang dijalankan pada era Pemerintahan Soeharto. Sedari dini, persoalan rusaknya lahan gambut tidak bisa dipisahkan dari mega proyek ambisius pencetakan sawah ini. Guna menyukseskan proyek, saat itu kanal-kanal dibangun membelah kubah gambut. Kanal yang dibuat lalu memicu kerusakan, kandungan air dalam kurun waktu yang cepat menyusut. Gambut menjadi kering pada musim kemarau dan menjadi langgaran kebakaran.
Dengan kondisi itu, tidaklah heran jika kemudian Kabupaten Pulang Pisau, menjadi salah satu kabupaten yang paling parah terbakar tahun lalu di Kalteng. Padahal kabupaten ini luasnya hanya 5,85 persen (8.997 km2 dari luas Kalteng 153.564 km2).
Dalam perjalanan menyusuri kanal primer sangat mudah dijumpai sisa-sisa lahan gambut yang terbakar pada 2015 lalu. Di sepanjang jalan tampak gelam (Meulaleca leucadendra), vegetasi asli wilayah ini, yang jumlahnya tak seberapa dibandingkan dengan tingkat kerusakan yang ada. Kanal utama yang kami lewati ini, membentang 128 km di ujung Laut Jawa di selatan, hingga desa Pilang, di batas wilayah Kota Palangkaraya di utara. Kanal ini membelah kubah gambut (peat dome) yang ada.
Tak berapa lama, kami melewati sebuah perkebunan kelapa sawit yang tampak baru ditanam. Adhi menyebutkan, luasnya 200 hektar. “Kami ukur kedalaman gambut di perkebunan kelapa sawit itu lebih dari empat meter. Seharusnya kan tak boleh. Kebun ini milik salah satu pejabat kepolisian di sini,” katanya memberi petunjuk.
Menurut Adhi, solusi restorasi gambut adalah dengan membuat tabat kanal. Masalahnya, selama ini pembuatannya, sering dilakukan asal-asalan, tanpa kajian yang mendalam. Harusnya tabat yang dibangun diletakkan di lokasi yang tepat. Untuk tujuan itulah Adhi dan timnya, saat ini melakukan kajian survey hidrologis. Hasil survey itu nantinya akan dipresentasikan kepada BRG guna menentukan lokasi yang tepat untuk pembangunan tabat kanal.
“Dalam membangun tabat harus diperhatikan ke arah mana airnya, kedalaman gambut, juga lebar kanal yang ada. Dengan melakukan survey hidrologis gambut, kita tahu kondisi fisik yang ada,” imbuh Adhi. Menurutnya, kesalahan proyek PLG dulu, pembangunan kanal dilakukan tanpa kajian komprehensif. Kanal dibuat sangat lebar dan memotong kubah gambut. Padahal kedalaman kubah gambut mencapai 20-25 meter.
Konsep Kesatuan Hidrologis Gambut
Pengelolaan gambut seharusnya berbasis pada pengelolaan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 71/2014. Sebaliknya, lahan gambut yang dikelola asal-asalan tanpa penyusunan dan penetapan rencana yang jelas akan menyebabkan gambut menjadi kering dan mudah terbakar. Untuk tujuan restorasi, maka desain mikro tapak di lahan gambut menjadi penting, termasuk memaduserasikan antara kepentingan ekologis dan sosial-ekonomi masyarakat.
Hal inilah yang diamini oleh Bismart Ferry Ibie, Pengajar di Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Palangkaraya yang juga terlibat dalam survey KHG ini. Dia bertugas mengumpulkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar. Bismart berharap, hasil survey tersebut nantinya bisa menjadi acuan dalam pembuatan desain mikro KHG di blok C eks PLG.
“Dalam survey yang kami lakukan, kita coba memetakan kelompok masyarakat dan stakeholder yang memanfaatkan kanal. Kita juga sedang cari tahu, aset yang dimiliki masyarakat untuk memaksimalkan produktifitasnya,” jelasnya. “Potensi yang ada, kita kembangkan dan lakukan pendampingan. Misal masyarakat yang sudah mengelola perikanan di daerah kanal itu, kita kembangkan.”
Alue Dohong, Deputi bidang Konstruksi, Operasi dan Pemeliharaan BRG saat dihubungi pun menyebutkan pentingnya survey hidrologis gambut di Pulang Pisau.
“Master plan sebenarnya sudah ada di tahun 2008, hanya perlu di-update kembali. Tentu tiap daerah akan berbeda-beda penanganannya dan karakteristik. Bagaimana tutupan lahan, keadaan sosial dan ekonomi masyarakat sekitarnya,” jelasnya. Menurutnya, kala proyek PLG dulu dilangsungkan, proyek turut berpengaruh pada struktur sosial masyarakat yang ada.
“Untuk kanal primer yang memotong kubah gambut, kemungkinan kita akan buat tabat kanal permanen. Air dibendung. Tapi kalau kanal di kawasan budidaya kita akan bangun tabat spill way. Sehingga bisa atur elevasi muka air. Saat musim kemarau ketersediaan air bisa diatur agar tak membuat gambut kering. Saat musim hujan, air bisa keluar sehingga tak menggenangi lahan kelola masyarakat.”
Ia juga mengatakan, di Pulang Pisau masyarakatnya kebanyakan memanfaatkan lahan gambut untuk menanam jelutung (Dyera costulata) dan atau belangiran (Shorea belangeran), dua spesies lokal. Menurutnya, budidaya tanaman ini cocok untuk dikembangkan.
Menambahkan, di Pulang Pisau menurutnya BRG sudah melakukan kegiatan sosialisasi kepada masyarakat lokal lewat pelatihan pembuatan sumur bor di lahan gambut di lima desa dengan 40 peserta. Masyarakat dilatih membuat 200 sumur bor untuk selanjutnya mereka sendiri yang akan mengembangkan hal itu. “Kami juga sudah melatih masyarakat membuat persemaian atau pembibitan di lahan gambut,” ujarnya.
Didiek Surjanto dari WWF yang terlibat dalam survey ini, menyebutkan pihaknya sedang mengumpulkan data sekunder untuk menjadi masukan Master Plan Rehabilitasi lahan eks PLG. Saat ini fokusnya sedang memetakan praktik penguasaan lahan untuk berbagai kepentingan yang ada, mulai dari budidaya tanaman komoditas, sampai aspek spekulasi jual-beli lahan yang dilakukan.
“Konsep restorasi gambut di Pulang Pisau, yang terbaik yang ada saat ini adalah Master Plan Rehabilitasi eks PLG tahun 2008. Sayangnya belum sempat dilaksanakan, sudah terjadi keterlanjuran-keterlanjuran. Kita perlu berhati-hati untuk merencanakan sesuatu yang dampaknya berjangka panjang. Kita sudah lihat proyek-proyek yang bersifat reaktif, tingkat efektivitasnya rendah dan tidak memperoleh dukungan stakeholders,” paparnya.
Dia pun menyebutkan tantangan saat ini adalah mempertemukan kepentingan-kepentingan yang saling berbeda. Kepentingan restorasi dampak positifnya luas dan berkontribusi secara global. Kepentingan ekonomi masyarakat bersifat lokal, tetapi kontinyu. Dia pun mengakui bahwa dalam tata ruang wilayah, sebagian dari Kawasan Blok C adalah Hutan Lindung, tetapi sejauh ini ada banyak masalah terkait informasi dan penegakan aturan.
“Kalau Blok C mau direstorasi, kepentingan-kepentingan tersebut baik akses transportasi dan budidaya yang sudah terlanjur dilakukan tentu perlu diperhatikan. Bagaimanapun juga, pemanfaat kanal sudah menjadi satu bagian dari pemangku kepentingan di sana, walaupun secara legal mungkin melanggar peraturan perundangan yang berlaku,” ucapnya.
Namun, Didiek tampak optimis dengan dukungan yang muncul dari masyarakat, karena bagaimanapun mereka pun turut dirugikan oleh asap, terlebih bila kebun karetnya turut terbakar. “Tinggal bagaimana merencanakan restorasi bersama-sama, agar membawa dampak positif, baik untuk menahan perubahan iklim dan baik untuk perekonomian masyarakat setempat.”