,

Sawit Datang, Konflik Masyarakat dengan Orangutan Tidak Terhadang

Salphia (40) warga Dusun Batu Pura Desa Tanjungpura, Kecamatan Muara Pawan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, tampak cemas. Dia dan beberapa warga dusun tersebut sudah beberapa kali melihat penampakan orangutan di kebun mereka. Kondisi yang mengkhawatirkan, warga mulai takut ke kebun, dan dalam hal ini orangutan kerap dianggap sebagai ancaman serius.

Beruntung, masyarakat desa ini sudah paham, orangutan merupakan satwa dilindungi. Sehingga, mereka melaporkan penampakan orangutan tersebut kepada Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI). “Orangutan mengambil buah nangka dan asam kandis dari kebun kami, dan membawanya ke hutan,” kisah Salphia. Beberapa warga juga melaporkan hasil kebunnya yang diambil orangutan, seperti pisang dan tanaman buah. “Padahal, kami akan menjual buah itu sebagai sumber penghasilan,” tambahnya.

YIARI di Ketapang memang mendapatkan laporan dari masyarakat akan kejadian tersebut dan menurunkan tim mitra mitigasi konflik manusia-orangutan untuk melakukan verifikasi dan survei. Bisa dibilang, kawasan hutan yang diamati merupakan hutan tersisa di Tanjungpura. Hutan yang ada, sebagian terbakar pada 2015 dan sebagian lagi telah dikonversi menjadi perkebunan sawit.

Syarifuddin, anggota tim mitra YIARI mengatakan, dengan kondisi ini tidak heran orangutan yang berada di habitat tersebut mencari sumber makanan di tempat lain. “Kebun warga adalah tempat terdekat,” katanya, Rabu (8/06/2016).

Pada 2014 lalu, survei tim konflik orangutan-manusia melaporkan, potensi konflik di Desa Tanjungpura termasuk tinggi. Pasalnya, populasi orangutan di hutan sekitar desa tersebut cukup padat. Dari hasil survei ini, masyarakat setempat telah mendapatkan pemahaman dengan rekomendasi untuk tidak membuka hutan.

Namun, ekspansi perusahaan sawit di akhir 2015 tidak terelakkan. Hutan desa tersebut dikonversi menjadi lahan perkebunan sawit seluas 1.400 hektar. Alasan ekonomi dan kebutuhan akan lapangan pekerjaan membuat sebagian besar warga mengamini kegiatan itu. Meski ada juga yang tidak setuju dengan alasan kelestarian lingkungan.

“Kami khawatir, Tanjungpura akan mengalami konflik seperti Desa Mayak yang ada di sebelah desa kami. Lebih dua  tahun, mereka mengalami pertikaian,” ungkap Juanisa, Koordinator Human-Orangutan Conflict Response Team (HOCRT) YIARI. Juanisa mengatakan, Desa Mayak yang sudah terkepung perkebunan sawit mencatatkan 40 laporan konflik pada 2014 dan meningkat menjadi 65 konflik pada 2015.

Gail Campbell-Smith, Manager Program YIARI menjelaskan, perlu pengaturan bentang alam bagi orangutan untuk mengatasi masalah ini. Pada intinya, upaya  membuat hutan-hutan yang tersisa saling terkoneksi sehingga membentuk koridor bagi orangutan harus dilakukan. “Harapannya, dengan koridor, orangutan dapat berpindah ke daerah lain untuk mencari makan dengan tetap berada di kawasan hutan sehingga tidak menganggu masyarakat,” katanya. Namun, melakukan itu semua tidak segampang teori. Tantangannya adalah menjalin kerja sama dengan semua pihak, terutama dengan pemilik perkebunan sawit dan pemerintah agar skema ini tercapai.

Perkebunan kelapa sawit yang hingga kini menyisakan berbagai persoalan. Foto: Rhett Butler

Agustus 2015, sebenarnya pemerintah, pengusaha, dan organisasi sipil kemasyarakatan telah melakukan lokakarya ‘Membangun Kesepakatan Bentang Alam untuk Orangutan’. Tujuannya, menggalang komitmen mengelola areal konservasi orangutan dan satwa liar dilindungi, mencegah perambahan, serta mengendalikan kebakaran hutan dan lahan di bentang alam yang akan diciptakan.

Di lokakarya tersebut dipaparkan Strategi Rencana Aksi Konservasi Orangutan dan Mekanisme Kolaborasi Bentang Alam Orangutan, Tata Ruang dan Konservasi Orangutan, serta Konservasi Bentang Alam Orangutan. Tantyo Bangun, Ketua YIARI menjelaskan, sebagian besar habitat orangutan berada di luar daerah konservasi. “Di Kalimantan Barat, orangutan yang berada di area konservasi hanya 30%, sisanya 70%  di luar kawasan konservasi. Ini berakibat terjadinya konflik.”

Lokakarya tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi untuk mencegah terjadinya konflik dengan orangutan. Diantaranya, perkebunan kepala sawit harus membuat pengelolaan habitat orangutan di area High Conservation Value, merestorasi habitat orangutan yang terdegradasi, dan membuat penghalang/barrier, seperti pembuatan daerah penyangga, parit pembatas, jaring kanopi, jalan patroli atau kombinasi di antaranya. Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat juga siap menyusun peraturan perundangan tentang konservasi dan mewajibkan perkebunan kelapa sawit untuk menerapkan pembangunan kelapa sawit berkelanjutan.

Hutan yang dibuka untuk perluasan perkebunan kelapa sawit. Foto: Rhett Butler

Konversi kejar target

Dengan alasan perkebunan kelapa sawit sebagai tulang punggung masyarakat Kalimantan Barat (Kalbar), para pelaku usaha berharap dapat memperluas areal kebun hingga 5,02 juta hektar. Saat ini, luasan perkebunan sawit baru mencapai 1,3 juta hektar dengan total produksi minyak mentah mencapai 1,17 juta ton per tahun.

“Dengan luasan yang ada saat ini, sektor perkebunan kelapa sawit baru menyerap sebanyak 101.883 kepala keluarga di Kalbar,” jelas Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Provinsi Kalimantan Barat, Idwar Hanis, beberapa waktu lalu.

Tingginya permintaan dunia internasional terhadap komoditi kelapa sawit, kata Idwar, harus sejalan dengan regulasi. Idwar berharap pada aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Surat Keputusan Nomor 936/Menhut-II Tahun 2013, tentang aturan pengalihan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas sekitar 554.137 hektare. “Diharapkan, regulasi ini memberikan kepastian hukum kepada perusahaan sawit yang ada  di Kalimantan Barat,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,