, ,

Inilah Permasalahan di Darat dan Laut dalam Reklamasi Jakarta    

Setelah bekerja selama dua bulan sejak 18 April 2016, Komite Bersama Reklamasi Teluk Jakarta yang dibentuk Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya akhirnya menemukan sejumlah catatan penting. Catatan tersebut nantinya akan dijadikan dalam bentuk rekomendasi yang akan disampaikan dalam rapat konsinyasi.

Demikian diungkapkan Direktur Jenderal Planologi dan Tata Ruang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) San Afri Awang saat memimpin Forum Group Discussion (FGD) pembahasan reklamasi Teluk Jakarta di Balai Kota DKI Jakarta, Sabtu (11/6/2016).

Menurut Awang, selama dua bulan bekerja bersama tim yang terdiri dari gabungan Kemenko Maritim dan Sumber Daya, KLHK, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, pihaknya bisa mengumpulkan fakta-fakta reklamasi di daratan maupun di pesisir.

Dari rangkuman catatan yang berhasil dikumpulkan itu, kata dia, untuk masalah di daratan sekitar Teluk Jakarta, adalah terjadinya penurunan permukaan tanah, penurunan muka air bawah tanah, terbatasnya lahan pembangunan, banjir dan buruknya genangan saat air pasang (rob), serta struktur tanah yang relatif empuk.

Permasalahan yang ada di darat tersebut, dijelaskan Awang, langsung dirasakan oleh warga yang tinggal di sekitar Teluk Jakarta. Dampaknya, di antaranya muncul kekumuhan, kualitas sungai memburuk, dan air tanah juga memburuk.

Selain di darat, Awang melanjutkan, masalah juga ditemukan di sekitar pesisir dan laut, di antaranya adalah munculnya abrasi pantai dan sedimentasi yang sangat tinggi. Selain itu, juga ada pencemaran di dasar pesisir dan juga munculnya pencemaran secara menyeluruh di air laut Teluk Jakarta.

Namun, Awang memastikan, dari masalah-masalah yang ditemukan itu, dia bersama tim lebih banyak menyoroti persoalan sedimentasi di Teluk Jakarta. Hal itu, karena sedimentasi sangat memengaruhi kondisi 13 sungai yang ada di Jakarta dan sekitarnya.

“Karena, memang 13 sungai ini menampung semua buangan (limbah) dari industri yang ada di sekitar sungai dan dibawa ke Teluk Jakarta,” tutur dia.

Awang menjanjikan, seluruh catatan penting itu akan disampaikan secara resmi dalam rapat konsinyasi yang rencananya akan dilaksanakan pada 16 Juni mendatang. Dalam rapat tersebut, semua pihak yang berkaitan akan hadir untuk kembali membahas reklamasi Teluk Jakarta.

Sebelum Reklamasi

Salah satu warga yang juga nelayan di Teluk Jakarta, Muhammad Taher, dalam FGD menyebut bahwa kondisi Teluk Jakarta saat ini jauh berbeda dibandingkan dengan kondisi pada tahun 1980-an hingga 1990-an. Kondisi tersebut terasa jelas perbedaannya setelah reklamasi mulai dilaksanakan pada tahun 2000-an.

“Kalau tahun 90-an itu air laut belum tercemar, bahkan pada tahun 80-an itu air laut masih biru dan jernih. Tapi beda dengan sekarang, lautnya sudah tercemar karena ada perusahaan-perusahaan yang berdiri dekat pantai dan membuang limbahnya langsung ke laut,” jelas dia.

Gambaran reklamasi Teluk Jakarta dengan 17 pulau buatan. Foto : Fisip UI
Gambaran reklamasi Teluk Jakarta dengan 17 pulau buatan. Foto : Fisip UI

Sementara itu menurut Sukirno, warga di Kelurahan Ancol, Jakarta Utara, persoalan yang ada setelah reklamasi, tidak hanya menyangkut pada masalah teknis saja, tetapi juga terkait dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Salah satunya, adalah mengenai permukiman warga di sekitar Teluk Jakarta.

“Warga jangan asal dipindahkan jika memang akan ada relokasi. Sebaiknya itu dibicarakan secara baik-baik. Karena, jangan sampai kasus di Pasar Ikan (Jakarta Utara) terulang lagi. Dimana, warga disuruh pindah begitu saja padahal mereka sudah lama tinggal,” ungkap dia.

Tidak hanya itu, menurut Sukirno yang asli dari Jawa Tengah dan datang ke Jakarta pada 1978 itu, jika warga dipindah, sebaiknya jangan diberi pilihan tempat tinggal sewa, melainkan                 tempat tinggal hak milik sendiri. Misalnya, jangan memberi Rumah Susun Sewa (Rusunawa), tetapi Rumah Susun Milik (Rusunami).

“Itu pun, belum tentu menjadi solusi jika diberi Rusunami. Karena, warga itu untuk mendapat mata pencaharian yang baru tidak gampang. Butuh masa adaptasi yang lama. Saya sendiri butuh dua tahun untuk bisa nyaman,” tandas dia.

Peran Kementerian Agraria Tata Ruang Dipertanyakan

Sementara itu, ketidakhadiran Kementerian Agraria Tata ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam FGD, disesalkan oleh Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan (IAI) Bernardus Djonoputro. Menurut dia, seharusnya Kemen ATR terlibat dalam FGD dan memberi masukan.

“Bahkan tidak hanya dalam diskusi ini, seharusnya mereka juga masuk dalam tim bersama. Karena, tata ruang reklamasi itu faktanya diurus oleh kementerian Agraria,” ucap dia.

Pertanyaan itu diajukan Bernadus, karena dalam Undang-Undang nomor 26 Taun 2007  termaktub tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Nasional, Provinsi, Kabupaten dan Kota mencakup ruang darat, laut, udara dan dalam bumi. Dan, itu ada dalam wewenang Kementerian ATR/BPN.

Namun, San Arif Awang terbuka di dalam forum membantah tentang ketidakhadiran wakil dari Kemen ATR tersebut. Menurutnya, komite secara resmi sudah mengundang kehadiran mereka. Tetapi, ternyata memang saat forum dilaksanakan, tidak ada satu pun wakil mereka yang hadir.

“ATR/BPN itu sudah jadi anggota di Komite Bersama ini. Perlu digarisbawahi bahwa tidak hadir saat ini bukan berarti tidak terlibat,” pungkas dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,