Walhi: 4 Perusahaan Tambang Batubara ini Pencemar Sungai di Kalteng

Sungai Briwik, Kuhung dan Bambang di Desa Maruwei Kabupaten Murung Raya, sungai Liang di Desa Jannah Manciwoi dan sungai Mabayoi di Dusun Gunung Karasik Kabupaten Barito Timur diduga kuat tercemar logam berat akibat limbah tambang batubara yang ada di sekitarnya. Sampel penelitian Walhi Kalteng yang diolah di laboratorium PT ALS PT ALS Environmental Indonesia mengkonfirmasikan temuan ini.

Kandungan barium (Ba), boron (B), besi (Fe), mangan (Mn) serta seng (Zn) dijumpai di sungai Briwik yang berdekatan dengan area tambang batubara PT Maruwei Coal (Group BHP Billiton). Kandungan sama juga didapati di sungai Kuhung, Kabupaten Murung Raya dekat PT Asmin Koalindo Tuhup (Borneo Lumbung Energi dan Metal Group), sungai Bambang di Maruwei dekat PT Marunda Graha Mineral di Kabupaten Murung Raya, serta sungai Mabayoi dusun Gunung Karasik dan sungai Liang dekat Desa Jannah Manciwoi yang berada dekat PT Bangun Nusantara Makmur di Kabupaten Barito Timur.

“Hasil penelitian Walhi pada Februari-Maret 2016 menunjukan bahwa kandungan logam berat di empat perusahaan tambang ini melebihi batas baku mutu yang telah ditetapkan oleh perundang-undangan,” papar Aryo Nugroho, dari Divisi Advokasi Walhi Kalteng pada saat jumpa pers awal Juni ini di Palangkaraya.

Berdasarkan temuan Walhi Kalteng, maka pencemaran di sungai-sungai ini jauh melebihi ambang batas yang diperkenankan berdasarkan PP No. 82/2001, yang menyebutkan kandungan logam besi (Fe) maksimal adalah 300ug/L. Hasil laboratorium menunjukan semua sungai yang diteliti berada jauh di atas ambang batas. Kandungan besi (Fe) Muara Sungai Briwik 836 ug/L,  Sungai Briwik 991ug/L, Hulu Sungai Bambang 1.640ug/L, Sungai Kuhung 784ug/L, Hulu Sungai Mabayoi 18.600ug/L dan Sungai Liang 392ug/L.

klik pada gambar untuk memperbesar
klik pada gambar untuk memperbesar

Aryo pun menyebutkan,  sistem pertambangan terbuka (open cut minning) yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan itu telah berdampak buruk bagi lingkungan, termasuk meninggalkan lubnag besar pada tanah dan penurunan muka tanah. “Bahan galian tambang ditumpuk pada stock filling akan mengakibatkan bahaya longsor dan tercucinya senyawa beracun ke daerah hilir,” ungkapnya.

Kandungan logam berat di sungai-sungai ini pun akan sangat berbahaya jika dikonsumsi warga dalam jangka panjang, bahkan bisa menyebabkan kematian.

“Racun tak bisa hilang kalau sudah mengendap ke dalam tubuh,” staf kampanye bagian tambang Walhi Kalteng, Lutfi Bakhtiar,  menambahkan. “Jika melebihi ambang batas maksimum sebagai kategori air kelas I. Itu artinya seluruh sungai tidak dapat dijadikan sebagai sumber air yang dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat sekitar.

Dalam rilis yang diterima Mongabay, peneliti ICEL (Indonesian Centre for Environmental Law) Rayhan Dudayev mengatakan, keberadaan perusahaan sawit dan pertambangan batubara berskala besar telah mengakibatkan masyarakat menderita baik secara materiil maupun imateriil. Alih-alih menghapuskan kemiskinan, eksploitasi sumberdaya alam dinilai kontraproduktif dan memiskinkan masyarakat di beberapa desa di Barito Timur.

Ia mencontoh pada apa yang dialami oleh warga Desa Paku Beto yang harus membeli air minum karena tak dapat lagi mengkonsumsi air sungai sejak perusahaan batubara mulai beroperasi di hulu Sungai Mabayoi sejak 2011. Akibatnya, saat ini masyarakat harus mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah tiap minggunya untuk membeli air bersih dan beras. Kondisi ini kontras dengan sebelum beroperasinya perusahaan tambang, dimana masyarakat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan dapat menjual padi mereka.

“Tadinya, banyak ikan ada di sungai. Kini masyarakat tidak bisa mengambil ikan di sungai dan harus membeli ikan dengan harga yang cukup mahal, tiga puluh ribu per kilogram,” ujar Rayhan.

Kerugian serupa dialami desa lainnya di Kabupaten Barito Timur, seperti Dusun Gunung Krasik, Desa Danau, Desa Jamanam Siwuy.

Klik pada gambar untuk memperbesar
Klik pada gambar untuk memperbesar

Menurut Rayhan,  modus berbagai pelanggaran yang dilakukan sejumlah perusahaan tambang terhadap masyarakat di Barito Timur dilakukan lewat tidak adanya reklamasi lubang bekas tambang, pemalsuan dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), pencemaran sungai, melakukan usaha pinjam pakai kawasan hutan tanpa izin, dan lain-lain.

Modus ini dapat berjalan selama ini karena adanya pembiaran dari pejabat dan penegak hukum baik dari pihak kepolisian maupun Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Barito Timur. Publik pun tidak dapat turut memonitor karena tidak transparansinya kebijakan.

“Walaupun sudah diundangkan sejak delapan tahun silam, UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi belum teraplikasi dengan baik di Barito Timur,” jelas Rayhan. Informasi yang tertutup ini, turut membuat partisipasi masyarakat dalam tiap proses pembangunan menjadi tertutup.

Setelah menggelar konferensi pers, perwakilan Walhi Kalteng menyerahkan hasil penelitian kepada BLH (Badan Lingkungan Hidup) Provinsi Kalteng. Ina Arleny, Kasubbid Pengendalian Pencemaran Air tidak berkomentar apapun. Ia hanya mengatakan bahwa laporan akan dipelajari terlebih dahulu.

Dampak kandungan

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,