, ,

Suhu Semakin Panas Sepanjang Sejarah. Ini Dampak Perubahan Iklim?

Abdul Rahman menyekap keringat di wajahnya dengan lengannya yang telanjang. Meski cuaca agak terik ia memilih melepaskan baju dan hanya bercelana pendek. Dibantu beberapa temannya ia sibuk mengangkut pipa-pipa besi yang baru saja disambung dengan las, membentuk sebuah rangka untuk karamba budidaya lele.

Rahman adalah warga Kelurahan Tanjung Merdeka, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Bersama 9 teman yang tergabung dalam Kelompok Jenber, menekuni budidaya ikan nila dan lele di dalam keramba, di muara Sungai Jeneberang.

Sebagian besar warga di muara tersebut kini berbudidaya ikan nila dalam keramba, karena cuaca yang tak menentu membuat hasil tangkapan mulai berkurang. Dengan metode budidaya ini setidaknya mereka bisa menunggu hasil tangkapan yang pasti.

“Enam atau tujuh bulan sudah bisa panen sampai tiga kali. Hasilnya lumayan,” katanya kepada Mongabay.

Budidaya dalam keramba bukannya tanpa masalah. Cuaca yang sangat panas berpotensi meningkatkan kematian ikan, seperti terjadi pada April 2016, dimana hampir setengah ikan di keramba mati karena suhu air yang panas.

“Cuaca yang panas sekali April lalu ditambah air surut membuat banyak ikan yang mati. Kita tak bisa berbuat apa-apa,” katanya.

Hal tersebut dijeaskan Agus Partama Sari, Deputi Pendanaan Badan REDD+ (Reducing Emmission from Deforestation and Forest Degradation) periode 2014 – 2015, dalam Diskusi Perubahan Iklim di Makassar, beberapa waktu lalu.

Agus menyebut hal tersebut sebagai dampak nyata dari perubahan iklim, yang salah satunya ditandai peningkatan suhu temperatur udara. “Ini sebuah konsensus bahwa bumi ini semakin panas dengan grafik temperatur yang semakin ke atas,” katanya

Menurut Agus, tahun 2016 dimulai dengan fakta meningkatknya suhu yang drastis dan tertinggi sepanjang sejarah.

“April terpanas sepanjang sejarah setelah bulan Maret 2016 yang juga merupakan bulan terpanas sepanjang sejarah. Dan ini lebih panas dibanding bulan Februari 2016 yang merupakan juga bulan terpanas sepanjang sejarah,” ujarnya.

Menurut Agus, hal yang paling mengkhawatirkan bahwa margin kenaikan suhu dari Februari – April ini cukup besar, yaitu mencapai 1,25oC, hampir mencapai ambang batas toleransi sebesar 1,5oC

Menurut Agus, sejak beberapa ratus tahun lalu, baru sekarang ini konsentrasi efek rumah kaca melejit ke atas yang kemudian menyebabkan peningkatan suhu. Konsentrasi karbondioksida tidak pernah setinggi ini sejak 650 ribu tahun yang lalu.

“Konsentrasi emisi sudah melampaui 400 miliar, di atas ambang psikologis. Sebelum ada masalah perubahan iklim jumlahnya hanya sekitar 275 miliar, yang berarti ada peningkatan hampir dua kali lipat. Dengan bukti yang ada maka biaya untuk membayar dampak ini akan semakin besar sejalan dengan waktu.”

Perubahan iklim, menurut Agus adalah sebuah keniscayaan meskipun 7 miliar manusia yang ada saat ini bersama-sama berhenti beraktivitas. Menghadapi kondisi ini tak ada jalan lain selain beradaptasi dengan kondisi yang ada.

Indonesia sendiri dinilai sebagai salah satu negara penyumbang emisi dari sektor lahan dan hutan, yaitu mencapai 1 miliar ton karbondioksida ekuivalen atau sekitar 87 persen dari total emisi yang dihasilkan.

Indonesia pun telah terlibat aktif secara global dalam menurunkan emisi ini melalui mekanisme REDD. Dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sempat dibentuk Badan Pengelola REDD+, meski tidak berumur panjang. Pada 2015, badan ini dilebur dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Menurut Agus, pelaksanaan REDD di Indonesia sedikit berbeda dengan negara lain, sehingga kemudian dinyatakan dengan nama lain, yaitu REDD+.

“Jika REDD sendiri berarti mereduksi emisi dari deforestasi, mereduksi emisi dari degradasi hutan dan lahan gambut, maka di Indonesia ada plusnya yaitu menjaga dari meningkatkan kandungan karbon melalui konservasi hutan yang berkelanjutan dan atau rehabilitasi serta restorasi hutan rusak, dan memberikan manfaat dari meningkatnya layanan ekosistem, keanekaragaman hayati, serta kesejahteraan masyarakat lokal dan masyarakat adat.”

Terkait kerangka REDD+ ini bagi Indonesia, menurut Agus, antara lain bahwa Indonesia diharapkan mencapai reduksi emisi 41 persen di bawah business-as-usual pada 2020 melalui mekanisme berbasis hasil.Indonesia juga diharapkan menjaga pertumbuhan ekonomi pada 7 persen dengan pemerataan hingga aras tapak.

“Selanjutnya,Indonesia harus menjaga keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem lainnya.”

Terakhir, lanjut Agus, Indonesia mengklarifikasi dan melindungi hak atas lahan masyarakat lokal dan adat sehingga konflik atas lahan bisa dihindari atau diselesaikan.

Menurut Asmar Exwar, Direktur Walhi Sulsel, perubahan iklim memang dampaknya sangat dirasakan saat ini dengan melihat perubahan cuaca secara ekstrim yang kemudian berdampak pula meningkatnya risiko bencana.

“Ini juga mempengaruhi pola pertanian dan maritim. Kondisi cuaca panas, gelombang panas, hujan lebat, angin kencang kemungkinan akan sering terjadi. Ketersediaan air menjadi berkurang seiring dengan adanya ancaman kekeringan.”

Asmar menyoroti persoalan perubahan iklim di Sulsel dari aspek penguasaan ruang, dimana kawasan hutan yang cukup luas di Sulawesi selatan mendapatkan ancaman paling nyata dari konsesi pertambangan.

“Saat ini terdapat 414 perusahaan pertambangan. Beberapa diantaranya teridentifikasi masuk dalam kawasan hutan,” ujarnya.

Asmar juga menyoroti tumpang tindih kawasan yang banyak terjadi dalam perebutan ruang, dimana hampir sebagian besar izin usaha pertambangan dan hak guna usaha yang diterbitkan oleh pemerintah kepada pengusaha selalu berbenturan dengan kawasan kelola rakyat bahkan berbenturan dengan kawasan lindung.

“Sementara kawasan lindung memilki kontribusi yang sangat besar bagi wilayah kelola rakyat.”

Terdapat dua pabrik semen di kawasan karst Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, yaitu PT Bosowa dan Tonasa. Selain itu terdapat puluhan izin pertambangan lainnya yang berpotensi mengganggu keberlangsungan ekosistem karst. Foto: Wahyu Chandra
Terdapat dua pabrik semen di kawasan karst Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, yaitu PT Bosowa dan Tonasa. Selain itu terdapat puluhan izin pertambangan lainnya yang berpotensi mengganggu keberlangsungan ekosistem karst. Foto: Wahyu Chandra

Asmar selanjutnya mengharapkan adanya perhatian dalam menjaga keberlangsugan ekosistem karst di wilayah Taman Nasional Bantimurung – Bulusaraung yang tergerus akibat aktivitas tambang di sekitarnya.

Ia juga menyarankan perlunya badan khusus untuk perlindungan karst sebagaimana dilakukan untuk gambut.

“Kalau ada Badan Restorasi Gambut maka bisa juga mungkin dibentuk Badan Restorasi Karst,” tambahnya.

Di bagian akhir, Asmar menyinggung kondisi pesisir Makassar yang kini mulai ramai dengan aktifitas pertambangan pasir dan karang laut, alih fungsi hutan bakau, pencemaran laut oleh aktivitas industri ekstraktif, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti bom ikan, bius, jaring trawl atau pukat harimau, serta maraknya reklamasi di pesisir Makassar.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,