Nelayan Natuna: Antara Alat Tangkap Tradisional dan Langkah Pengembangan Kesejahteraan Masa Depan

Natuna merupakan salah satu wilayah perairan di Indonesia yang memiliki sumberdaya ikan yang tinggi. Data Pemda menyebutkan pada 2014, produksi perikanan mencapaii 47.341,58 ton, yang ekuivalen dengan nilai 833,267 milyar rupiahNamun demikian, tidak urung praktik illegal fishing masih beroperasi di wilayah ini, yang jika tidak diperhatikan akan merugikan mata pencarian nelayan setempat.

Salah satu alat tangkap skala kecil yang masih dapat dijumpai adalah tangku bilis. Alat ini merupakan alat tangkap tradisional yang digunakan untuk menangkap ikan bilis atau teri (Stolephorus sp.), yang masuk dalam famili Engraulidae. Biasanya ikan ini banyak dijumpai saat pada musim terang dan tenang. Nelayan biasanya mencari ikan sejak matahari tenggelam hingga pagi menjelang subuh.

Indikasi bahwa ikan teri masih melimpah di lokasi ini, adalah nelayan cukup melaut dengan jarak tempuh hanya 20 menit dari depan kampung mereka. Dengan cara ini, nelayan cukup menggunakan perahu tanpa mesin yang ditarik kapal mesin tempel. Saat mencari ikan, nelayan menggunakan cahaya lampu stroking untuk menarik ikan dan biota laut kecil untuk berkumpul di lokasi tersebut.

Dalam survey yang pernah dilakukan, harga ikan bilih di tingkat toke (middleman), harga jual adalah Rp 1.500 per kg basah. Jika terdapat sekitar 10 perahu dengan rata-rata hasil tangkapan 150 kg per perahu, maka dalam satu kali penangkapan nelayan akan mampu menghasilkan pendapatan hingga Rp. 225.000, sebelum dipotong pengeluaran bahan bakar minyak tanah 1,5 liter untuk lampu stroking dan bahan bakar kapal sekitar 5 liter. Pendapatan ini lumayan dalam ukuran warga setempat.

Lalu apa hubungannya keberadaan alat tangkap tangku bilis dengan populasi ikan di laut Natuna?

Alat tangkap sederhana seperti tangku bilis mencirikan ikan di perairan Natuna masih cukup melimpah, yaitu mulai dari ikan kecil hingga ikan besar yang ada dalam rantai makanan. Apabila salah satu dalam rantai makanan ini terganggu, misalnya ikan teri ini tidak ada lagi, maka level rantai makanan di atasnya juga akan terganggu. Akibatnya, keseimbangan dalam seluruh rantai ekosistem pun akan terganggu.

Informasi dari masyarakat sekitar Natuna saat ini masih sangat mudah untuk mendapatkan ikan,  baik ikan ukuran sedang hingga besar dengan menggunakan alat tangkap pancing. Saking banyaknya, perairan ini pun menjadi target pencurian ikan oleh kapal asing dari negara lain atau kapal dari daerah lain yang melakukan penangkapan ikan atau biota laut lain, seperti jenis teripang dan ikan konsumsi lainnya.

Sebagai catatan, penggunaan alat tangkap serupa tangku bilis juga pernah ada di perairan Desa Sungai Pisang, Sumatera Barat pada sekitar 1990-an, yang biasa disebut masyarakat setempat sebagai bagan talai

Namun saat ini, penggunaan alat ini  sudah berkurang seiring perkembangan waktu di perairan Sungai Pinang. Hal ini seperti yang dituturkan Yusuf, salah seorang staf LSM Yayasan Minang Bahari yang pernah menjadikan desa ini sebagai desa binaan mereka.

Penurunan populasi ikan teri secara drastis akibat kematian massal terumbu karang tahun 1997, yang disertai munculnya kelimpahan alga diluar batas normal yang dikenal dengan peristiwa red tide (sejenis alga beracun) yang telah menjadi sebab penurunan jumlah ikan.

Mengacu kepada kejadian ini, maka sudah sepatutnya Pemda Natuna dan para pemangku kepentingan tidak hanya terlena dengan berbagai kekayaan alam yang ada. Namun, sebaliknya harus mampu mengantisipasi berbagai skenario buruk lewat rencana pengembangan laut dan pesisir yang menempatkan nelayan dan masyarakat pesisir sebagai figur sentral aktor pemberdayaan.

Dengan demikian, meski saat ini ikan masih melimpah, namun kedepannya nelayan pun perlu didorong untuk mengenal dan mendapat nilai manfaat dari berbagai strategi pengembangan pesisir, termasuk dalam wisata bahari-konservasi dan lewat pemanfaatan aplikasi teknologi.

Bukti tinggalan arkeologis. Bagian-bagian guci yang tersisa di dasar laut bercampur dengan pasir dan karang di laut Natuna. Dapat dikembangkan dalam pakaet wisata Eko-Arkeologi. Foto: Ofri Johan

Pembinaan Nelayan Pesisir

Dalam artikel penulis sebelumnya, wisata dapat menjadi alternatif mata pencarian baru bagi masyarakat lokal. Salah satu program yang dapat ditindaklanjuti adalah kaderisasi dan pembinaan nelayan sebagai pelaku pengembangan di taman eko-arkeologi.

Lewat serangkaian pelatihan, para nelayan dapat menjadi pengantar (guide wisata), pelaku sewa perahu, penyedia homestay hingga penyedia tabung oksigen untuk aktivitas penyelaman. Saat ini, kegiatan wisata serupa setidaknya telah berkembang di wilayah Kepulauan Seribu, utara perairan Jakarta.

Bagi nelayan, menjadi aktor pelaku dalam wisata setidaknya lebih baik ketimbang menjadi pelaku kegiatan ilegal penangkapan anak ikan napoleon (Cheilinus undulatus) dengan cara yang tidak ramah lingkungan,  maupun kegiatan lain yang lebih beresiko seperti penangkap teripang alam.

Dalam beberapa kasus yang dijumpai penulis, pengumpulan teripang pasir dari alam memiliki resiko dan tantangan yang cukup besar. Selain penangkapan harus dilakukan pada malam hari, karena jenis teripang aktif di malam hari, maka penyelam harus turun ke laut dalam yang beresiko pada kesehatan para pelakunya.

Terbukti sudah ada beberapa nelayan yang telah mengalami kelumpuhan akibat terkena dekompresi yang tidak mendapat penanganan kesehatan yang baik.

Aplikasi teknologi dan pelatihan untuk budidaya teripang juga perlu dilakukan, alih-alih terus menangkap teripang langsung dari alam. Teknologi ini sudah dikuasai oleh peneliti Balai Besar Budidaya Ikan Laut, Gondol.

Keberhasilan ini tentunya menjadi angin segar bagi pemberdayaan masyarakat nelayan, karena permintaan pasar dunia yang cukup tinggi yang membuat mahal harga teripang. Bahkan, bisa mencapai satu juta rupiah per kilogram dalam kondisi kering.

Demikian pula, strategi konservasi harus dijalankan untuk keberadaan tridacna atau kima. Masyarakat saat ini mencari kima untuk dikeringkan dan dijadikan bahan makanan. Pemanfaatan untuk konsumsi ini akan beresiko pada kelebihan tangkap. Sehingga dapat diproyeksikan tidak akan ada lagi kima tersisa di sekitar Pulau Laut, Natuna dalam 1-2 tahun kedepan.

Meski, sejumlah spesies kima sudah masuk dalam daftar Appendix II CITES, yang berarti dilarang untuk diperdagangkan, namun gaung penyadaran itu belum sampai tersosialisasi dengan baik ke tingkat masyarakat.

* Dr. Ofri Johan, M.Si. Penulis adalah Peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias Depok, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,