Setelah proses panjang persidangan, sekitar 13 bulan dan penundaan putusan berkali-kali atas kasus kebakaran lahan perusahaan sawit, PT Jatim Jaya Perkasa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, berakhir mengecewakan, Rabu (15/6/16). Majelis hakim hanya mengabulkan sebagian kecil gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dari gugatan kebakaran lahan 1.000 hektar, hanya diakui 120 hektar atau biaya pemulihan lingkungan sekitar Rp22,277 miliar dan ganti rugi Rp7, 196 miliar dari Rp491, 025 miliar. Kementerian yang dikomandoi Siti Nurbaya inipun mengajukan banding.
Sidang dipimpin Hakim Inrawaldi dan anggota Jeferson Tarigan dan Kun Maryoso ini mulai pada 12.30. Dalam pembacaan putusan, Inrawaldi menyatakan, gugatan KLHK hanya dikabulkan sebagian.
”Luasan (terbakar) hanya diakui 120 hektar dari 1.000 hektar,” kata Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan, KLHK, Jasmin Ragil Utomo. Dengan begitu, perhitungan biaya pemulihan dan kerugian ditafsir Rp22, 270 miliar lebih. ”Itu jauh dari gugatan kita,” katanya.
Tak hanya itu, profeksi dan eksesi KLHK ditolak pengadilan. Hingga kini, JJP telah menanami lahan yang terbakar itu. Dia optimistis banding nanti profeksi dikabulkan. ”Poin utama pengadilan sudah mengakui ada kebakaran meski luasan tak sesuai.”
KLHK, katanya, segera mempelajari dan mengevaluasi putusan pengadilan dan akan banding ke tingkat lebih tinggi. ”Semoga mendapatkan keadilan lebih tinggi pula,” katanya.
Ternyata tergugat tak puas dengan putusan pengadilan. Pengacara JJP, Efrizal H. Sharief menyatakan, putusan tengah-tengah atau moderat. ”Luasan lahan terbakar itu, secara subyektif kami ga bersalah. Api dari masyarakat, saksipun sudah kita datangkan,” ujar dia.
Dia keberatan asal api disebutkan dari JJP. “Itu dari selatan, hutan belukar ke lahan masyarakat kemudian ke kita.”
Selain asal api, dia mau merevisi luasan lahan terbakar dari penelitian laboratorium dan menolak biaya pemulihan. ”Buat apa dipulihkan, kan tidak rusak, buktinya bisa tanam kembali.”
Gugatan terhadap JJP oleh KLHK sejak 27 Januari 2015, didasari temuan tim pada 2013 mengindikasikan perusahaan sawit ini membakar lahan di Riau.
Dalam perhitungan, gas rumah kaca lepas selama kebakaran melewati ambang pencemaran (telah mencemarkan) lingkungan. Kebakaran itu merusak lapisan permukaan gambut tebal 10-15 cm. Selama pembakaran, 9.000 ton karbon, 3150 ton CO2, 32,76 ton CH4, 14,49 ton NOx, 40,32 ton NH3, 33,9 ton O3, 583,75 ton CO serta 700 ton partikel.
KLHK pun mengugat JJP, membayar dana pemulihan lingkungan lahan 1.000 hektar yang dibakar Rp371, 137 miliar dan ganti rugi materiil Rp199, 888.miliar.
Sejak pembacaan gugatan pertama kali pada 1 Juli 2015 hingga penyerahan kesimpulan oleh para pihak pada 11 Mei 2016, perkara ini melalui 24 kali persidangan.
Sementara, Fajri Fadillah, asisten Peneliti Divisi Pencemaran dan Kesehatan Publik ICEL yang mengikuti proses persidangan, menyebutkan, dalam putusan ini ada beberapa hal menarik.
”Putusan ini cukup kita apresiasi, majelis hakim memiliki upaya dalam mengeksplor kerugian kebakaran lahan,” katanya.
Dia mengatakan, terkait luasan, penggugat mengajukan 1.000 hektar, tergugat 140 hektar. Hukum meutuskan 120 hektar.
Majelis Hakim, katanya, memperhitungkan dalil kerugian dan pemulihan dengan rumus yang dimiliki. ”Dikali 8,33% dibagi dua karena sumber api dari perusahaan maupun masyarakat.”
Akhirnya, hakim mengeluarkan dalil kerugian Rp7 miliar dan pemulihan Rp22 miliar. Perhitungan ini ditangkap ICEL sebagai pertimbangan cukup progresif.
Meski demikian, dia masih mau melihat lebih rinci asal penghitungan. Dia belum tahu angka 8,33% dihitung dari mana. “Angka dibagi dua kurang valid, besaran antara lahan masyarakat dan perusahaan berbeda. Biasa, penghitungan dalam pengadilan bukan menggunakan angka rumit, hanya matematika sederhana.”